“Perihal Chaos, Absurd dan Bahasa”
dalam kumpulan sajak Skenario Menyusun Antena karya Galeh Pramudianto
oleh: Doni Ahmadi
“........
Kamu tahu? Ada yang diam-diam meminjam tubuhmu dari pagi yang belum datang. Ia menikam hidungmu dari balik subuh dan fajar. Lehermu beku karena kehabisan oksigen. Daun telingamu mencoba berfotosintesis dari tubuh saya, tapi saya masih berlari sekuat tenaga menjauh dari 30 meter kini. Saya dan kamu tiada berteman, tapi aku berhasil meminjam tubuhmu. Kamu berlari menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu diambil saya. Dari 30 meter itu, kini berkurang hingga 3 meter disamping saya. Tubuh saya dilonccati tubuhmu yang ada pada diri saya. Kamu berhasil menangkap tubuh kamu dari tubuh saya yang ada pada tubuhmu.”
Kamu tahu? Ada yang diam-diam meminjam tubuhmu dari pagi yang belum datang. Ia menikam hidungmu dari balik subuh dan fajar. Lehermu beku karena kehabisan oksigen. Daun telingamu mencoba berfotosintesis dari tubuh saya, tapi saya masih berlari sekuat tenaga menjauh dari 30 meter kini. Saya dan kamu tiada berteman, tapi aku berhasil meminjam tubuhmu. Kamu berlari menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu diambil saya. Dari 30 meter itu, kini berkurang hingga 3 meter disamping saya. Tubuh saya dilonccati tubuhmu yang ada pada diri saya. Kamu berhasil menangkap tubuh kamu dari tubuh saya yang ada pada tubuhmu.”
(skenario menyusun antena, Galeh)
Satu hal yang
menggambarkan sepotong sajak diatas saya rasa adalah –chaos. Dan kata pertama
setelah saya membaca antalogi tersebut pun sama yakni chaos, absurd. Chaos dan Absurd
yang bagaimana? Mari tengok sajak-sajak itu dari dekat.
Sajak Skenario Menyusun
Antena dalam kumpulan sajak SMA adalah puisi yang bernarasi dengan permainan
imaji yang absurd dari sebuah frasa-frasa yang disusun menjadi puisi. Dalam
sajak ini pembaca ditemukan kepada tokoh saya, kamu lalu aku. Pertanyaannya,
Siapakah saya? Siapakah kamu? Dan siapakah aku? Perihal jarak dalam puisi itu
tidaklah begitu jauh, mereka masing-masing begitu terlihat dekat dalam narasi
sajak itu. Kalau begitu ini namanya permainan psikologi, jangan-jangan tiga
tokoh itu adalah satu orang yang sama. Saya jadi teringat akan kumpulan cerpen
“Malam Putih” karya Korrie (bukan maksud menyamakan puisi dengan cerpen,
penulis hanya menganalisis berdasarkan teks narasi) itu dimuat tahun 1983 dan
di dalamnya terdapat pula tokoh saya dan aku, namun bedanya ialah tokoh kedua
itu adalah tunggal. Memang secara makna dalam kata saya maupun aku memang
bermakna tunggal. Lalu bagaimana dengan ketiga tokoh di atas? Hanya penulisnya
yang mengetahui tentunya.
Menafsir puisi tak semudah
menafsir sebuah prosa, yang terihat lebih gamblang dan jelas. Dalam menafsir
sebuah puisi membangun sebuah praduga bahwa pandangan keutuhan pribadi amat
penting dalam karya sastra. Dengan melihat pentingnya pentingnya sebuah
hubungan antara pribadi dan teks maka dengan kata lain penafsiran teks menjadi
lebih intim.
Mungkin yang akan
menjadi kendala adalah ketidakintiman (saya) penulis dengan penyair, kedua
hanya bermodalkan teks puisi saja (tidak ada teks pendukung lain untuk mendekatan
lagi penulis dengan penyair) jadi penafsiran ini murni berdasarkan teks semata.
Kita lihat puisi
pertama dalam kumpulan ini (baca : toko serba ada),
“....
ada. bantal, guling, tisu, gorden dan sofa? empuk tidak? ada. kunci, kasur, tangga, lemari, pintu, mesin cuci, keramik dan stiker? warna apa? ada. koper, kamera, tripod, hanger, radio dan parabola? ada. raket, antena, kompor, panci dan spanduk? ada. genteng dan sendal? berapa langkah? ada. apa lagi kak? apa? puisi? apa? maaf sekali, untuk yang itu ternyata kami tidak menjual.” (toko serba ada, Galeh)
ada. bantal, guling, tisu, gorden dan sofa? empuk tidak? ada. kunci, kasur, tangga, lemari, pintu, mesin cuci, keramik dan stiker? warna apa? ada. koper, kamera, tripod, hanger, radio dan parabola? ada. raket, antena, kompor, panci dan spanduk? ada. genteng dan sendal? berapa langkah? ada. apa lagi kak? apa? puisi? apa? maaf sekali, untuk yang itu ternyata kami tidak menjual.” (toko serba ada, Galeh)
Pembaca dihadapkan pada
sebuah kerangka-kerangka bahasa yang disebut dengan dialog. Dalam sajak ini
dialog-dialog yang sederhana (dialog yang biasa kita dapatkan di sebuah pasar,
warung dll) dipertontonkan oleh penyair, lalu diakhiri dengan penyelesaian yang
jelas. Dalam toko serba ada, semua tersedia kecuali sebuah puisi. Di sini
penyair cukup jelas, meletakan puisi sebagai sesuatu yang istimewa –sebuah hal
yang langka.
Senada dengan puisi
sebelumnya, dalam puisi Tinggal Bahasa,
Di Toko Souvenir 1 dan 2. terdapat
dialog-dialog sederhana di dalamnya namun terasa lebih chaos. Semua dikaburkan, begitu pula pembaca.
“...
Aku rindu pada billboard di buvelar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam dekapan kaleng soda. Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu, ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip. Kini hanya bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.” (Tinggal Bahasa, Galeh)
Aku rindu pada billboard di buvelar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam dekapan kaleng soda. Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu, ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip. Kini hanya bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.” (Tinggal Bahasa, Galeh)
Bahasa hanya sebuah
bahasa, seperti pada pengertiannya, ia bersifat arbitrer –tak ada unsur yang
berhubungan dari bahasa dengan maknanya. Yakni bahasa hanyalah sebatas bahasa,
contohnya apakah kata soda itu sudah menunjukan sebuah minuman yang
berkarbonasi, tentu tidak. Ia dikonvensikan agar semua sepakat bahwa kata soda
bermakna tersebut. Memang , semua khaotik dalam puisi di atas sepertinya
hanyalah sebuah gambar berbentuk mozaik yang dibuat penyair untuk melukiskan
apa yang menurutnya bahasa.
Dari percakapan saya
dengan SMA karya Galeh, saya kembali teringat Afrizal. Pertama dari cara
penyair memainkan diksi-diksinya.
“kotak-kotak kardus sibuk bebenah, dari malam hingga
pagi tiba.
kamar mandi sibuk. Sudah lengkap. Kami mau pindah. Kasur sudah digulung.
tidak ada orang tidur dalam kasur yang digulung itu. Ember sepatu sikat gigi epat kantung sampah. aku percaya, gunting kuku tidak tertinggaldalam kantung sampah itu. Mobil mengangkut barang ditangkap polisi 50 ribu perak.” (pindah ke kota lain, Afrizal)
kamar mandi sibuk. Sudah lengkap. Kami mau pindah. Kasur sudah digulung.
tidak ada orang tidur dalam kasur yang digulung itu. Ember sepatu sikat gigi epat kantung sampah. aku percaya, gunting kuku tidak tertinggaldalam kantung sampah itu. Mobil mengangkut barang ditangkap polisi 50 ribu perak.” (pindah ke kota lain, Afrizal)
Dari fragmen-fragmen
puisi di atas, pemaca dibuat seolah sedang menonton sebuah adegan. Fragmen-fragmen puisi diatas bergeser dengan cepat seperti lintasan-lintasan
kejadian pada sebuah mimpi. Begitulah Afrizal, yang pernah suatu kali berkata
bahwa tatkala membuat puisi-puisinya, ia berpikir dengan gambar dan dengan
demikian puisi-puisinya bisa dibaca dengan cara menontonnya.
Lalu lihat
puisi-puisi Galeh.
“Udara hari ini adem.
Cuacanya bersahabat
Malam ini ada pertandingan
sepak bola
O, tapi masih semut-semut
pada layar itu:
Serpihan klip mengisahkan
dirinya sendiri
Melunasi panggung perihal
riwayat
Di tengah sungut dan sengit
Pertempuran tiada usai
menyisakan
kenang dan kenyang
Ketuk mentah di ujung nanti
Fosil trotoar dan mural
Genteng bersayap angin
Berhala mekar berpori-pori
Berlayar mengeja waktu
Mengejar degup kerak
Berkarat lumpur di beranda
Risau menimbun pandang
Melambungkan bagaimana terka
Beberapa enyah kian genah
“Bagaimana kabar antena
rumah kau?”
“Baik! Kau? sekarang aku bisa menonton.” (jampi
antena kepada pemirsa, Galeh)
Jika kita melihatnya
dari dekat, sajak ini memiliki nafas yang sama. Yakni menceritakan peristiwa
yang dapat dilihat melalui indra penglihatan.
Tetapi Galeh bukanlah
Afrizal, hanya saja puisi-puisinya yang bernafaskan seperti puisi-puisi yang
dituliskan Afrizal. Dari kegemarannya menuliskan benda-benda, lalu narasi yang
bercerita seolah-olah kita dapat menontonnya. Namun masih cukup jauh, untuk
menyamakan kedua penyair tersebut. Kita tentu tahu perihal kematangan seorang
Afrizal. Tetapi dengan usaha tersebut sepertinya Galeh memang patut untuk di
apresiasi. Walau perjalanannya masih amat panjang sebagai penyair.
Saya teringat sebuah
kritik yang ditulis Tia Setiadi, di mana ia membalik kalimat-kalimat provokatif
yang ditulis oleh Octavio Paz menjadi begini. “membaca sebuah puisi adalah
memandang dan menontonnya: memahami apa yang digambarnya. Puisi adalah musik,
juga diatas segalanya, adalah gambar. Penyair adalah seorang yang menerjemahkan
citraan-citraan plastis ke dalam kata-kata.
Saya rasa Galeh juga
membaca kutipan itu, karena semuia terlihat jelas dalam puisi-puisinya (baca; Antena Puisi, Ode Bis Wisata, Galeri, Puisi
Ini Di Baca, Jajan Rock,Rumah Sakit, Skenario Menyusun Antena, dll)
Di awal saya sudah
menyinggung tentang chaos dan absurd dari puisi-puisi dalam kumpulan puisi
Skenario Menyusun Antena ini. Dan secara garis besar dapat saya simpulkan
puisi-puisi galeh adalah representatif dari sebuah Bahasa. bahasa yang chaos,
bahasa yang absurd, dari wacana-wacana tersebut itulah mereka dapat dikatakan
sebagai skenario. Skenario yang dibangun penyair dan dileburkan hingga
terciptalah sebuah puisi.
Perjalanan Galeh tentu
masih jauh, kumpulan sajak Skenaria
Menyusun Antena adalah gebyar dalam perpuisian Indonesia di era sekarang.
Selamat atas kelahiran Anak dari kebudayaan yang berbentuk kumpulan sajak ini.
“Kata adalah lembaga komunikasi yang paling
susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakaan ciptaan manusia
yang paling punya banyak masalah. Dunia referen –yang tinggal dalam memori kita
atau pelabelan sosial (stereotipe), seperti seeokor ular yang terus mengintai
dan siap menerkam setiap teks. Puisi adalah bintang yang tercekik dalam mulut
botol. Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu. Kadang
binatangnya ikut mati” (Tulisan Afrizal dalam bagian belakang cover kumpulan
sajak Dalam Rahim Ibuku Tak Ada anjing karya
beliau)
Kutipan di atas adalah
sebagai penutup, dan pesan pribadi saya kepada penyair. Selamat.
Rujukan Bacaan.
Dari Zaman Citra ke
Metafiksi, bunga rampai telaah sastra DKJ. (KPG. 2010)
Korrie Layun Rampan.
Malam Putih. (Balai Pustaka. 1983)
Tia Setiadi.
Benda-benda, Bahasa, dan Kala: mencari simetri tersembunyi dalam Teman-temanku
dari atap Bahsa karya Afrizal Malna. (dalam bunga rampai di atas)
Saifur Rahman. Kritik
Sastra Indonesia Abad XXI. (Ombak. 2014)
Afrizal Malna. Dari
Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. (Bentang. 2002)
________. Teman-temanku
dari atap Bahasa. (Lafadl Pustaka. 2008)
Galeh Pramudianto.
Skenario Menyusun Antena. (Indiebookcorner. 2015)