Bukan Merdeka
Sore
ini kurasakan hembusan angin terus menerus menyapa wajahku. Kumpulan awan yang
tersentuh warna jingga terlihat indah kala mentari mulai terbenam di ufuk
barat. Senja yang selalu kurindukan tiap hari di bawah langit pertiwi ini tak membuatku
jenuh untuk memandangnya. Betapa indah bumi yang kupijaki ini, dari hamparan
laut lepas yang menghubungkan tiap pulau dengan ciri khas budayanya, bahasanya
, dan keindahnya di tiap tempat dari awal mula fajar hingga turunnya senja.
Aku sangatlah bahagia dilahirkan di tempat
ini tetapi aku masih binggung, apakah Ayah dan Ibuku tidak salah memberiku nama
Merdeka. Apakah dengan kekayaannya yang melimpah ruah mereka memberiku nama
ini. Tetapi apakah hanya dengan kekayaan saja aku serta merta menjadi Merdeka,
bukan tanpa jerih payah mati-matian serta perjuangan dan kecerdasan pada dalam
diriku. Belum sempat terjawab pertanyaanku mereka pun sudah pergi meninggalkan
aku saat usiaku masih terbilang belia.
***
Aku adalah seorang anak yang ditakuti banyak
orang bahkan guru-guruku sendiri karena aku terkenal berani melawan apa yang
salah dan tidak sepaham dengan akal pikiranku, selain itu harta yang Ayah dan Ibuku
miliki sangatlah banyak dan luas mungkin tidak akan habis hingga beberapa puluh
keturunan di bawahku. Aku pun harus menerima kenyataan pahit dikeluarkan dari
sekolah karena sikapku itu, tapi setelah kupikir tidaklah penting sekolah itu
yang terpenting adalah aku orang yang kaya dan sangat mapan untuk masa depanku.
Tidak seperti teman-temanku di sekolah itu. Mereka rakyat biasa yang hanya
memiliki beberapa meter tanah untuk tinggal dan masih seperseratus dari
kekayaan yang kupunya, lagipula apa artinya mereka lulus hanya berbekal ijazah
tanpa bisa memiliki kekayaan sepertiku, mereka pasti akan sengsara seumur
hidup.
Aku pun mulai tumbuh dewasa dan mulai
memikirkan masa depanku ini. Tak mungkin bila aku terus melajang seumur hidup
mau diapakan semua kekayaan ini? Kalau aku mati pastilah banyak sekali orang
yang akan mencoba mengusai seluruh kekayaanku ini. Aku terus memikirkan hal itu
hingga pada suatu hari aku pergi menuju pantai sembari melihat senja kesukaanku
yang terhampar di laut lepas. Ia sangat indah sudah sangat lama aku merindukan
hal ini, corak jingga yang terciprat pada kumpulan awan itu sangat menyentuh
hatiku tiap kali aku memandangnya. Setelah senja itu berlalu aku pun langsung
pergi dan mencoba memikirkannya esok lagi.
Belum beberapa langkah aku meninggalkan
tempat ini kulihat sebuah bayangan seorang sedang berdiri di belakangku. Dari
bayangannya, kurasa ia sangat tinggi tidak seperti orang-orang yang tinggal di
negeriku, lalu ia menyapaku.
“Tampaknya
tuan suka sekali melihat senja” nada pengucapannya sangat aneh dan benar ketika
aku menoleh ia bukanlah orang asli
pribumi, mungkin eropa. Belum sempat aku jawab ia sudah berbicara lagi.
“Aku juga sangat menyukainya. Mungkin
bila tidak berkeberatan tuan bisa berbagi cerita mengenai senja dengan saya”
“Maaf Tuan, saya masih memiliki urusan”
jawabku
“Baiklah, tidak masalah, mungkin
sekarang tuan masih canggung dengan saya tapi kalau kapan-kapan Tuan ke tempat
ini lagi kita bisa berbagi cerita”
“Baiklah Tuan” jawabku. Aku pun
langsung pergi meninggalkanya.
Di jalan pulang aku terus memikirkanya. Sebenarnya
siapa orang asing itu, apa hanya seorang turis yang sedang berlibur dan
memanfaatkan waktu luang tetapi ia sudah lancar berbicara dengan bahasa
negeriku. Ah, sudahlah dia mungkin hanya seorang pengagum senja sepertiku.
Keesokan harinya kuputuskan untuk pergi ke tempat
itu lagi, menikmati senja yang mungkin berbeda, dan berharap lebih indah dari
kemarin. Sore ini lebih indah karena terlihat beberapa perahu yang sedang
melintas di atara senja yang kulihat itu, sebelum mentari mematikan sinarnya
orang asing yang kemarin kutemui telah ada tepat dibelakangku dan langsung
bertanya.
“Tampaknya Tuan memang benar menyukai senja”
“Oh, Tuan lagi. Iya saya memang sangat
menyukai senja” jawabku
“Kalau boleh tahu siapa nama Tuan?” tanyanya
“Aku Merdeka, kalau Tuan ?”
“Sepertinya tidak perlu kuberitahu
namaku, Tuan bisa panggil aku Meneer saja” Jawaban yang aneh. Nama sendiri
sebagai identitas, ia tak beritahu malah nama panggilannya, apakah ini sudah
jadi kebiasaan orang asing tanya dalam hatiku.
“Baiklah Tuan Meneer” jawabku
“Oh, ya Tuan Merdeka seperti pertanyaan
kemarin mungkin kita bisa berbagi sedikit cerita mengenai senja, tetapi kalau Tuan
masih banyak urusan tidak masalah, masih ada senja-senja berikutnya”
“Tidak Tuan. Baiklah saya hanya sedang
mencoba melupakan sedikit masalah saja, karena dengan melihat senja saya dapat
melupakan masalah yang ada dan terbawa oleh keindahannya”
“Kalau boleh tahu apa sebenarnya
masalah Tuan?” tanyannya. Tetapi pertanyaan itu yang kurasa sudah berlebihan
karena mencoba mencampuri urusanku ini tidak langsung kujawab. “Baiklah biar kocoba tebak” serunya lagi
“Tuan selalu sendiri ketempat ini,
mungkinkan Tuan sedang merindukan seorang pasangan?” tanyanya. Dan aku pun
terdiam sekaligus kaget karena ia langsung bisa menebak apa yang kini kualami.
“Maaf Tuan bukan bermaksud mencampuri
urusan pribadi Tuan, tetapi jika masalahnya itu mungkin saya bisa memberikan
solusi untuk Tuan” dan peryataan ini lah yang membutku sangat terkejut, apakah
ia telah mengenalku tetapi dari mana ia tahu masalahku? Aku mencoba menghindari
pertanyaannya dan berbalik bertanya kepadanya.
“Mungkin itu masalah Tuan, karena Tuan
juga saya lihat selalu sendiri disini”
“Saya sudah beristri Tuan bahkan sudah
memiliki dua orang anak”
“Lalu kenapa Tuan bisa menebak masalahku
seperti Tuan, bukankah Tuan juga belum tahu latar belakangku” jawabku dengan
nada agak tinggi.
“Maaf Tuan, saya tidak bermaksud
mencampuri urusan Tuan tetapi saya tahu bahwa Tuan ini masih muda, dan saya
juga hanya mencoba memberi bantuan kepada Tuan jika masalahnya seperti apa yang
saya katakana tadi”
“Memang bantuan apa yang Tuan bisa
berikan terhadap saya?” tanyaku masih dengan nada tinggi.
“Saya juga memiliki teman seorang gadis
yang usianya tidak jauh berbeda seperti Tuan ini, masih muda. Dia juga seperti
kita Tuan sangat suka menikmati senja, kalau Tuan tidak berkeberatan saya bisa
mempertemukan Tuan dengannya” jawabnya yang membuatku sangat terkejut,
sekaligus bingung dan berpikir apakah
orang ini utusan dari Tuhan yang memcoba memberiku jalan keluar.
“Mungkin sekarang saya tidak bisa membuktikanya
ucapan saya, tetapi esok jika Tuan tidak berkeberatan gadis yang saya sebutkan
itu pasti sedang berada disini untuk melihat apa yang sering kita lihat Tuan”
serunya lagi. Yang membuatku terbungkam tanpa bisa menjawab pertanyaannya.
Terdengar bunyi dari dalam saku orang itu,
ternyata sebuah arloji. Ia ambil arloji miliknya itu dan ia langsung pamit.
“Tuan sepertinya saya harus pergi
terlebih dahulu, sampai jumpa Tuan Merdeka”
Malam memang sudah tak terhidarkan selang beberapa lama ia pergi, aku juga
langsung pulang ke rumah dan sedikit memikirkan kejadian tadi yang kini menjadi
beban tambahan terhadapku.
***
Hari ini aku sangat bimbang karena ucapan si
Meneer itu tetapi setelah kupikirkan ada baiknya aku pergi ketempat itu lagi
dan mencoba membuktikan ucapannya yang kemarin. Ternyata benar apa yang Meneer katakan
belum sampai pada tepian pasir aku sudah melihat seorang gadis dengan gaun
sutra berwana kuning, berambut pirang dan berkulit putih bening. Aku sempat
ragu untuk menghampirinya tetapi akhirnya langkahku pun membawaku lebih dekat
padanya, wanita itu sangatlah cantik bagaikan bidadari boleh jadi lebih cantik,
pipinya, keningnya, hidungnya, semua tertata rapih seperti lilin tuangan
dibentuk sesuai dengan impian manusia. Ketika beberapa langkah lagi aku sampai
padanya tiba-tiba langkahku berhenti dan ragu untuk menghampiri wanita secantik
itu. Lalu wanita yang tadi hanya menampakan wajahnya dari sisi kiri saja
langsung menoleh tepat kehadapanku seraya melambaikan tangan akupun seketika
tak mampu berbuat apa-apa hanya bisa terdiam sambil meneteskan sedikit keringat
pada keningku tanpa menjawab lambaian tangannya itu.
Dan ternyata lambaian tangan yang dibuatnya
itu bukanlah untukku tetapi untuk Meneer yang telah ada berdiri di belakangku.
“Senang bertemu lagi Tuan Merdeka, itu
dia wanita yang kumaksudkan kemarin cantik bukan?”
“Oh i i iya tuan” jawabku gugup.
“Tampaknya ia telah membuat tuan
menjadi gugup ya, baiklah biar kukenalkan ia kepada Tuan”
“Juffreow
kemarilah biar kukenalkan engkau kepada pemuda yang ada disampingku”
Dan gadis itupun langsung menghampiri
kami berdua.
“Siapa dia Meneer?” tanya gadis itu
“Dia Merdeka seorang yang kuceritakan kemarin
padamu”
“Oh ternyata Tuan ini yang selama ini
kau ceritakan Meneer” gadis itupun langsung mengangkat tanganya untuk berjabat
tangan denganku dan aku balas dengan menjabat tangannya.
“Namaku Mimikri, tuan bisa panggil aku
Mimi”
“Aku Merdeka” dan Meneer pun langsung
berkata
“Baiklah sepertinya aku harus kembali
menuju penginapanku, selamat menikmati senja Juffreow Mimikri dan tuan Merdeka”
Meneer pun langsung pergi meninggalkan aku
dan Mimikri. Tanpa sadar akupun langsung terbawa oleh suasana senja yang indah
dengan tambahan wanita eropa ini, bercerita panjang lebar dan mencoba
mengenalnya lebih dalam lagi.
***
Beberapa bulan telah berlalu dan Mimikri pun
makin lekat kepadaku, sering ia datang kerumahku dan bermalam, kadang bersama
Meneer tetapi kehadiran Meneer sama sekali tidak menggangguku ia hanya sibuk
berjalan-jalan melihat halaman rumahku yang sangat luas dan indah. Aku ingat
sebuah malam ketika Mimikri menatap wajahku, saat itu aku sedang mengambil
sebuah buku di kamar ia membuat aku tak bisa berkedip untuk menatapnya, leher
janjang dan rambut terurai pirang panjang, dengan dandanan yang sangat istimewa
gaun tipis dengan belahan terbuka pada dadanya, serta senyumannya. Jantungkupun
tak kuasa untuk berdetak sangat kencang serta aliran darah yang terasa cepat
sekali, ia pun masuk kedalam seraya meraih tanganku dan berbisik
“Ayolah, Meneer sedang tidak ada
disini” akupun pasrah seperti anjing yang dipaksa mengikuti majikannya, malam
itu terasa sangat lamban, gemuruh hasrat seakan tak terbendung untuk menahan
birahi, tubuhku dan tubuhnya pun saling tindih dalam remang malam yang terasa
panjang.
Kejadian itu tidak hanya sekali kulakukan
bersama Mimikri sampai suatu ketika Meneer memergoki kejadian itu, ia menendang
pintu yang tidak tertutup rapat itu.
“Nikmat bukan Tuan Merdeka Mimikri yang
kubuat untuk engkau ini” dengan keadaan tanpa busana Mimikri pun langsung
melepaskan aku dan pergi keluar dari kamar meninggalkan aku dan Meneer.
“Maaf tuan Meneer” jawabku
“Tidak perlu minta maaf Tuan atas
keberhasilan saya. Seperti yang saya duga, tuan sangat mudah terlena, dan sudah
saatnya saya memberi tahu Tuan bahwa Mimikri itu adalah modus wacana yang saya buat
untuk mendekati Tuan, untuk mendekati tanah Tuan yang subur ini, untuk
mendekati pertanian Tuan yang makmur dengan hasil rempah-rempah yang sangat
bernilai harganya dan karena kebodohan Tuanlah saya bisa berhasil untuk
menguasainya”
“Apa maksudmu Meneer?” tanyaku
“Kau memang bodoh Medeka, lihat ini. Ini
adalah surat kekuasaanmu yang akan berubah menjadi kekuasaanku. Kebodohanmu
memang tak ada tandingannya Merdeka, mana mungkin aku bisa membiarkan engkau
Merdeka dengan sumber daya alam yang melimpah ruah pada setiap wilayah yang kau
punya? Mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan
keindahan-keindahan alam yang kau punya? Dan mana mungkin aku bisa membiarkan
engkau Merdeka dengan harta karun yang tersimpan di bawah bumimu ini Merdeka”
Lalu Meneer pun langsung mengeluarkan revolver dari sakunya yang diarahkan
tepat menuju kepalaku.
“Perkenankanlah aku untuk memberi tahu namaku
yang sebenarnya kepadamu, sebelum kau tidur nyenyak malam ini Merdeka” akupun
tak mampu menjawab pertanyaannya hanya diam memucat dengan banyak tetesan
keringat pada sekujur tubuhku.
“Aku adalah Kolonial, dan ucaplah
selamat tinggal pada dunia ini tuan merdeka”
Doorrr! Ia pun
melepaskan peluru dari revolvernya menuju tepat di kepalaku. Ternyata aku
bukanlah Merdeka, aku teramat bodoh sebagai Merdeka. Aku adalah Merdeka yang
tanpa perjuangan, aku adalah Merdeka yang tidak memiliki dasar yang kokoh dan
aku bukanlah Merdeka yang sesungguhnya.
Semoga dalam rahim Mimikri akan lahir Merdeka-Merdeka
yang sesungguhnya, Merdeka yang nanti akan merebut tanah ini kembali, Merdeka
yang berjuang menghancurkan Kolonial beserta sekutu-sekutunya, modus wacananya,
dan kembali mengibarkan bendera kemerdekaan di bumi pertiwi ini.
Boim Dos Santos
Jakarta, 30.03.13