Rabu, 14 Januari 2015

Dipertigaan, Menuju Kampung Wijs

Dipertigaan, Menuju Kampung Wijs


Malam ini itu begitu remang, tak ada cahaya yang membiaskan cahaya bulan, awan pun berarak dengan lembut malam itu. Malam disudut kota Vrij memang biasa seperti itu, para pekerja yang pulang larut pun tenggelam dalam langkahnya menuju tempat tinggalnya, mereka tidak berbicara seperti di siang hari, seperti dipasar perbelanjaan, di kedai-kedai kopi, di pusat perbelanjaan. Mereka berbicara seolah berbisik dengan nada yang pelan. 

Di sisi selatan kota Vrij terdapat dua jalan –Lifj dan Ritjh untuk sampai pada kampung Wijs, namun dari kedua jalan itu yang paling disuakai masyarakat adalah jalan Ritjh, karena jalan itu masih terdapat lampu-lampu jalan yang masih cukup terang untuk menuntun jalan para pekerja yang pulang begitu larut. Jalan Ritjh juga masih cukup luas karena terdapat satu satu jalur mobil tidak seperti jalan Lifj yang hanya bisa dilewati oleh tiga sampai empat orang saja jika berbaris, belum lagi banyaknya tempat sampah yang membuat jalan menjadi teramat sempit dan berbau kurang sedap, lampu jalan pada jalan Lifj juga teramat remang, banyak lampu-lampu jalan yang mati pada jalan ini. 

Aku adalah salah seorang dari pekerja malam yang kerap melewati jalan Ritjh, jalan yang kupikir cukup terang untuk para pekerja malam yang. Selain itu teman-teman pekerja malam yang kutemui pun serupa denganku mereka lebih suka pulang melalui jalan Ritjh, selain alasan yang kukemukan diatas banyak sekali cerita yang beredar entah itu fiksi atau sungguhan. Dari percakapan para pekerja malam sebelum pulang tak sedikit yang berbicara mengenai jalan Lifj yang katanya seram, angker, berbau busuk dan lainnya. Aku tidak begitu memperdulikan hal itu karena dari awal aku memang sudah pulang melalui jalan Ritjh, lagipula pernah aku sesekali melewati jalan Lifj namun itu pada waktu siang hari dan sepertinya biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, hanya sebuah gang menuju kampung yang terdapat banyak tempat sampah dan mungkin beberapa kardus untuk tempat tidur para gelandangan. 

Waktu sudah menunjukan jam setengah sebelas malam, saatnya kami para pekerja untuk pulang. Dipertigaan sebelum kedua jalan itu –Ritjh dan Lifj aku pernah sekali melihat seorang lelaki paruhbaya yang kira-kira berusia tigapuluh tahun melewati jalan Lifj, ia membawa sebuah kantung plastik pada tangan kanannya, langkahnya tegap dan biasa. Para pekerja yang juga melihatnya mulai saling berbisik satu sama lain, aku tak mendengar semua bisikan yang aku dengan hanya sebagian dari mereka berkata “tak ada orang sadar yang pulang lewat jalan itu, pasti ia sedang mabuk hehe”, “mungkin dia seorang pemburu hantu yang ingin mencari hantu dijalan itu haha”, “jalan itu adalah tempat berkumpulnya penjahat mungkin dia salahsatunya”.

Akupun berjalan lebih cepat seolang mengabaikan omongan-omongan usil mereka hinggga sampai pada rumahku dan memastikan untuk istirahat.
Keesokan harinya aku kembali melihat orang yang sama dipertigaan jalan, lelaki paruhbaya yang melewati jalan Lifj itu. Suasananya pun masih sama seperti sebelumnya dimana para pekerja malam yang berjalan bersamaku kembali membicarakan orang itu, dari hal-hal yang aneh, berbau mistis dan lainnya. Kejadian itu berlangsung lama, hingga aku harus memakai headset untuk tidak mendengar bisikan para pekerja malam itu mengenai orang yang melewati jalan Lifj itu. 

***

Hari ini aku mendapat tugas lembur dari bosku karena salah satu pekerja ditempatku ini berhalangan untuk dating. Sudah pukul satu pagi dan aku berkemas untuk pulang, jalan begitu sepi dan hening hanya aku yang ditemani oleh banyangan diriku saja. Tak terasa langkahku sudah menuntunku sampai pertigaan jalan itu, aku berhenti sejenak dan berpikir apakah aku harus melewati jalan Lifj itu? tanyaku namun kuhapus pikiranku itu dan kembali melewati jalan yang biasa kulewati yakni jalan Ritjh. Diujung batas pertemuan antara jalan Ritjh dan Lifj sebelum sampai pada kampungku kulihat seorang lelaki yang sedang bersandar pada tiang listrik sembari menghisap sigaretnya, ya orang itu adalah lelaki yang biasa kulihat melewati jalan Lifj. Sebenarnya ingin sekali aku menanyainya namun sepertinya harus kuurungkan niatku itu karena aku terlalu lelah dengan lemburku, akupun melewatinya seolah tak ada siapapun yang berdiri ditiang listrik itu.

“Hey Bung” akupun menoleh, dan ternyata orang itu memanggilku. Akupun membalas tanyanya dengan bertanya padanya. “Iya, kenapa tuan?” “Oh tidak ada apa-apa, hanya memastikan saja apakah yang barusan kulihat berjalan itu manusia,  bukan hantu” balasnya akupun diam tidak membalas jawabannya lalu kuambil ponselku dan headsetku dari saku untuk mendengarkan lagu dan mengabaikannya, karena kupikir dia memang seperti apa yang orang-orang katakan, ia pemabuk. Akupun telah sampai pada pintu rumahku, ketika kurogoh saku celanaku ternyata kunciku tak ada didalamnya lalu kuperiksa isi tas dan lainnya pun sama, tidak ada kunci rumahku. Mungkin itu terjatuh ditengah jalan atau mungkin tertinggal dikantorku pikirku. Aku tinggal sendirian di rumahku, itu terjadi sejak Ayah dimutasikan dan ia mendapat bekerja di kota, Ibu dan Adikku pun memutuskan untuk pindah lalu ikut dengan Ayahku.

Tidak ada pilihan lain aku harus kembali jalan kearah tempat kerjaku dan melewati jalan yang sama, mungkin kunciku terjatuh ketika aku berjalan pulang tadi. Di jalan sekembalinya aku menuju kantorku kulihat lelaki paruhbaya itu masih bersandar pada tiang listrik itu, masih dengan sigaretnya, aku ingin bertanya padanya apakah ia melihat kunci rumahku yang mungkin terjatuh namun kembali kuurungkan niatku karena alasan yang jelas, yakni ia seorang pemabuk dan mana mungkin seorang pemabuk sepertinya bisa dipercaya. Akupun melewainya tanpa menyapanya dan kembali orang itu memanggilku.

“Hey Bung!” ia memanggil aku berkali namun aku abaikan dan berjalan terus lalu orang itu berkata “Apakah kau mencari ini?” akupun menoleh dan melihatnya sedang menunjukan sesuatu, akupun menghampirinya dan ternyata benar yang ia tunjukan itu adalah kunci rumahku.

“Terimaksih Tuan, inilah yang saya cari” sebenarnya setelah mengambil kunci itu aku ingin langsung pulang tetapi kupikir tidaklah sopan hingga akhirnya sampailah aku pada obrolan singkat dengannya. Nama orang itu adalah Vivere Pericoloso, umurnya 32 tahun. 

“Tuan Vivere, aku ingin bertanya kepada anda mengapa anda lebih memilih melewati jalan Lifj padahal kan tuan tahu sendiri jalan itu gelap banyak terdapat gelandangan, yang kata orang-orang banyak itu tempat itu angker bahkan tempat berkumpulnya para penjahat”
“Begini Bung Marwijk, atas dasar kata orang-orang banyak kah anda bertanya demikian padaku?”

“Ya seperti yang saya katakan barusan Tuan, saya mendengar dari obrolan-obrolan pekerja lain lagipula ketika orang-orang banyak memilih jalan Ritjh mengapa anda memilih jalan Lifj yang secara notabene itu jalan yang cukup gelap dan mungkin tidak bersahabat dengan para pekerja malam.”
“Kalau saya pikir anda tidak akan bertanya demikian ketika Anda sudah melewati jalan itu, toh anda hanya mendengar dari kata orang saja kan Bung?”
“Ya, memang saya tidak pernah melewati jalan itu dan hanya mendengar dari kata oranglain saja.”

“Hehe, begini Bung, atau saya panggin anda Tuan saja ya, saya tidak akan menceritakan apa saja yang ada dijalan itu, dan mengapa saya lebih memilih jalan itu. Awalnya saya melewati jalan yang sama dengan tuan, banyak yang melarang untuk melewati jalan itu namun ada beberapa hal yang membuat saya berpikir mengapa memang dengan jalan itu, apakah ada yang salah dari melewati jalan itu? Hingga sampailah saya pada sekarang.”

“Sampai tuan akhirnya memilih akan selalu melewati jalan itu? Dan mengabaikan kata orang-banyak.”

“Kata-kata orang lain pada akhirnya hanya menjadi angin lalu Tuan, yang merasakan anda sendiri bukan orang lain itu. setiap hari kita akan selalu ditemui pada sebuah pilihan, contohnya disaat Tuan memilih tidak menjadi perokok itu adalah pilihan, disaat saya memilih menghabiskan beberapa batang sigaret saya diluar rumah juga pilihan, namun memang kita sepertinya tak sadar bahwa kita telah memillih suatu hal.” Akupun terdiam hening mendengar kata-katanya, apakah benar orang ini seperti yang orang lain bicarakan? Apakah pemabuk, pemburu hantu, penjahat akan berbicara seperti ini, saya tenggelam dalam pikiran saya untuk beberapa saat hingga orang itu berkata lagi.

“Maaf jika membuat tuan bingung, saya tidak bermaksud menghasut anda biar saya cerita sedikit, jalan itu” sembari ia menujuk jalan Lifj “terdapat banyak gelandangan, pengemis, kumpulan orang-orang dengan ekonomi kebawah tidak seperti orang-orang yang terdapat jalan Ritjh, kau tahu aku selalu membawa kantung plastik disetiap aku melewati jalan itu bukan, isinya adalah makanan dan beberapa cemilan, aku tinggal sendiri dikampung ini dan merekalah keluargaku orang-orang terasing yang dijauhi kebanyakan orang, merekalah yang menemaniku tiap aku sepulang kerja. Aku bisa merasakan kepedihan mereka dijalan itu, tentang kehidupan dan lainnya”

“Jadi itukah alasan anda selalu melewati jalan itu”

“Tuhan menciptakan hati dan perasaan, dan lewat jalan itu saya rasa saya bisa memfungsikan ciptaan Tuhan itu dengan baik, lagipula manusia diciptakan sebagai mahluk sosial bukan? Sudah pukul tiga dinihari tuan, bukankah esok tuan kembali bekerja”

“Oh iya tuan, tidak terasa sudah begitu pagi.”

“Rumah saya tidak jauh dari rumah Tuan, hanya berbeda lima rumah disamping Tuan, mampirlah jika ada waktu, saya ingin istirahat terimakasih sudah menemani pagi saya Tuan”

“Apakah tuan kenal dengan saya?” lalu orang itupun berjalan pergi tanpa membalas jawabku.


Selasa Petang 30 Desember 2014

D.A

Dialog Tujuhbelas Agustus, Menjelang Siang

Dialog Tujuhbelas Agustus, Menjelang Siang


Tujuh belas agustus dini hari, langit seolah bersenandung riang disaat matahari belum tampak. Nampak Dodit seorang remaja belia berusia 19 tahun itu masih terlelap di atas kasur dan membaringkan kepalanya diatas bantal yang empuk. Ia terlampau lelap dengan mimpi-mimpi malamnya.

Disaat matahari sudah terlalu terik sang ibu mambangunkannya,
“Dit, sudah siang. Kamu ini tujuhbelasan malah tidur.” ucap sang Ibu
“Memangnya ada yang spesial Bu, sudah aku masih ngantuk.”
“Ini hari kemerdekaan nak, Kakekmu dulu berjuang untuk terwujudnya hari ini kamu malah tidur. Sudah cepat bangun, mandi, teman-teman kamu saja sudah pada bangun dan ikut lomba.”
“Kakek kan memang hidup di zaman perang bu, sudahlah aku kan sudah bukan anak-anak lagi biar anak-anak bocah saja yang ikutan lomba.”
“Kamu ini, sudah bangun atau nanti Ibu siram biar kamu tidak ngantuk lagi” lalu sang Ibu pun keluar dari kamar remaja itu.
“Iya, iya. Dasar kemerdekaan mengganggu orang tidur saja” gerutunya.

Setelah mandi Dodit pun keluar rumah, ia pergi kesebuah warkop membeli es teh manis.
“Kamu ndak ikut lomba Dit” tanya sang penjaga warkop.
“Lomba kan buat anak-anak bocah Mas Joko, gue kan udah gede.”
“Lah, emang lomba buat anak bocah saja Mas, kan ada juga yang buat orang dewasa kaya panjat pinang misalnya.”
“Mas Joko sendiri kenapa engga ikut lomba?”
“Saya mah kan sibuk jaga warung.”
“Saya juga sibuk mas, di hp saya bunyi melulu kan dari tadi.”
“Oalah, susah ya anak jaman sekarang, kerjaannya mencet-mencet hp melulu, bingung saya.”
“Lah, jangan bingung mas, udah mending bikinin saya mie rebus saya laper juga ini.”
“Yowislah.”

Doditpun tampak sibuk dengan telepon genggamnya, membuat status di media sosialnya, mengunduh foto dan lainya. Tiba-tiba ada Orang tua yang kira-kira berusia empatpuluh tahun datang dan duduk disebelah Dodit.
“Anak-anak sekarang pada sok nasionalis ya Mas Joko?” tanya Dodit.
“Mas, kopi hitamnya satu ya” seru Orang tua itu.
“Oh iya pak, lah, memngnya kenapa mas dodit.”
“Ini pada sok upload-upload foto-foto Soekarno, terus ngomongin kemerdekaan lah ngomongin Negara pada sok dah.”
“Ya mungkin itu cara mereka memaknai kemerdekaan Mas.”
“Kalo cuma nulis-nulis gitu doang emang termasuk memaknai kemerdekaan Mas?”
“Mungkin juga mas kalo dikampungku kan ada pawai-pawai gitu, ikut lomba-lomba, membuat lukian dikampung-kampung, kalau kata Pak Lurah sih itu contoh memaknai kemerdekaan Mas Dodit” jawab Mas Joko sembari mengaduk kopi pesanan orang tua yang duduk disebelah Dodit.
“Iki mas kopinya” seru Mas Joko.
“Iya, terimakasih” jawab Orang tua itu.
“Aku beli rokok dulu ya Mas.”
“Yoo.”

Dodit pun beranjak dari warkop menuju warung yang berada empat rumah disamping warkop, di warung ia bertemu dengan Johan.
“Dit, baru bangun lo, ikut lomba lah ayo ke lapangan” ajak Johan.
“Hh males, gue mau makan dulu di warkop” jawab Dodit sembari menyalakan rokoknya.
“Yaudah abis makan ya kedepan, rame kok.”
“Paling rame anak bocah.”
“Ah belum kedepan aja udah sok tau, lomba tujuhbelasan kan setahun sekali doang dit sayang ga ikut, ya sekedar memeriahkan kemerdekan aja.”
“Kita ini udeh merdeka bro, ngapain dirayain lagi.”
“Ya sekedar mengenang jasa pahlawan yang udah berjuang demi kemerdekaan aja apa salahnya Dit.”
“Lo sok kaya anak-anak jaman sekarang nih, sok nasionalis. Iya ntar gue udeh makan gue ke lapangan.”
“Nah gitu dong, yaudah gue duluan ya.”
“Iya” jawab Dodit ketus.

Doditpun kembali ke warkop untuk menyantap mie rebus pesanannya itu
“Itu Dit mi rebus mu” kata Mas joko.
“Oh, iya mas” Dodit pun mematikan rokoknya lalu menyantap mie rebus itu perlahan-lahan.
“Bener-bener ya mas, anak sekarang itu sama semua. Ga temen sekolah ga temen rumah pada sok nasionalis, tadi si Johan sok nasehatin gue dia bilang kita ikut lomba buat sekedar mengenang jasa pahlawan, masa mengenangnya dengan cara seneng-seneng kan ngga masuk akal” tanya Dodit sembari mengunyah mi rebusnya.
“Nama kamu siapa Mas?” tanya Orang tua yang tadi memesan kopi.
“Saya pak?” jawab Dodit yang tengah menelan mi rebusnya sembari bertanya.
“Iya kamu Mas” jawab orang tua itu sembari melirik ke arah Dodit.
“Saya Dodit pak, memang kenapa?”
“Oh tidak apa-apa, maaf saya tidak sengaja mendengar perbincangan Mas Dodit yang mengeluh tentang orang-orang yang sok nasionalis, memang menurut Mas Dodit orang yang tidak sok nasionalis itu bagaimana?”
“Hmm bagaimana ya Pak, ya yang engga ngomongin itu-itu tadi pas kemerdekaan aja Pak”
“Oh jadi orang yang benar-benar nasionalis itu orang yang selalu ngomongin Indonesia setiap saat gitu Mas? Disetiap ngobrol asik dia tiba-tiba bicara tentang Indonesia, pas kita lagi ngomongin perempuan tiba-tiba dia ngebahas sejarahnya gitu-gitu?”
“Ya, engga gitu juga sih Pak.”
“Habis bagaimana?” tanya Orang tua itu bingung.
“Hmm, oh iya, orang yang engga sok nasionalis itu orang yang tahu tentang Indonesia tapi dia diam-diam aja Pak.”
“Dia orang bisu atau orang yang nasionalis nak Dodit? Diam-diam terus begitu.”
“Nah tuhkan salah lagi gue” seru Dodit dengan nada pelan “Hmm gimana ya Pak, nah, mungkin orang-orang dulu tuh pak, di jaman kakek saya gitu yang ikut-ikut perang gitu, mereka pasti nasionalis tuh dia kan membela tanah air dan bangsanya tuh, iya mereka-mereka orang tuh.”
“Jadi hanya orang dulu saja yang pantas disebut nasionalis Mas Dodit? Orang orang yang hidup setelah kemerdekaan ga pantas disebut nasionalis?”
“Iya juga sih, aduh maaf nih pak kayanya saya salah ngomong nih, emang saya suka ngawur kalo baru bangun gini pak hehe” seru Dodit sembari tersenyum malu “Eh kamu Mas Joko jangan ketawa tanpa suara.”
“Siapa yang ketawa mas” jawab Mas Joko.
“Itu kamu senyum-senyum gitu.”
“Sudah-sudah jadi kalian yang ribut” kata orang tua itu menengahi Dodit dan Mas Joko “begini Mas Dodit, saya cerita sebentar ya, dulu kata Ayah saya pernah berkata begini. Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri, gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri.”
“Berarti kita harus tau sejarah bangsa kita ya pak? Tapi kenapa tiba-tiba Ayah bapak gitu Bak?” tanya Dodit memotong pembicaraan.
“Iya kamu dengar dulu, saya sangat menyukai musik, bermain musik, mambaca buku-buku sejarah musik dan lainya, Ayah saya seperti yang kamu alami ini, saya ngoceh terus tentang sejarah musik rock, blues mungkin dia juga pusing lalu berkatalah demikian. bedanya, Ayah saya bicara benar kalau kamu ngawur.”
“Nah, bener berarti ucapan saya Pak, kalau orang nasionalis itu orang-orang dulu seperti Ayah Bapak” seru Dodit.

         Lalu Orang tua itu hanya geleng-geleng kepala “Baiklah, nasionalis itu bukan semacam gelar Mas Dodit, tidak seperti orang yang ahli agama yang dipanggil ustad, seseorang yang mengerti sejarah pun tidak akan mengakui dirinya nasionalis gelarnya hanya sejarawan saja. Intinya jika kita memiliki rasa banga akan bangsa kita, hati kita bergetar ketika mendengar lagu Indonesia Raya maka saat itu kita menjadi seorang yang nasionalis. Tapi ini hanya menurut pandangan saya, beda orang beda pendapa mas.”
“oia mas ini aku bayar kopi hitamku” seru orang tua itu kepada Mas Joko.
“oh, iya iya saya jadi ngerti pak sekarang. Oia saya ada satu pertanyaan pak, kalau yang dikatakan mas joko tadi tentang memaknai kemerdekaan itu dengan ikut lomba, mewarnai kampung seperti itu apa benar mas?” tanya Dodit.

“Bung karno pernah berkata dalam pidatonya di dalam forum PBB pada tahun sembilanbelas enampuluh. Apakah sebabnya saya percaya, bahwa perjuangan kami akan berhasil tanpa kegiatan PBB? Saya yakin hal itu karena dua sebab. Pertama saya mengenal rakyat saya, saya mengetahui kehausan mereka tentang kemerdekaan nasional dan saya mengetahui tekadnya. Kedua saya yakin hal itu karena jalannya sejarah. Kita semua dimanapun didunia ini, hidup di zaman pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium. Inilah zaman bangkitnya bangsa-bangsa dan bergejolaknya nasionalisme. Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta terhadap sejarah. Mengingat adalah cara sayang untuk memaknai kemerdekaan, maknailah kemerdekaan mu sendiri, dan jangan lupa habiskan mi instanmu itu” seru Orang tua itu lalu pergi meninggalkan warkop.



D.A
Jakarta, 10, 2014

Mungkin

Mungkin


kita memang belum sampai pada kata kembali
namun, 
ketika kau mulai merasakan aku wujud disisimu
dan aku yang terus membuatmu bermain pada pikiranku
sepertinya kita telah melewati kata kembali itu
mungkin


04.01.15
D.A

Beberapa Saat Sebelum Pertandingan Sepak Bola

Beberapa saat Sebelum Pertandingan Sepak Bola


Malam itu tepat pukul satu dinihari, waktu di mana biasanya dua pasang mata telah beristirahat dan direbahkannya badan pada kasur-kasur yang empuk. Tetapi malam ini sungguh berbeda dari malam-malam biasanya, karena terdapat sebuah pertandingan besar antara Timnas Spanyol dan Timnas Belanda, pertandingan itu akan menentukan siapakah penguasa sepak bola dimuka bumi –final piala dunia. Pada sebuah kampung dibilangan Jakarta pusat banyak sekali orang-orang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan sepak bola, mereka tertuju pada suatu tempat di mana tempat itu menyediakan layar yang cukup besar untuk diadakannya nonton bersama.

Ya, tempat itu adalah balai warga, tempat yang biasa dijadikan warga kampung kartini untuk menyelenggarakan acara-acara baik acara sosial, lomba, maupun acara nonton bersama ini.
Tidak hanya orang-orang tua yang antusias dengan acara nonton bersama itu, anak-anak mudanya pun begitu antusias. Beberapa dari mereka berkumpul terlebih dahulu disebuah warung kopi dekat balai warga untuk menghabiskan waktu sembari menunggu pertandingan dimulai. Ya pemuda itu ialah Dodit, Angga dan Wahyu.

          “Hai Dit, lo kok pake baju Indonesia sih? Emang Indonesia main di piala dunia. Kaya gue dong pake baju Belanda Hehe” seru Angga.
“Tau lo Dit, gue aje pake baju Belanda nih. Tuh mas Joko aja pake baju Spanyol” Tambah Wahyu sembari menunjuk kepada penjaga warung kopi.
“Ah lo berdua, kaya orang bener, kompeni lo dukung inget bro mereka udeh ngejajah Indonesia tigaratuslimapuluh tahun. Masih aje lo dukung” jawab Dodit. “Mas Joko kopi item dong satu.” 
“Iya Mas Dodit” jawab Mas Joko.
“Saya juga mas” seru Wahyu. “lo ga mesen ape-ape Ngga? Biar sekalian” tambah Wahyu.
“Engga Yu kan gue udeh beli rokok nih, oia trus lo dukung Spanyol Dit, tapi kenapa lo pake baju Indonesia?” Tanya Angga.

“Dengan gue ngomong gitu bukan berarti gue ngedukung Spanyol, gue mah dukung Indonesia, sama Persija udeh” jawab Dodit sembari menyalakan rokoknya.
“Yee, kita juga sama kaya elo Dit, dukung Indonesia sama Persija juga. Tapikan yang sekarang lagi main itu Belanda sama Spanyol bukan Indonesia lawan Persija, benerkan mas Joko?” jawab Wahyu.
“Iya Mas Wahyu, bener tuh Mas Dodit” jawab Mas Joko.
“Iya Dit, lagipula kan mereka udah engga ngejajah lagi. Dunia udah damai juga dan Indonesia udah merdeka juga” tambah Angga.
“Tapi bukan berarti kita harus ngelupain sejarah bro, mereka penjajah mereka keji” jawab Dodit.
“Ya lo juga kan kewarkop ini buat nobar juga kan, ah sok-sokan jadi Bung Karno loh hahaha” Seru Angga sembari tertawa.

“Ah gue tau nih, lo kan pecinta Madrid terus pasti dukung Spanyol tapi karena gapunya baju Spanyol aja lo jadi begini. Sok-sokan ngomongin jangan lupa sejarah, huuu” tambah Wahyu.
“Iyedeh terserah lo pada, emang gue dukung Spanyol tapi yang gue omongin tadi tuh beneran bro, gue abis baca pamflet ditengah jalan pasar baru ada tulisan jas merah, artinye jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu tuh ilham gue kenape gue bisa ngomong tadi” jawab Dodit.
“Yah kita juga ga bakal lupa lah udah dijajah sama Belanda, tapikan kaya yang gue omongin barusan. Ini tuh udah lewat masa penjajahan, jadi gapapa lah kita kalo ngedukung Belanda” seru Angga.
“Ini Mas kopi hitamnya” seru Mas Joko sembari meletakan dua gelas kopi pada meja warkop.
“Iya Dit, udahlah masa lalu biarin aja berlalu kita juga kan udah engga berurusan lagi sama Negara Belanda, udah damai kita” tambah Wahyu.

“Nah tuh dia kesalahan lo pada, lo cuma ngeliat sekarang aja, lo juga harus pelajarin sejarah bro, gue juga lagi mau belajar nih, mau baca-baca buku diperpustakaan sekolah gue tentang sejarah-sejarah.”
“Ah elo Dit, udeh sekarang kan kita mau nonton bola kenape bahas sejarah dah” keluh Angga.
“Tuh lo mah gitu Ngga, gue ajak ngomongin yang bener engga mau suseh dah emang.”
“Bukannye gitu Dit, kite kan emang begini baru lulus SMK mau kuliah engga kuat sama bayarannye. Jadi susah buat mikirin begitu-begitu apelagi Nyokap udeh nyuruh kita pada kerja nyari duit” tegas Wahyu.

“Iye juga sih, tapi gue lagi mau belajar aje gara-gara liat pamflet tadi tuh. Gue jadi kepengen kuliah jurusan sejarah bro, Enyak gue sih udeh bilang Encang gue mau bayarin gue kuliah tapi gue bingung soalnye masuk kuliah kan engga kaya masuk apotik yang tinggal masuk aje.” Seru Dodit sembari menyeruput kopi hitamnya.
“Bener sih ape kate lo, gue juga sama Wahyu juga pengen kuliah, belajar lagi tapi ya masalahnye lo tau kan, kalo orang tua kite kaya orang tuanye Indra yang mampu sih gampang-gampang aje, ye gak Yu?”

“Iya bener Dit kata si Angga tuh, nah lo tanya Indra aja cara masuk kuliah gimana? Yegak ntar lo yang ajarin kita-kita deh. Bener kan Ngga?”
“Nah gue setuju tuh sama Wahyu, lah itu dia tuh si Indra. Woi Ndra kemari lah ada yang mau gue tanyain nih” seru Angga sembari memanggil Indra.

Lalu Indra pun datang meghampiri ketiga remaja itu dan duduk .
“Eh ada lo pada, engga pada ke balai warga lo?” Tanya Indra.
“Ini kita ngopi-ngopi dulu Ndra, lagian masih satu jam lagi kick off”  jawab Wahyu.
“Iya juga sih, yaudah Mas Joko saya pesan susu hangat ya. Oia memang kalian mau nanya apaan nih sama gue” seru Indra.
“Gini Ndra, si Dodit kan mau kuliah tuh dia mau nanya sama lo gimana caranya? Yakan Dit” seru Angga.
“Oh gitu, gampang Dit tinggal daftar online aja dulu. Ntar gue kasih tau deh websitenya” jawab Indra.
“Nah tuh Dit Tanya-tanya aja sama si Indra nih kalo lo engga tau ini itunya” tambah Wahyu.
“Iya Dit sms gue aja, emang lo mau kuliah apaan Dit gue kira lo mau langsung kerja lo kan pada lulusan SMK.” 
“Si Dodit lagi kesurupan sejarah Ndra hehe, dia katanya mau ngambil jurusan sejarah gue-gue orang aje pake diomelin nih ntar nonton dukung Belanda trus pake baju Belanda disangka gue dukung penjajah hehe yakan Mas Joko” seru Angga sembari tertawa.
“Hehe iya kali Mas, oia ini mas Indra susu hangatnya” seru Mas Joko sembari meletakan gelas berisi susu hangat di meja warkop.

“Ah sial lo Ngga, gue kan ngomong bener”
“Loh kenapa emang Dit? Tumben lo ngomong gitu” Tanya Indra.
“Iye Ndra, lo kan mahasiswa nih ya walaupun jurusan lo bahasa pasti ngerti lah dikit-dikit tentang sejarah Indonesia, ya pasti baca-baca buku lah yekan?” Tanya Dodit.
“Iya-iya, tapi gue mau nanya dulu nih kenapa lo bisa bilang gitu ke Angga sama Wahyu?”
“Oh, gue abis liat pamflet Ndra di pasar baru, tulisannye JasMerah artinye jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ya karena gue inget sejarah bangsa gue yang dulu dijajah Belanda gue omelin aje dua orang ini nih” jawab Dodit sembari melirik Angga dan Wahyu.

“Oh gitu, gue salut nih sama lo Dit, biasanya orang-orang kebanyakan pada engga peduli sama pamflet-pamflet kaya begitu, biasanya orang kebanyakan tuh cuma baca tulisan-tulisan yang dia suka aja kaya semacam acara band, trus bazaar-bazar, promo-promo, jarang banget ada yang inget tulisan yang menurut gue lebih bermanfaat” seru Indra.
“Iye Ndra tau nih gue suka aje sama kata-katanye, trus bikin gue kepikiran kalo gue harus belajar sejarah lagipula kan Engkong gue juga dulu ikut perang lawan penjajah, mungkin masih ngalir kali ye darah nasionalis di tubuh gue? Hehe” jawab Dodit.

“Darah nasionalis sih darah nasionalis, tapi jangan bilang gue sama Wahyu pendukung penjajah dong, gue juga cinta nih tanah air, yakan Yu” seru Angga “Iya Ngga, bener tuh lagian penjajah kan udeh engga ada ya Ndra dunia udah aman sentosa” tambah Wahyu sembari menyeruput kopinya.
“Hehe, udah-udah, kalian engga ada yang salah Dodit benar ketika bicara jangan melupakan sejarah lalu kalian berdua juga benar, dengan mendukung Timnas Belanda bukan berarti mendukung penjajah” 
“Tuhkan bener kata gue Dit, gue sama Wahyu engga mendukung penjajah kok” sela Angga
“Begini kawan-kawan, gue abis baca buku tentang Tan Malaka. Kalian ada yang tau Tan Malaka itu siapa?” Tanya Indra.
“Siapa tuh Ndra? Engga tau gue, lo pada tau Ngga, Dit?” Tanya Wahyu lalu Dodit dan Angga pun menggelengkan kepala.

“Gue gaakan nyeritain tentang siapa itu Tan Malaka, karena bisa sampe siang nih kalau gue certain dia, bisa-bisa kita engga jadi nobar. Yang jelas dia itu sosok pahlawan Indonesia yang sengaja dihapus sejarahnya kalo lo mau tau lebih lengkap entar gue pinjemin bukunya.” 
“Lah kok pahlawan bangsa diperlakuin gitu Ndra?” Tanya Dodit.
“Kan tadi barusan gue bilang, kalau gue ceritain bisa sampai siang kita di warkop. Intinya itu tadi deh Tan Malaka itu sengaja dihapus sejarahnya sama bangsa kita karena kepentingan pihak yang berkuasa, nah buku yang gue baca tadi itu penulisnya seorang yang berkewarganegaraan Belanda, namanya Harry  Poeze dia menulis tentang siapa itu Tan Malaka, seberapa pentingnya Tan Malaka dan mengkritik kenapa selama ini nama Tan Malaka sudah dicoret dari buku pelajaran sejarah, dia bilang begini. Banyak fakta yang harus dipahami, pertama Tan Malaka seorang Nasionalis dengan pemikiran tinggi. Kedua, Tan Malaka sangat berperan dalam mendirikan Republik Indonesia yang sejahtera.”

“Wah berarti dia orang hebat Ndra” seru Wahyu “Iya Yu, dia orang penting juga tuh buat Bangsa kita” tambah Angga.
“Iya tentu, bahkan Harry Poeze bicara begini. Setuju atau tidak setuju harus diakui bahwa Tan Malaka memiliki peran penting dalam mendirikan RI, tetapi sejarah tidak menyebutnya. Ini tidak cocok dengan realitas sejarah. Dan itu sebabnya omongan Dodit itu benar dengan mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah yang salah itu ketika Dodit melarang kalian mendukung tim Belanda dan bicara pada kalian bahwa kalian pendukung belanda”
“Tuhkan Dit, lo salah tuh ngomong gitu yakan Ngga” seru Wahyu.
“Udah Yu, dengerin dulu nih kata Indra orang ngomong bentar asal potong aje” jawab Dodit “Iya Yu denger dulu lo” tambah Angga.
“Udah-udah kenapa kalian yang pada jadi ribut. Intinya tuh begini, seorang warga asli kelahiran Belanda aja udah bicara begitu, dia rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk hal yang mulia. Karena dia berpikir dosa masa silam negaranya, memang belanda itu penjajah tetapi itu dulu, sebenarnya banyak juga orang-orang Belanda yang datang mengajarkan kita segala aspek, dari pendidikan bahkan sampai ketatanegaraan. Bahkan orang-orang hebat dan pendiri bangsa kita juga banyak kok yang belajar di Belanda. Tapi gimana sikap orang-orang Indonesianya sendiri, mereka malah melupakan pahlawannya sendiri dan engga ada yang peduli. Kita sebagai orang Indonesia seharusnya malu sama dia yang notabennya seorang warga Negara asing, warga Negara yang dahulu kita benci karena telah menjajah Negara kita. Tapi sekarang yang lebih mulia itu kita yang warga asli Indonesia atau dia yang masih keturunan Belanda” 
“Lebih mulia Die Ndra, die udah mau jauh-jauh dateng kemari cuma ngelurusin sejarah bangsa kita yang udah engga bener lagi, pantes aja ye ada pamflet tulisan kaya begitu, yekan bro” seru Dodit sembari melihat kepada Angga dan Wahyu. “Iye Dit, pantesan ye” tambah Angga.
“Nah tuh lo paham kan Dit, oia sekarang udah jam berapa nih Tanya Indra? Ayolah kita ke balai warga” Tanya Indra.
“Iya Mas, aku juga udah mau bangunin si mbok ini biar gantian jagain warkopnya aku mau ke balai warga juga hehe” seru Mas Joko.
“Wah iya juga nih, oia Mas ini gue bayar kopi hitamnya dua nih sama punya Dodit juga, ayo kita jalan” seru Wahyu.
“Iye-iye, oia Mas ini bayar susunya Indra nih. Udeh Ndra lo kan udeh ngasih kite sedikit ilmu nih jadi biar gue yang bayar, sama besok gue pinjem ye tuh buku sama sekalian lo kasih tau gue cara masuk kuliah”
“Alah, udah kaya sama siapa aja Dit. Thanks ya, iya sms aja gue di rumah kok. Ayo kita jalan, ayo Mas Joko, maturnuwun ya” seru Indra.
“Iya Mas nanti aku nyusul kok” 

Lalu keempat remaja itu pergi meninggalkan warkop menuju balai warga di mana terdapat banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan perdandingan final tersebut.


Desember, 2014
D.A


Ketika Kita Berbalas Sajak

Dipenghujung Surat, Saat kau tak lagi Tertidur di dalam Puisiku


Ada lara, dimana aku harus membunuh apa yang tak seharusnya kubunuh. Barangkali seperti hujan yang tak ingin manusia berlarian disaat ia datang.

Menulis kemarin adalah hal yang tak kusuka pagi ini, terlebih malam-malam setelah ini. Aku sedikit menyesal ketika harus menjadi pengingat, kerena mengingat tak melulu baik bagi mereka yang harus membunuh apa yang seharusnya mereka rawat. Terlebih ingatan itu begitu melekat.

Kini waktu telah menulis apa yang seharusnya ia tulis, kita hanya bisa terdiam. Kita hanya bisa berimaji tentang kemarin ketika waktu merekam tawa, cita, sendu kita. Dan kita tak bisa lagi berharap banyak padanya, berharap pada waktu dimana kau terlelap pulas dan tak berniat untuk bangun dari puisiku. Memang, kita harus belajar bagaimana menjalani waktu –sebuah dimensi dimana kita kadang tak tersadar ketika hendak berjalan diatasnya.

Aku sudah terlampau lelah untuk berharap pada waktu, pada petang kemarin disaat pertama aku merebahkan engkau didalam puisiku. Tetapi aku sadar, mungkin juga engkau, bahwasanya kita memang masih mengharapkan waktu kemarin. Engkau yang mengharapkan petang kemarin dan aku yang masih berharap agar engkau selalu terjaga didalamnya.

Entahlah, waktu yang terlalu egois untuk kita atau kita yang terlalu abai ketika membiarkan waktu berjalan diatas kita tanpa sadar.

Sungguh, setiap detik pada kemarin masihlah kuingat, begitu pula dirimu. Yang masih tetap terjaga dalam rumahmu dahulu. Entah sampai kapan, mungkin setelah kukirim sajak ini. Namun, saat kau telah memiliki rumah barumu dan seorang yang mampu membuatmu tertidur dalam puisinya. 

Memanglah kita harus melupakan masing-masing dari wajah kita, harum tubuh kita, ingatan tentang kita dan lain-lainnya. Karena mungkin rumahmu itu tak lagi ramah untukmu, untuk sekedar mengingat hal-hal itu. Mengingat setiap detail waktu yang menggambarkan tentang kita.

Namun ingatlah. Jika pada suatu hari nanti kita berpapasan pada petang yang sama, pada puisi pertama yang kubuat untuk membuatmu terlelap. Aku akan kembali menanyakan tentang cinta, bukan kemarin atau hal-hal yang membuat kita lupa menjadi kita. Hanya sebuah pertanyaan kecil tentang cinta, bukan untukmu, tetapi untuku. Karena aku begitu mencintaimu.  Itu saja.

Desember Dinihari.
Do




Teruntukmu
Do, entah kutulis ribuan kata-kata yang menggambarkan sosok serupa engkau,
 imaji tentang kita juga hal yang membuatku tersenyum dalam ingatan
juga tentang aku yang mencintai puisi

Waktu kerap egois untuk kita,
Terkadang inginku ulang waktu dimana aku seharusnya dapat bersikap
Selayaknya kekasih yang terbaik untukmu
Juga tentang mu yang tak selalu dengan duniamu

Saat ini, aku hanya ingin dirimu
Aku mencintaimu
Sekian.

Akhir Desember 2014
Senja dalam Cibubur

Di