Dipertigaan,
Menuju Kampung Wijs
Malam ini itu begitu remang, tak ada
cahaya yang membiaskan cahaya bulan, awan pun berarak dengan lembut malam itu.
Malam disudut kota Vrij memang biasa seperti itu, para pekerja yang pulang
larut pun tenggelam dalam langkahnya menuju tempat tinggalnya, mereka tidak
berbicara seperti di siang hari, seperti dipasar perbelanjaan, di kedai-kedai
kopi, di pusat perbelanjaan. Mereka berbicara seolah berbisik dengan nada yang
pelan.
Di sisi selatan kota Vrij terdapat dua jalan
–Lifj dan Ritjh untuk sampai pada kampung Wijs, namun dari kedua jalan itu yang
paling disuakai masyarakat adalah jalan Ritjh, karena jalan itu masih terdapat
lampu-lampu jalan yang masih cukup terang untuk menuntun jalan para pekerja
yang pulang begitu larut. Jalan Ritjh juga masih cukup luas karena terdapat
satu satu jalur mobil tidak seperti jalan Lifj yang hanya bisa dilewati oleh
tiga sampai empat orang saja jika berbaris, belum lagi banyaknya tempat sampah
yang membuat jalan menjadi teramat sempit dan berbau kurang sedap, lampu jalan
pada jalan Lifj juga teramat remang, banyak lampu-lampu jalan yang mati pada
jalan ini.
Aku adalah salah seorang dari pekerja
malam yang kerap melewati jalan Ritjh, jalan yang kupikir cukup terang untuk
para pekerja malam yang. Selain itu teman-teman pekerja malam yang kutemui pun
serupa denganku mereka lebih suka pulang melalui jalan Ritjh, selain alasan
yang kukemukan diatas banyak sekali cerita yang beredar entah itu fiksi atau
sungguhan. Dari percakapan para pekerja malam sebelum pulang tak sedikit yang
berbicara mengenai jalan Lifj yang katanya seram, angker, berbau busuk dan
lainnya. Aku tidak begitu memperdulikan hal itu karena dari awal aku memang
sudah pulang melalui jalan Ritjh, lagipula pernah aku sesekali melewati jalan
Lifj namun itu pada waktu siang hari dan sepertinya biasa-biasa saja, tidak ada
yang aneh, hanya sebuah gang menuju kampung yang terdapat banyak tempat sampah
dan mungkin beberapa kardus untuk tempat tidur para gelandangan.
Waktu sudah menunjukan jam setengah
sebelas malam, saatnya kami para pekerja untuk pulang. Dipertigaan sebelum
kedua jalan itu –Ritjh dan Lifj aku pernah sekali melihat seorang lelaki
paruhbaya yang kira-kira berusia tigapuluh tahun melewati jalan Lifj, ia
membawa sebuah kantung plastik pada tangan kanannya, langkahnya tegap dan
biasa. Para pekerja yang juga melihatnya mulai saling berbisik satu sama lain,
aku tak mendengar semua bisikan yang aku dengan hanya sebagian dari mereka
berkata “tak ada orang sadar yang pulang lewat jalan itu, pasti ia sedang mabuk
hehe”, “mungkin dia seorang pemburu hantu yang ingin mencari hantu dijalan itu
haha”, “jalan itu adalah tempat berkumpulnya penjahat mungkin dia
salahsatunya”.
Akupun berjalan lebih cepat seolang
mengabaikan omongan-omongan usil mereka hinggga sampai pada rumahku dan
memastikan untuk istirahat.
Keesokan harinya aku kembali melihat orang yang sama
dipertigaan jalan, lelaki paruhbaya yang melewati jalan Lifj itu. Suasananya
pun masih sama seperti sebelumnya dimana para pekerja malam yang berjalan
bersamaku kembali membicarakan orang itu, dari hal-hal yang aneh, berbau mistis
dan lainnya. Kejadian itu berlangsung lama, hingga aku harus memakai headset
untuk tidak mendengar bisikan para pekerja malam itu mengenai orang yang
melewati jalan Lifj itu.
***
Hari ini aku mendapat tugas lembur dari
bosku karena salah satu pekerja ditempatku ini berhalangan untuk dating. Sudah
pukul satu pagi dan aku berkemas untuk pulang, jalan begitu sepi dan hening
hanya aku yang ditemani oleh banyangan diriku saja. Tak terasa langkahku sudah
menuntunku sampai pertigaan jalan itu, aku berhenti sejenak dan berpikir apakah
aku harus melewati jalan Lifj itu? tanyaku namun kuhapus pikiranku itu dan
kembali melewati jalan yang biasa kulewati yakni jalan Ritjh. Diujung batas
pertemuan antara jalan Ritjh dan Lifj sebelum sampai pada kampungku kulihat
seorang lelaki yang sedang bersandar pada tiang listrik sembari menghisap
sigaretnya, ya orang itu adalah lelaki yang biasa kulihat melewati jalan Lifj. Sebenarnya
ingin sekali aku menanyainya namun sepertinya harus kuurungkan niatku itu
karena aku terlalu lelah dengan lemburku, akupun melewatinya seolah tak ada
siapapun yang berdiri ditiang listrik itu.
“Hey Bung” akupun menoleh, dan ternyata
orang itu memanggilku. Akupun membalas tanyanya dengan bertanya padanya. “Iya,
kenapa tuan?” “Oh tidak ada apa-apa, hanya memastikan saja apakah yang barusan
kulihat berjalan itu manusia, bukan hantu” balasnya akupun diam tidak
membalas jawabannya lalu kuambil ponselku dan headsetku dari saku untuk
mendengarkan lagu dan mengabaikannya, karena kupikir dia memang seperti apa
yang orang-orang katakan, ia pemabuk. Akupun telah sampai pada pintu rumahku,
ketika kurogoh saku celanaku ternyata kunciku tak ada didalamnya lalu kuperiksa
isi tas dan lainnya pun sama, tidak ada kunci rumahku. Mungkin itu terjatuh
ditengah jalan atau mungkin tertinggal dikantorku pikirku. Aku tinggal
sendirian di rumahku, itu terjadi sejak Ayah dimutasikan dan ia mendapat
bekerja di kota, Ibu dan Adikku pun memutuskan untuk pindah lalu ikut dengan
Ayahku.
Tidak ada pilihan lain aku harus kembali
jalan kearah tempat kerjaku dan melewati jalan yang sama, mungkin kunciku
terjatuh ketika aku berjalan pulang tadi. Di jalan sekembalinya aku menuju kantorku
kulihat lelaki paruhbaya itu masih bersandar pada tiang listrik itu, masih
dengan sigaretnya, aku ingin bertanya padanya apakah ia melihat kunci rumahku
yang mungkin terjatuh namun kembali kuurungkan niatku karena alasan yang jelas,
yakni ia seorang pemabuk dan mana mungkin seorang pemabuk sepertinya bisa
dipercaya. Akupun melewainya tanpa menyapanya dan kembali orang itu
memanggilku.
“Hey Bung!” ia memanggil aku berkali namun aku abaikan
dan berjalan terus lalu orang itu berkata “Apakah kau mencari ini?” akupun
menoleh dan melihatnya sedang menunjukan sesuatu, akupun menghampirinya dan
ternyata benar yang ia tunjukan itu adalah kunci rumahku.
“Terimaksih Tuan, inilah yang saya cari”
sebenarnya setelah mengambil kunci itu aku ingin langsung pulang tetapi kupikir
tidaklah sopan hingga akhirnya sampailah aku pada obrolan singkat dengannya.
Nama orang itu adalah Vivere Pericoloso, umurnya 32 tahun.
“Tuan Vivere, aku ingin bertanya kepada
anda mengapa anda lebih memilih melewati jalan Lifj padahal kan tuan tahu
sendiri jalan itu gelap banyak terdapat gelandangan, yang kata orang-orang
banyak itu tempat itu angker bahkan tempat berkumpulnya para penjahat”
“Begini Bung Marwijk, atas dasar kata orang-orang
banyak kah anda bertanya demikian padaku?”
“Ya seperti yang saya katakan barusan
Tuan, saya mendengar dari obrolan-obrolan pekerja lain lagipula ketika
orang-orang banyak memilih jalan Ritjh mengapa anda memilih jalan Lifj yang
secara notabene itu jalan yang cukup gelap dan mungkin tidak bersahabat dengan
para pekerja malam.”
“Kalau saya pikir anda tidak akan
bertanya demikian ketika Anda sudah melewati jalan itu, toh anda hanya
mendengar dari kata orang saja kan Bung?”
“Ya, memang saya tidak pernah melewati jalan itu dan
hanya mendengar dari kata oranglain saja.”
“Hehe, begini Bung, atau saya panggin
anda Tuan saja ya, saya tidak akan menceritakan apa saja yang ada dijalan itu,
dan mengapa saya lebih memilih jalan itu. Awalnya saya melewati jalan yang sama
dengan tuan, banyak yang melarang untuk melewati jalan itu namun ada beberapa
hal yang membuat saya berpikir mengapa memang dengan jalan itu, apakah ada yang
salah dari melewati jalan itu? Hingga sampailah saya pada sekarang.”
“Sampai tuan akhirnya memilih akan
selalu melewati jalan itu? Dan mengabaikan kata orang-banyak.”
“Kata-kata orang lain pada akhirnya
hanya menjadi angin lalu Tuan, yang merasakan anda sendiri bukan orang lain
itu. setiap hari kita akan selalu ditemui pada sebuah pilihan, contohnya disaat
Tuan memilih tidak menjadi perokok itu adalah pilihan, disaat saya memilih
menghabiskan beberapa batang sigaret saya diluar rumah juga pilihan, namun
memang kita sepertinya tak sadar bahwa kita telah memillih suatu hal.” Akupun
terdiam hening mendengar kata-katanya, apakah benar orang ini seperti yang
orang lain bicarakan? Apakah pemabuk, pemburu hantu, penjahat akan berbicara
seperti ini, saya tenggelam dalam pikiran saya untuk beberapa saat hingga orang
itu berkata lagi.
“Maaf jika membuat tuan bingung, saya
tidak bermaksud menghasut anda biar saya cerita sedikit, jalan itu” sembari ia
menujuk jalan Lifj “terdapat banyak gelandangan, pengemis, kumpulan orang-orang
dengan ekonomi kebawah tidak seperti orang-orang yang terdapat jalan Ritjh, kau
tahu aku selalu membawa kantung plastik disetiap aku melewati jalan itu bukan,
isinya adalah makanan dan beberapa cemilan, aku tinggal sendiri dikampung ini
dan merekalah keluargaku orang-orang terasing yang dijauhi kebanyakan orang,
merekalah yang menemaniku tiap aku sepulang kerja. Aku bisa merasakan kepedihan
mereka dijalan itu, tentang kehidupan dan lainnya”
“Jadi itukah alasan anda selalu
melewati jalan itu”
“Tuhan menciptakan hati dan perasaan,
dan lewat jalan itu saya rasa saya bisa memfungsikan ciptaan Tuhan itu dengan
baik, lagipula manusia diciptakan sebagai mahluk sosial bukan? Sudah pukul tiga
dinihari tuan, bukankah esok tuan kembali bekerja”
“Oh iya tuan, tidak terasa sudah begitu
pagi.”
“Rumah saya tidak jauh dari rumah Tuan,
hanya berbeda lima rumah disamping Tuan, mampirlah jika ada waktu, saya ingin
istirahat terimakasih sudah menemani pagi saya Tuan”
“Apakah tuan kenal dengan saya?” lalu
orang itupun berjalan pergi tanpa membalas jawabku.
Selasa Petang 30 Desember 2014
D.A