Mati Sebagai Orang Asing
Waktu menunjukan pukul lima sore, saat itu
aku berada di sebuah taman bersama teman perempuanku –Ana –di kawasan menteng
untuk melepas jenuh sembari memandangi
sekumpulan awan putih yang tampak seperti bulu-bulu, menambal langit biru cerah
yang bermunculan diantaranya. Awan itu diam seolah-olah mereka tertancap di
puncak pohon pinus tua. Suasana yang berisik kini terasa sunyi dan hening di
hati.
Aku ingat sudah beberapa tahun silam semenjak
aku meninggalkan kampung halamanku, suasana ini tidak dapat kurasakan lagi,
kalau di kampung pasti jam segini aku sedang bersama Udin –Teman semasa kecilku
–untuk bersepeda mengelilingi kampung
lalu beristirahat sembari tiduran di padang ilalang yang damai sambil menunggu
matahari berhenti memancarkan sinarnya dan pergi sebelum cahaya bulan mulai
mengintip.
Aku ingat sekali saat-saat itu, saat itu Udin
sahabat kecilku sering sekali menyuruhku untuk pulang sebelum adzan magrib,
tetapi aku abaikan dan biarkan menunggu sampai matahari benar-benar padam. Udin
juga sering sekali berguyon dan membuat kami tertawa riang, Kini tidak ada lagi
teman yang lucu sepertinya, mungkin kapan-kapan aku akan kembali menjumpainya
ke desa.
“Yan, ini minumanya” seru Ana. Yang baru saja
kembali setelah ku suruh untuk membeli minuman
“Iya, taruh saja disampingku”
“Kau tampak bingung Yan? Mungkin nanti malam kita bisa bersenang-senang ”
“Tidak An, aku baik-baik saja, baiklah sayang kita kerumahku dulu sehabis itu baru kita bersenang-senang”
“Kau tampak bingung Yan? Mungkin nanti malam kita bisa bersenang-senang ”
“Tidak An, aku baik-baik saja, baiklah sayang kita kerumahku dulu sehabis itu baru kita bersenang-senang”
Aku dan Ana pun langsung pergi meninggalkan
taman itu dengan mobil sedan pemberian Ayah dan langsung menuju rumah untuk
berganti pakaian. Malam itu aku dan Ana pun pergi menuju bar untuk bersenang senang,
sembari meminum beberapa gelas alkohol dan berdansa mengikuti irama musik di
ruangan yang gelap dan tentu saja dipenuhi banyak manusia pecinta hiburan malam.
Ana hanyalah wanita penghibur yang selalu siap melayaniku dengan uang. Sepulang
dari bar kami pun langsung menuju hotel dimana aku beserta wanita-wanita
penghibur lainnya selayaknya Ana, menuruti nafsu birahiku.
Pagi harinya aku teringat akan Udin sahabat
kecilku, jadi aku sempatkan pagi ini untuk pergi menuju kantor pos untuk
menulis surat kepadanya. Setelah berpakaian aku langsung meninggalkan Ana dalam
keadaan tanpa busana dan tidak lupa meninggalkan beberapa lembar ratusribuan di
atas meja sebagai servis Ana malam tadi.
Aku menuliskan tentang rasa rinduku terhadap
teman masa kecilku itu, memberi alamat kediamanku agar dia dapat berkunjung dan
tak lupa nomor ponselku agar ia dapat menghubungiku.
***
Sesampainya di rumah Ayah bilang padaku ia
akan pergi ke luar kota untuk beberapa pekan, dan aku langsung memanfaatkan
keadaan itu untuk membuat sebuah pesta kecil-kecilan bersama teman-temanku. Aku
langsung menelpon Rizal, untuk memberi tahu Adri dan Indra mengenai pesta
kecil-kecilan yang akan aku buat di rumah, dan tentu saja sekalian menyuruh
Rizal membawakan bidadari-bidadari penghiburnya.
Sore hari aku mulai menyiapkan persiapan
untuk pesta malam ini, speaker aktif
dengan volume suara yang besar pun aku keluarkan agar rumahku terkesan
selayaknya bar, tak lupa ku pesan minuman beralkohol ber dus-dus. Tak lama
kemudian Adri pun datang bersama Rizal dan Indra.
“Hey Yan, sudah siap kita berpesta malam ini”
seru Adri.
“Canggih bener lo Yan” tambah Rizal.
“Iya lah, oh ya, mana pesanan gue Zal, jangan bilang lupa dah”
“Santai saja Yan, lima menit lagi sampai” jawab Rizal
“Sabar sebentar Yan, kalo masalah itu mah Rizal nomer satu, ga bakal terlewat haha” seru Indra sembari tertawa.
“Canggih bener lo Yan” tambah Rizal.
“Iya lah, oh ya, mana pesanan gue Zal, jangan bilang lupa dah”
“Santai saja Yan, lima menit lagi sampai” jawab Rizal
“Sabar sebentar Yan, kalo masalah itu mah Rizal nomer satu, ga bakal terlewat haha” seru Indra sembari tertawa.
Ting
nong ting nong, terdengar bunyi bell
pertanda adanya tamu. Benar saja apa yang dikatakan Rizal, belum sampai lima
menit sudah datang bidadari-bidadari pesananku itu. Mereka ada empat orang dan Rizal
pun langsung mengenalkan bidadarinya satu persatu.
“Maaf ya Zal agak sedikit telat, abis supir
taksinya lelet” seru salah seorang dari mereka yang menggunakan gaun berwarna
merah, dengan rambut yang tergulai menutupi bagian dada yang lumayan besar itu.
“Iya Zahra, kami juga baru mau mulai” seru Rizal
“Oh ya, perkenalkan Ini Zahra, yang menggunakan gaun merah” lalu Zahra pun bersalaman kepadaku Indra dan Adri sembari mencium pipi kanan dan kiri.
“Ini Fitri yang bondol dan agak pirang, lalu Tesya yang bergaun biru dan satu lagi Misya” merekapun mengikuti apa yang Zahra lakukan terhadap ku Indra dan Adri sebelumnya.
“Zal, pintu di tutup rapat-rapat ya” tambahku sembari masuk kedalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat pesta”
“Iya Zahra, kami juga baru mau mulai” seru Rizal
“Oh ya, perkenalkan Ini Zahra, yang menggunakan gaun merah” lalu Zahra pun bersalaman kepadaku Indra dan Adri sembari mencium pipi kanan dan kiri.
“Ini Fitri yang bondol dan agak pirang, lalu Tesya yang bergaun biru dan satu lagi Misya” merekapun mengikuti apa yang Zahra lakukan terhadap ku Indra dan Adri sebelumnya.
“Zal, pintu di tutup rapat-rapat ya” tambahku sembari masuk kedalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat pesta”
Memang
kalau masalah ini Rizal sangat cekatan. Sudah banyak sekali aku dapat kenalan
wanita darinya. Malam ini terasa sangat sempurna ada teman-temanku, ada alkohol
kesukaanku, ada pula wanita-wanita yang menemaniku, aku pun tenggelam dalam
suasana gemerlap dengan irama yang menghentak ini.
Dorr
dorr dorr,Assalamualaikum. Terdengar bunyi ketukan pintu dan salam ditengah
pesta kecilku.
“Yan itu yang ketuk pintu siapa Yan?” tanya Adri.
“Tunggu, biar aku yang bukakan” jawabku. Dan langsung aku menghampiri pintu rumahku yang di ketuk itu. Ketika aku membuka pintunya dalam keadaan setengah sadar aku tak dapat mengenali sepenuhnya siapa orang itu dan ia langsung berkata.
“Yan itu yang ketuk pintu siapa Yan?” tanya Adri.
“Tunggu, biar aku yang bukakan” jawabku. Dan langsung aku menghampiri pintu rumahku yang di ketuk itu. Ketika aku membuka pintunya dalam keadaan setengah sadar aku tak dapat mengenali sepenuhnya siapa orang itu dan ia langsung berkata.
“Rianto, piye kabar? Iki udin” dan ia
langsung memeluku.
“Oh, ya Din baik-baik kamu bagaimana?”
“Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanca”
“Sama Din, kau bukan kabari aku dulu?”
“Tak sempat aku Yan, iki lagi ada pesta Yan” belum sempat aku jawab pertanyaan Udin tiba-tiba Rizal dan Indra sudah ada di belakangku.
“Oh, ya Din baik-baik kamu bagaimana?”
“Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanca”
“Sama Din, kau bukan kabari aku dulu?”
“Tak sempat aku Yan, iki lagi ada pesta Yan” belum sempat aku jawab pertanyaan Udin tiba-tiba Rizal dan Indra sudah ada di belakangku.
“Siapa dia Yan? Pake blangkon, baju aneh,
ngomong medok hahaha” seru Rizal sembari tertawa.
“Tau Yan, bukan mahluk bumi ini mah hahaha” tambah Indra.
“Mereka sopo Yan?” tanya Udin.
“Lo berkawan dengan alien Yan haha” tambah Rizal
“Asal kalian tahu ya, blangkon dan baju yang kupakai ini adalah ciri dari berbudayanya orang Indonesia, bahasa yang kupakai ini juga ragam dari bahasa asli Indonesia. Aku tahu sejarahnya apa yang aku pakai ini, setidaknya aku lebih mengenal budaya di negeriku ini, tidak seperti kalian yang mengaku menetap di Indonesia tapi masih seperti orang asing bila melihat budayanya. Asal kalian tahu aku jugu bisa berbahasa Indonesia !” seru Udin dengan nada tinggi, sepertinya ia agak marah dengan ucapan Indra dan Rizal tadi.
“Tau Yan, bukan mahluk bumi ini mah hahaha” tambah Indra.
“Mereka sopo Yan?” tanya Udin.
“Lo berkawan dengan alien Yan haha” tambah Rizal
“Asal kalian tahu ya, blangkon dan baju yang kupakai ini adalah ciri dari berbudayanya orang Indonesia, bahasa yang kupakai ini juga ragam dari bahasa asli Indonesia. Aku tahu sejarahnya apa yang aku pakai ini, setidaknya aku lebih mengenal budaya di negeriku ini, tidak seperti kalian yang mengaku menetap di Indonesia tapi masih seperti orang asing bila melihat budayanya. Asal kalian tahu aku jugu bisa berbahasa Indonesia !” seru Udin dengan nada tinggi, sepertinya ia agak marah dengan ucapan Indra dan Rizal tadi.
“Bangsat! tak usah jadi dosen mendadak kau di
sini” jawab Rizal dengan keras.
“Itulah, mengapa aku bilang kau orang asing. Kau lebih memakai kekerasan dari pada akal. Budaya bangsamu sendiri kau hinakan. Persatuan yang tertulis di bawah cakar sang garuda pun kau lupakan, mau jadi anak haram kau di negeri ini?”
“Sudah-sudah !” teriakku.
“Maaf Yan, sepertinya kehadiranku tidak diharapkan di pestamu ini. semoa kau tak jadi orang asing dan anak haram di bangsamu ini, Rianto kanca ku” dan Udin pun langsung pergi meninggalkan kami, pergi entah kemana dan membuatku merasa sangat bersalah terhadapnya.
“Itulah, mengapa aku bilang kau orang asing. Kau lebih memakai kekerasan dari pada akal. Budaya bangsamu sendiri kau hinakan. Persatuan yang tertulis di bawah cakar sang garuda pun kau lupakan, mau jadi anak haram kau di negeri ini?”
“Sudah-sudah !” teriakku.
“Maaf Yan, sepertinya kehadiranku tidak diharapkan di pestamu ini. semoa kau tak jadi orang asing dan anak haram di bangsamu ini, Rianto kanca ku” dan Udin pun langsung pergi meninggalkan kami, pergi entah kemana dan membuatku merasa sangat bersalah terhadapnya.
Keseokan harinya aku hanya berdiam diri di
kamar menerenungi ucapan udin kemarin malam, sepertinya aku telah benar-benar
menjadi orang asing di negeriku ini. hari-hari selanjutnya tubuhku pun terasa
tidak enak sekali, terus-terusan diare hinga dalam sehari aku bisa hampir lima
kali bolak-balik kamar mandi, batuk hingga mengeluarkan darah hingga berat
badanku turun drastis. wajahkupun tampak pucat hingga yang terparah aku pingsan
dan harus di bawa kerumah sakit.
***
Ketika kedua kelopak yang menghalangi indera
penglihatanku terbuka terdapat alat pembantu untuk bernafas terletak menutupu
hidung dan mulutku, ternyata aku masih dapat melihat indahnya dunia ini. Saat
itu aku berada dalam ruangan yang di penuhi alat alat kedokteran , tiba-tiba
ayah datang dengan seorang laki-laki yang berkacamata dan berpakaian serba
putih lalu mereka berdiskusi di hadapanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka
diskusikan itu, beberapa menit kemudian pria berkacamata yang memakai pakaian
serba putih itu keluar, lalu ayah menghampiri aku dengan matanya yang
berkaca-kaca dan masih terlihat sedikit bekas air matanya. Akupun langsung
membuka alat bantu pernafasanku seraya bertanya.
“Apa yang terjadi padaku Yah?”
“Maafkan Ayahmu nak, kau terlalu Ayah biarkan bebas sehingga kau menjadi seperti ini”
“Memang Aku ini sakit apa Yah?” Ayah pun langsung pergi meninggalkanku di ruangan itu dan menunggalkan sepucuk amplop putih dengan keterangan rumah sakit yang ku tinggali sekarang ini.
“Maafkan Ayahmu nak, kau terlalu Ayah biarkan bebas sehingga kau menjadi seperti ini”
“Memang Aku ini sakit apa Yah?” Ayah pun langsung pergi meninggalkanku di ruangan itu dan menunggalkan sepucuk amplop putih dengan keterangan rumah sakit yang ku tinggali sekarang ini.
Aku ambil keluarkan kertas keterangan dari
sepucuk amplop itu dan membacanya.
betapa hancurnya leburnya persaanku saat mengetahui itu, airmataku pun
tidak mampu lagi kutahan, aku merasa hidupku sudah amat tidak berarti lagi.
Ternyata aku sanghatlah bodoh, aku bukanlah orang yang pantas untuk tinggal di
negeriku ini, aku terlalu mengikuti gaya negeri asing yang penuh hura-hura dan
pesta serta kebebasan sex yang mengakibatkan
aku terkena virus mematikan ini –HIV/AIDS .
Sepertinya umurku sudah tidak panjang lagi,
sebelum aku tutup hidupku aku meminta suster untuk membawakan pulpen dan
beberapa lembar kertas.
Untuk Ayah,
Ayah maafkanlah aku yang telah terlalu bebas ini, aku benar-benar anak
yang tidak bisa dibanggakan olehmu, aku terlalu terbawa oleh kenikmatan dunia
malam yang membuatku terjerat seperti ini. dan untuk Ibu yang telah melahirkan
akau, andai saja kau masih ada, pasti kau yang akan selalu melarangku,
menasihatiku memberiku jalan yang seharusnya ku langkahkan tetapi semua telah
terjadi dan biarkan aku menikmati buah yang aku tanam ini.
Untuk Udin sahabatku,
Aku ingat semasa kecil waktu itu kita sering sekali bersepeda keliling
kampung, pergi ke sungai untuk berenang, menonton televisi di rumah Pak Lurah,
melihat pertunjukan wayang dan bangyak lagi yang tak dapat kusebutkan satu
persatu. Tapi setelah aku pindah ke kota semua itu teasa hilang, aku lebih
banyak berfoya-foya untuk kesenanganku hingga lupa akan dari mana aku berasal.
Lupa akan kesederhanaan kita semasa kecil, lupa akan budaya kita, bahasa kita
yang dulu, dan rasa cinta antar sesame dulu. memang kini aku telah menjadi
orang asing di negeriku sendiri, seorang anak haram di negeriku sendiri. Lupa
akan gaya hidup di negeriku sendiri dan lebih mengikuti gaya orang asing yang
selalu bersenang-senang tanpa memikirkan sebab akibat perbuatanku. Kini aku
telah terjangkit virus yang mematikan yang mungkin akan meniadakan aku hingga
beberapa hari kedepan. Maafkan aku Din, yang telah lupa akan negerinya, yang
telah terlalu jauh melangkah hingga lupa kan asal mulanya. Semoga kau mau
memaafkan aku Din.
Jakarta,
10 maret
Anak dan Sahabatmu, Ahmad Rianto
Anak dan Sahabatmu, Ahmad Rianto
Ku selesaikan tulisan itu lalu
meninggalkannya di meja sebelah tempat tempat tidurku, lalu pergi keluar rumah
sakit untuk melewati jam-jam terakirku pada jalan, tanah, dan trotoar negeriku.
Negeri di mana aku dilahirkan, dibesarkan dan dimatikan walau sebagai orang
asing.
Boim
Dos Santos
Jakarta, 09.04.13
Jakarta, 09.04.13