Sabtu, 07 September 2013

Estrofa : Potret Kemarin

Estrofa : Potret Kemarin
                      
Kepada Di


I
Semoga kau masih menjaga titipanku,
seperti aku menjaga bintang-bintangmu dengan kasih

II
Dari tiap mimpi pagi,
mereka terlampau gundah
kalau bukan karena sepucuk rindu
tak mungkin kembali kutemuimu

III
Teruntuk engkau yang kerap tertidur dalam puisiku
kau mungkin tahu air mata
tapi kau takkan pernah tahu untuk apa ia menetes

IV
Harapan itu sangat rasional,
karena tak bisa kita salahkan tuhan
yang menciptakan mimpi dan imaji

V
Pagi silam,
kubiarkan kau lupakan kata yang serupa bualan itu
aku tahu
: ia memang fragmen dari sebermulanya rindu

VI
Masih dalam pagi,
aku tetap dalam sebuah harap bersilang tanya
: semoga tuhan tahu apa yang kurindukan saat ini

VII
Kian menunda letih
hingga hujan kembali berisyarat.
Mungkin apa yang kutunggu dari waktu
: engkau

VIII
Pukul dua,
menghabiskan sajak cinta tanpa nama
dengan sedikit harap
ada namaku diantara bait-baitnya

IX
Tak sedekat kemarin
saat kita masih berbagi kata.

Semoga kata tetaplah sederhana
hingga tak hirau aku akan jarak
: elegi rindu

X
Kita tenggelam dalam percakapan singkat
sembari kurangkai wajahmu dalam ingatan.

Entahlah,
tiap tawa itu menghantarku pada rindu kemarin

XI
Hujan malam,
ia membawa berkah dan sedikit mengusik rindu pada seorang
saat kita menunggu pementasan kala itu

XII
Aku tahu,
bagaimana rindu mengoyak-ngoyak hingga menjelma sepi
tapi dalam temu yang singkat
kita kian lupakan segala sepi itu
: cinta?

XIII
Mungkin aku layaknya rahwana dalam kacamata sita
tapi kurasa itu lebih dari cukup,
karena ku tahu bagaimana rahwana saat itu

XVI
Setelah malam sepi.
kembali,
ketika kita menghabiskan kata
meyisipkan sedikit rasa rindu tanpa permintaan

XVII
Fragmen kemarin
berharap hari ini adalah dirimu untuk beberapa tahun kedepan

XVIII
hingga pada malam singkat
yang bercerita.
bagaimana kau dan aku hingga menjadi kita

XIX
Kita begitu dekat,
hingga kubisa mendengar hela napasmu.
apakah kau juga mendengar detak jantungku
entahlah.

XX
kini kau serupa warna pada kanvas sukmaku
yang hangat ketika tiba penghujan,
dan sejuk seketika kemarau

 Boim Dos Santos
Jakarta, 2013

Estrofa

Estrofa*


Kususun tiap rindu dalam estrofa
serupa malam,
yang terlalu singkat untuk disebut pagi

Kau makin karib di sana
saat kita bertemu dengan beralaskan kasih
: senyap seperti air mata

Maaf, jika banyak kata yang tumpah tanpa arah
tercecer bagai sisa hayal dalam imaji

Tapi memang, ia tak pernah membual,
saat kau terlelap di dalamnya
hingga pagi menyapaku akan kopi hangat semalam



Boim Dos Santos
Jakarta, 31.08.13



* : Estrofa : Bait (Esp)

Bukan Merdeka

Bukan Merdeka

  Sore ini kurasakan hembusan angin terus menerus menyapa wajahku. Kumpulan awan yang tersentuh warna jingga terlihat indah kala mentari mulai terbenam di ufuk barat. Senja yang selalu kurindukan tiap hari di bawah langit pertiwi ini tak membuatku jenuh untuk memandangnya. Betapa indah bumi yang kupijaki ini, dari hamparan laut lepas yang menghubungkan tiap pulau dengan ciri khas budayanya, bahasanya , dan keindahnya di tiap tempat dari awal mula fajar hingga turunnya senja.

   Aku sangatlah bahagia dilahirkan di tempat ini tetapi aku masih binggung, apakah Ayah dan Ibuku tidak salah memberiku nama Merdeka. Apakah dengan kekayaannya yang melimpah ruah mereka memberiku nama ini. Tetapi apakah hanya dengan kekayaan saja aku serta merta menjadi Merdeka, bukan tanpa jerih payah mati-matian serta perjuangan dan kecerdasan pada dalam diriku. Belum sempat terjawab pertanyaanku mereka pun sudah pergi meninggalkan aku saat usiaku masih terbilang belia.

***

  Aku adalah seorang anak yang ditakuti banyak orang bahkan guru-guruku sendiri karena aku terkenal berani melawan apa yang salah dan tidak sepaham dengan akal pikiranku, selain itu harta yang Ayah dan Ibuku miliki sangatlah banyak dan luas mungkin tidak akan habis hingga beberapa puluh keturunan di bawahku. Aku pun harus menerima kenyataan pahit dikeluarkan dari sekolah karena sikapku itu, tapi setelah kupikir tidaklah penting sekolah itu yang terpenting adalah aku orang yang kaya dan sangat mapan untuk masa depanku. Tidak seperti teman-temanku di sekolah itu. Mereka rakyat biasa yang hanya memiliki beberapa meter tanah untuk tinggal dan masih seperseratus dari kekayaan yang kupunya, lagipula apa artinya mereka lulus hanya berbekal ijazah tanpa bisa memiliki kekayaan sepertiku, mereka pasti akan sengsara seumur hidup.

  Aku pun mulai tumbuh dewasa dan mulai memikirkan masa depanku ini. Tak mungkin bila aku terus melajang seumur hidup mau diapakan semua kekayaan ini? Kalau aku mati pastilah banyak sekali orang yang akan mencoba mengusai seluruh kekayaanku ini. Aku terus memikirkan hal itu hingga pada suatu hari aku pergi menuju pantai sembari melihat senja kesukaanku yang terhampar di laut lepas. Ia sangat indah sudah sangat lama aku merindukan hal ini, corak jingga yang terciprat pada kumpulan awan itu sangat menyentuh hatiku tiap kali aku memandangnya. Setelah senja itu berlalu aku pun langsung pergi dan mencoba memikirkannya esok lagi.

  Belum beberapa langkah aku meninggalkan tempat ini kulihat sebuah bayangan seorang sedang berdiri di belakangku. Dari bayangannya, kurasa ia sangat tinggi tidak seperti orang-orang yang tinggal di negeriku, lalu ia menyapaku.

  “Tampaknya tuan suka sekali melihat senja” nada pengucapannya sangat aneh dan benar ketika aku  menoleh ia bukanlah orang asli pribumi, mungkin eropa. Belum sempat aku jawab ia sudah berbicara lagi.
  “Aku juga sangat menyukainya. Mungkin bila tidak berkeberatan tuan bisa berbagi cerita mengenai senja dengan saya”
  “Maaf Tuan, saya masih memiliki urusan” jawabku
  “Baiklah, tidak masalah, mungkin sekarang tuan masih canggung dengan saya tapi kalau kapan-kapan Tuan ke tempat ini lagi kita bisa berbagi cerita”
  “Baiklah Tuan” jawabku. Aku pun langsung pergi meninggalkanya.

   Di jalan pulang aku terus memikirkanya. Sebenarnya siapa orang asing itu, apa hanya seorang turis yang sedang berlibur dan memanfaatkan waktu luang tetapi ia sudah lancar berbicara dengan bahasa negeriku. Ah, sudahlah dia mungkin hanya seorang pengagum senja sepertiku.

  Keesokan harinya kuputuskan untuk pergi ke tempat itu lagi, menikmati senja yang mungkin berbeda, dan berharap lebih indah dari kemarin. Sore ini lebih indah karena terlihat beberapa perahu yang sedang melintas di atara senja yang kulihat itu, sebelum mentari mematikan sinarnya orang asing yang kemarin kutemui telah ada tepat dibelakangku dan langsung bertanya.

  “Tampaknya Tuan memang benar menyukai senja”
  “Oh, Tuan lagi. Iya saya memang sangat menyukai senja” jawabku
  “Kalau boleh tahu siapa nama Tuan?” tanyanya
  “Aku Merdeka, kalau Tuan ?”
  “Sepertinya tidak perlu kuberitahu namaku, Tuan bisa panggil aku Meneer saja” Jawaban yang aneh. Nama sendiri sebagai identitas, ia tak beritahu malah nama panggilannya, apakah ini sudah jadi kebiasaan orang asing tanya dalam hatiku.
  “Baiklah Tuan Meneer” jawabku
  “Oh, ya Tuan Merdeka seperti pertanyaan kemarin mungkin kita bisa berbagi sedikit cerita mengenai senja, tetapi kalau Tuan masih banyak urusan tidak masalah, masih ada senja-senja berikutnya”
  “Tidak Tuan. Baiklah saya hanya sedang mencoba melupakan sedikit masalah saja, karena dengan melihat senja saya dapat melupakan masalah yang ada dan terbawa oleh keindahannya”
  “Kalau boleh tahu apa sebenarnya masalah Tuan?” tanyannya. Tetapi pertanyaan itu yang kurasa sudah berlebihan karena mencoba mencampuri urusanku ini tidak langsung kujawab.  “Baiklah biar kocoba tebak” serunya lagi
  “Tuan selalu sendiri ketempat ini, mungkinkan Tuan sedang merindukan seorang pasangan?” tanyanya. Dan aku pun terdiam sekaligus kaget karena ia langsung bisa menebak apa yang kini kualami.
  “Maaf Tuan bukan bermaksud mencampuri urusan pribadi Tuan, tetapi jika masalahnya itu mungkin saya bisa memberikan solusi untuk Tuan” dan peryataan ini lah yang membutku sangat terkejut, apakah ia telah mengenalku tetapi dari mana ia tahu masalahku? Aku mencoba menghindari pertanyaannya dan berbalik bertanya kepadanya.
  “Mungkin itu masalah Tuan, karena Tuan juga saya lihat selalu sendiri disini”
  “Saya sudah beristri Tuan bahkan sudah memiliki dua orang anak”
   “Lalu kenapa Tuan bisa menebak masalahku seperti Tuan, bukankah Tuan juga belum tahu latar belakangku” jawabku dengan nada agak tinggi.
   “Maaf Tuan, saya tidak bermaksud mencampuri urusan Tuan tetapi saya tahu bahwa Tuan ini masih muda, dan saya juga hanya mencoba memberi bantuan kepada Tuan jika masalahnya seperti apa yang saya katakana tadi”
  “Memang bantuan apa yang Tuan bisa berikan terhadap saya?” tanyaku masih dengan nada tinggi.
  “Saya juga memiliki teman seorang gadis yang usianya tidak jauh berbeda seperti Tuan ini, masih muda. Dia juga seperti kita Tuan sangat suka menikmati senja, kalau Tuan tidak berkeberatan saya bisa mempertemukan Tuan dengannya” jawabnya yang membuatku sangat terkejut, sekaligus bingung dan berpikir  apakah orang ini utusan dari Tuhan yang memcoba memberiku jalan keluar.
  “Mungkin sekarang saya tidak bisa membuktikanya ucapan saya, tetapi esok jika Tuan tidak berkeberatan gadis yang saya sebutkan itu pasti sedang berada disini untuk melihat apa yang sering kita lihat Tuan” serunya lagi. Yang membuatku terbungkam tanpa bisa menjawab pertanyaannya.
  Terdengar bunyi dari dalam saku orang itu, ternyata sebuah arloji. Ia ambil arloji miliknya itu dan ia langsung pamit.
  “Tuan sepertinya saya harus pergi terlebih dahulu, sampai jumpa Tuan Merdeka”
Malam memang sudah tak terhidarkan selang beberapa lama ia pergi, aku juga langsung pulang ke rumah dan sedikit memikirkan kejadian tadi yang kini menjadi beban tambahan terhadapku.

***

   Hari ini aku sangat bimbang karena ucapan si Meneer itu tetapi setelah kupikirkan ada baiknya aku pergi ketempat itu lagi dan mencoba membuktikan ucapannya yang kemarin. Ternyata benar apa yang Meneer katakan belum sampai pada tepian pasir aku sudah melihat seorang gadis dengan gaun sutra berwana kuning, berambut pirang dan berkulit putih bening. Aku sempat ragu untuk menghampirinya tetapi akhirnya langkahku pun membawaku lebih dekat padanya, wanita itu sangatlah cantik bagaikan bidadari boleh jadi lebih cantik, pipinya, keningnya, hidungnya, semua tertata rapih seperti lilin tuangan dibentuk sesuai dengan impian manusia. Ketika beberapa langkah lagi aku sampai padanya tiba-tiba langkahku berhenti dan ragu untuk menghampiri wanita secantik itu. Lalu wanita yang tadi hanya menampakan wajahnya dari sisi kiri saja langsung menoleh tepat kehadapanku seraya melambaikan tangan akupun seketika tak mampu berbuat apa-apa hanya bisa terdiam sambil meneteskan sedikit keringat pada keningku tanpa menjawab lambaian tangannya itu.

   Dan ternyata lambaian tangan yang dibuatnya itu bukanlah untukku tetapi untuk Meneer yang telah ada berdiri di belakangku.
  “Senang bertemu lagi Tuan Merdeka, itu dia wanita yang kumaksudkan kemarin cantik bukan?”
  “Oh i i iya tuan” jawabku gugup.
  “Tampaknya ia telah membuat tuan menjadi gugup ya, baiklah biar kukenalkan ia kepada Tuan”
  “Juffreow[1] kemarilah biar kukenalkan engkau kepada pemuda yang ada disampingku”
   Dan gadis itupun langsung menghampiri kami berdua.
  “Siapa dia Meneer?” tanya gadis itu
  “Dia Merdeka seorang yang kuceritakan kemarin padamu”
  “Oh ternyata Tuan ini yang selama ini kau ceritakan Meneer” gadis itupun langsung mengangkat tanganya untuk berjabat tangan denganku dan aku balas dengan menjabat tangannya.
  “Namaku Mimikri, tuan bisa panggil aku Mimi”
  “Aku Merdeka” dan Meneer pun langsung berkata
  “Baiklah sepertinya aku harus kembali menuju penginapanku, selamat menikmati senja Juffreow Mimikri dan tuan Merdeka”
   Meneer pun langsung pergi meninggalkan aku dan Mimikri. Tanpa sadar akupun langsung terbawa oleh suasana senja yang indah dengan tambahan wanita eropa ini, bercerita panjang lebar dan mencoba mengenalnya lebih dalam lagi.

***

   Beberapa bulan telah berlalu dan Mimikri pun makin lekat kepadaku, sering ia datang kerumahku dan bermalam, kadang bersama Meneer tetapi kehadiran Meneer sama sekali tidak menggangguku ia hanya sibuk berjalan-jalan melihat halaman rumahku yang sangat luas dan indah. Aku ingat sebuah malam ketika Mimikri menatap wajahku, saat itu aku sedang mengambil sebuah buku di kamar ia membuat aku tak bisa berkedip untuk menatapnya, leher janjang dan rambut terurai pirang panjang, dengan dandanan yang sangat istimewa gaun tipis dengan belahan terbuka pada dadanya, serta senyumannya. Jantungkupun tak kuasa untuk berdetak sangat kencang serta aliran darah yang terasa cepat sekali, ia pun masuk kedalam seraya meraih tanganku dan berbisik
  “Ayolah, Meneer sedang tidak ada disini” akupun pasrah seperti anjing yang dipaksa mengikuti majikannya, 
malam itu terasa sangat lamban, gemuruh hasrat seakan tak terbendung untuk menahan birahi, tubuhku dan tubuhnya pun saling tindih dalam remang malam yang terasa panjang.

   Kejadian itu tidak hanya sekali kulakukan bersama Mimikri sampai suatu ketika Meneer memergoki kejadian itu, ia menendang pintu yang tidak tertutup rapat itu.
  “Nikmat bukan Tuan Merdeka Mimikri yang kubuat untuk engkau ini” dengan keadaan tanpa busana Mimikri pun langsung melepaskan aku dan pergi keluar dari kamar meninggalkan aku dan Meneer.
  “Maaf tuan Meneer” jawabku
  “Tidak perlu minta maaf Tuan atas keberhasilan saya. Seperti yang saya duga, tuan sangat mudah terlena, dan sudah saatnya saya memberi tahu Tuan bahwa Mimikri itu adalah modus wacana yang saya buat untuk mendekati Tuan, untuk mendekati tanah Tuan yang subur ini, untuk mendekati pertanian Tuan yang makmur dengan hasil rempah-rempah yang sangat bernilai harganya dan karena kebodohan Tuanlah saya bisa berhasil untuk menguasainya”
  “Apa maksudmu Meneer?” tanyaku
  “Kau memang bodoh Medeka, lihat ini. Ini adalah surat kekuasaanmu yang akan berubah menjadi kekuasaanku. Kebodohanmu memang tak ada tandingannya Merdeka,  mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan sumber daya alam yang melimpah ruah pada setiap wilayah yang kau punya? Mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan keindahan-keindahan alam yang kau punya? Dan mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan harta karun yang tersimpan di bawah bumimu ini Merdeka” Lalu Meneer pun langsung mengeluarkan revolver dari sakunya yang diarahkan tepat menuju kepalaku.
  “Perkenankanlah aku untuk memberi tahu namaku yang sebenarnya kepadamu, sebelum kau tidur nyenyak malam ini Merdeka” akupun tak mampu menjawab pertanyaannya hanya diam memucat dengan banyak tetesan keringat pada sekujur tubuhku.
  “Aku adalah Kolonial, dan ucaplah selamat tinggal pada dunia ini tuan merdeka”

   Doorrr! Ia pun melepaskan peluru dari revolvernya menuju tepat di kepalaku. Ternyata aku bukanlah Merdeka, aku teramat bodoh sebagai Merdeka. Aku adalah Merdeka yang tanpa perjuangan, aku adalah Merdeka yang tidak memiliki dasar yang kokoh dan aku bukanlah Merdeka yang sesungguhnya.

   Semoga dalam rahim Mimikri akan lahir Merdeka-Merdeka yang sesungguhnya, Merdeka yang nanti akan merebut tanah ini kembali, Merdeka yang berjuang menghancurkan Kolonial beserta sekutu-sekutunya, modus wacananya, dan kembali mengibarkan bendera kemerdekaan di bumi pertiwi ini.


Boim Dos Santos
Jakarta, 30.03.13






[1]  Juffreow : Nyonya yang belum bersuami, Mevroew : Nyonya yang telah bersuami (Belanda)