Kamis, 02 Mei 2013

Mati Sebagai Orang Asing


Mati Sebagai Orang Asing

  Waktu menunjukan pukul lima sore, saat itu aku berada di sebuah taman bersama teman perempuanku –Ana –di kawasan menteng untuk  melepas jenuh sembari memandangi sekumpulan awan putih yang tampak seperti bulu-bulu, menambal langit biru cerah yang bermunculan diantaranya. Awan itu diam seolah-olah mereka tertancap di puncak pohon pinus tua. Suasana yang berisik kini terasa sunyi dan hening di hati.

  Aku ingat sudah beberapa tahun silam semenjak aku meninggalkan kampung halamanku, suasana ini tidak dapat kurasakan lagi, kalau di kampung pasti jam segini aku sedang bersama Udin –Teman semasa kecilku –untuk  bersepeda mengelilingi kampung lalu beristirahat sembari tiduran di padang ilalang yang damai sambil menunggu matahari berhenti memancarkan sinarnya dan pergi sebelum cahaya bulan mulai mengintip.

  Aku ingat sekali saat-saat itu, saat itu Udin sahabat kecilku sering sekali menyuruhku untuk pulang sebelum adzan magrib, tetapi aku abaikan dan biarkan menunggu sampai matahari benar-benar padam. Udin juga sering sekali berguyon dan membuat kami tertawa riang, Kini tidak ada lagi teman yang lucu sepertinya, mungkin kapan-kapan aku akan kembali menjumpainya ke desa.
  “Yan, ini minumanya” seru Ana. Yang baru saja kembali setelah ku suruh untuk membeli minuman
  “Iya, taruh saja disampingku”
  “Kau tampak bingung Yan? Mungkin nanti malam kita bisa bersenang-senang ”
  “Tidak An, aku baik-baik saja, baiklah sayang kita kerumahku dulu sehabis itu baru kita bersenang-senang”

  Aku dan Ana pun langsung pergi meninggalkan taman itu dengan mobil sedan pemberian Ayah dan langsung menuju rumah untuk berganti pakaian. Malam itu aku dan Ana pun pergi menuju bar untuk bersenang senang, sembari meminum beberapa gelas alkohol dan berdansa mengikuti irama musik di ruangan yang gelap dan tentu saja dipenuhi banyak manusia pecinta hiburan malam. Ana hanyalah wanita penghibur yang selalu siap melayaniku dengan uang. Sepulang dari bar kami pun langsung menuju hotel dimana aku beserta wanita-wanita penghibur lainnya selayaknya Ana, menuruti nafsu birahiku.

  Pagi harinya aku teringat akan Udin sahabat kecilku, jadi aku sempatkan pagi ini untuk pergi menuju kantor pos untuk menulis surat kepadanya. Setelah berpakaian aku langsung meninggalkan Ana dalam keadaan tanpa busana dan tidak lupa meninggalkan beberapa lembar ratusribuan di atas meja sebagai servis Ana malam tadi.

  Aku menuliskan tentang rasa rinduku terhadap teman masa kecilku itu, memberi alamat kediamanku agar dia dapat berkunjung dan tak lupa nomor ponselku agar ia dapat menghubungiku.

***
  Sesampainya di rumah Ayah bilang padaku ia akan pergi ke luar kota untuk beberapa pekan, dan aku langsung memanfaatkan keadaan itu untuk membuat sebuah pesta kecil-kecilan bersama teman-temanku. Aku langsung menelpon Rizal, untuk memberi tahu Adri dan Indra mengenai pesta kecil-kecilan yang akan aku buat di rumah, dan tentu saja sekalian menyuruh Rizal membawakan bidadari-bidadari penghiburnya.

  Sore hari aku mulai menyiapkan persiapan untuk pesta malam ini, speaker aktif dengan volume suara yang besar pun aku keluarkan agar rumahku terkesan selayaknya bar, tak lupa ku pesan minuman beralkohol ber dus-dus. Tak lama kemudian Adri pun datang bersama Rizal dan Indra.
  “Hey Yan, sudah siap kita berpesta malam ini” seru Adri.
  “Canggih bener lo Yan” tambah Rizal.
  “Iya lah, oh ya, mana pesanan gue Zal, jangan bilang lupa dah”
  “Santai saja Yan, lima menit lagi sampai” jawab Rizal
  “Sabar sebentar Yan, kalo masalah itu mah Rizal nomer satu, ga bakal terlewat haha” seru Indra sembari tertawa.
  Ting nong ting nong, terdengar bunyi bell pertanda adanya tamu. Benar saja apa yang dikatakan Rizal, belum sampai lima menit sudah datang bidadari-bidadari pesananku itu. Mereka ada empat orang dan Rizal pun langsung mengenalkan bidadarinya satu persatu.
  “Maaf ya Zal agak sedikit telat, abis supir taksinya lelet” seru salah seorang dari mereka yang menggunakan gaun berwarna merah, dengan rambut yang tergulai menutupi bagian dada yang lumayan besar itu.
  “Iya Zahra, kami juga baru mau mulai” seru Rizal
  “Oh ya, perkenalkan Ini Zahra, yang menggunakan gaun merah” lalu Zahra pun bersalaman kepadaku Indra dan Adri sembari mencium pipi kanan dan kiri.
  “Ini Fitri yang bondol dan agak pirang, lalu Tesya yang bergaun biru dan satu lagi Misya” merekapun mengikuti apa yang Zahra lakukan terhadap ku Indra dan Adri sebelumnya.
  “Zal, pintu di tutup rapat-rapat ya” tambahku sembari masuk kedalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat pesta”

  Memang  kalau masalah ini Rizal sangat cekatan. Sudah banyak sekali aku dapat kenalan wanita darinya. Malam ini terasa sangat sempurna ada teman-temanku, ada alkohol kesukaanku, ada pula wanita-wanita yang menemaniku, aku pun tenggelam dalam suasana gemerlap dengan irama yang menghentak ini.

  Dorr dorr dorr,Assalamualaikum. Terdengar bunyi ketukan pintu dan salam ditengah pesta kecilku.
  “Yan itu yang ketuk pintu siapa Yan?” tanya Adri.
  “Tunggu, biar aku yang bukakan” jawabku. Dan langsung aku menghampiri pintu rumahku yang di ketuk itu. Ketika aku membuka pintunya dalam keadaan setengah sadar aku tak dapat mengenali sepenuhnya siapa orang itu dan ia langsung berkata.
  “Rianto, piye kabar? Iki udin” dan ia langsung memeluku.
  “Oh,  ya Din baik-baik kamu bagaimana?”
  “Aku ya apik. Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane karo kanca”
  “Sama Din, kau bukan kabari aku dulu?”
  “Tak sempat aku Yan, iki lagi ada pesta Yan” belum sempat aku jawab pertanyaan Udin tiba-tiba Rizal dan Indra sudah ada di belakangku.

  “Siapa dia Yan? Pake blangkon, baju aneh, ngomong medok hahaha” seru Rizal sembari tertawa.
  “Tau Yan, bukan mahluk bumi ini mah hahaha” tambah Indra.
  “Mereka sopo Yan?” tanya Udin.
  “Lo berkawan dengan alien Yan haha” tambah Rizal
  “Asal kalian tahu ya, blangkon dan baju yang kupakai ini adalah ciri dari berbudayanya orang Indonesia, bahasa yang kupakai ini juga ragam dari bahasa asli Indonesia. Aku tahu sejarahnya apa yang aku pakai ini, setidaknya aku lebih mengenal budaya di negeriku ini, tidak seperti kalian yang mengaku menetap di Indonesia tapi masih seperti orang asing bila melihat budayanya. Asal kalian tahu aku jugu bisa berbahasa Indonesia !” seru Udin dengan nada tinggi, sepertinya ia agak marah dengan ucapan Indra dan Rizal tadi.
  “Bangsat! tak usah jadi dosen mendadak kau di sini” jawab Rizal dengan keras.
  “Itulah, mengapa aku bilang kau orang asing. Kau lebih memakai kekerasan dari pada akal. Budaya bangsamu sendiri kau hinakan. Persatuan yang tertulis di bawah cakar sang garuda pun kau lupakan, mau jadi anak haram kau di negeri ini?”
  “Sudah-sudah !” teriakku.
  “Maaf Yan, sepertinya kehadiranku tidak diharapkan di pestamu ini. semoa kau tak jadi orang asing dan anak haram di bangsamu ini, Rianto kanca ku” dan Udin pun langsung pergi meninggalkan kami, pergi entah kemana dan membuatku merasa sangat bersalah terhadapnya.

  Keseokan harinya aku hanya berdiam diri di kamar menerenungi ucapan udin kemarin malam, sepertinya aku telah benar-benar menjadi orang asing di negeriku ini. hari-hari selanjutnya tubuhku pun terasa tidak enak sekali, terus-terusan diare hinga dalam sehari aku bisa hampir lima kali bolak-balik kamar mandi, batuk hingga mengeluarkan darah hingga berat badanku turun drastis. wajahkupun tampak pucat hingga yang terparah aku pingsan dan harus di bawa kerumah sakit.

***
  Ketika kedua kelopak yang menghalangi indera penglihatanku terbuka terdapat alat pembantu untuk bernafas terletak menutupu hidung dan mulutku, ternyata aku masih dapat melihat indahnya dunia ini. Saat itu aku berada dalam ruangan yang di penuhi alat alat kedokteran , tiba-tiba ayah datang dengan seorang laki-laki yang berkacamata dan berpakaian serba putih lalu mereka berdiskusi di hadapanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan itu, beberapa menit kemudian pria berkacamata yang memakai pakaian serba putih itu keluar, lalu ayah menghampiri aku dengan matanya yang berkaca-kaca dan masih terlihat sedikit bekas air matanya. Akupun langsung membuka alat bantu pernafasanku seraya bertanya.
  “Apa yang terjadi padaku Yah?”
  “Maafkan Ayahmu nak, kau terlalu Ayah biarkan bebas sehingga kau menjadi seperti ini”
  “Memang Aku ini sakit apa Yah?” Ayah pun langsung pergi meninggalkanku di ruangan itu dan menunggalkan sepucuk amplop putih dengan keterangan rumah sakit yang ku tinggali sekarang ini.

  Aku ambil keluarkan kertas keterangan dari sepucuk amplop itu dan membacanya.  betapa hancurnya leburnya persaanku saat mengetahui itu, airmataku pun tidak mampu lagi kutahan, aku merasa hidupku sudah amat tidak berarti lagi. Ternyata aku sanghatlah bodoh, aku bukanlah orang yang pantas untuk tinggal di negeriku ini, aku terlalu mengikuti gaya negeri asing yang penuh hura-hura dan pesta serta kebebasan sex yang mengakibatkan aku terkena virus mematikan ini –HIV/AIDS .
  Sepertinya umurku sudah tidak panjang lagi, sebelum aku tutup hidupku aku meminta suster untuk membawakan pulpen dan beberapa lembar kertas.


Untuk  Ayah,
  Ayah maafkanlah aku yang telah terlalu bebas ini, aku benar-benar anak yang tidak bisa dibanggakan olehmu, aku terlalu terbawa oleh kenikmatan dunia malam yang membuatku terjerat seperti ini. dan untuk Ibu yang telah melahirkan akau, andai saja kau masih ada, pasti kau yang akan selalu melarangku, menasihatiku memberiku jalan yang seharusnya ku langkahkan tetapi semua telah terjadi dan biarkan aku menikmati buah yang aku tanam ini.

Untuk Udin sahabatku,
  Aku ingat semasa kecil waktu itu kita sering sekali bersepeda keliling kampung, pergi ke sungai untuk berenang, menonton televisi di rumah Pak Lurah, melihat pertunjukan wayang dan bangyak lagi yang tak dapat kusebutkan satu persatu. Tapi setelah aku pindah ke kota semua itu teasa hilang, aku lebih banyak berfoya-foya untuk kesenanganku hingga lupa akan dari mana aku berasal. Lupa akan kesederhanaan kita semasa kecil, lupa akan budaya kita, bahasa kita yang dulu, dan rasa cinta antar sesame dulu. memang kini aku telah menjadi orang asing di negeriku sendiri, seorang anak haram di negeriku sendiri. Lupa akan gaya hidup di negeriku sendiri dan lebih mengikuti gaya orang asing yang selalu bersenang-senang tanpa memikirkan sebab akibat perbuatanku. Kini aku telah terjangkit virus yang mematikan yang mungkin akan meniadakan aku hingga beberapa hari kedepan. Maafkan aku Din, yang telah lupa akan negerinya, yang telah terlalu jauh melangkah hingga lupa kan asal mulanya. Semoga kau mau memaafkan aku Din.

Jakarta, 10 maret
Anak dan Sahabatmu, Ahmad Rianto


  Ku selesaikan tulisan itu lalu meninggalkannya di meja sebelah tempat tempat tidurku, lalu pergi keluar rumah sakit untuk melewati jam-jam terakirku pada jalan, tanah, dan trotoar negeriku. Negeri di mana aku dilahirkan, dibesarkan dan dimatikan walau sebagai orang asing.



Boim Dos Santos
Jakarta, 09.04.13


Rabu, 01 Mei 2013

Amanat Bayi akan Takdir


Amanat Bayi akan Takdir


Seorang bayi bicara tentang cita-cita
ia bersuara lantang agar sekeliling mereka tahu
hingga beberapa langkah dibuatnya abai dalam waktu

Tiap malam bayi itu merengek
mencoba mengoyak takdir dan peta nasib
hingga malam meyelimutinya
larut dan tenggelam dalam temaram

Namun bayi itu pun sadar.
ia hanya seorang bayi, yang tak mampu berbuat apa-apa
isak tangisnya tak mampu memadamkan api pada lilin
jeritanya tak mampu membangunkan sang ayah yang tengah terlelap
serta hentakan kakinya
tak mampu menghilangkan tetesan embun yang terciprat pada lututnya

Bayi itu pun berteriak keras,
dan berhenti
hingga kematiannya datang
dari kelahiranya yang tidak sempurna.



Boim Dos Santos
Jakarta, 23.04.13