Sabtu, 22 Oktober 2016

Telaah atas Skenario Menyusun Antena by Galeh Pramudianto

“Perihal Chaos, Absurd dan Bahasa” dalam kumpulan sajak Skenario Menyusun Antena karya Galeh Pramudianto

oleh: Doni Ahmadi



“........
Kamu tahu? Ada yang diam-diam meminjam tubuhmu dari pagi yang belum datang. Ia menikam hidungmu dari balik subuh dan fajar. Lehermu beku karena kehabisan oksigen. Daun telingamu mencoba berfotosintesis dari tubuh saya, tapi saya masih berlari sekuat tenaga menjauh dari 30 meter kini. Saya dan kamu tiada berteman, tapi aku berhasil meminjam tubuhmu. Kamu berlari menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu diambil saya. Dari 30 meter itu, kini berkurang hingga 3 meter disamping saya. Tubuh saya dilonccati tubuhmu yang ada pada diri saya. Kamu berhasil menangkap tubuh kamu dari tubuh saya yang ada pada tubuhmu.”
(skenario menyusun antena, Galeh)

Satu hal yang menggambarkan sepotong sajak diatas saya rasa adalah –chaos. Dan kata pertama setelah saya membaca antalogi tersebut pun sama yakni chaos, absurd. Chaos dan Absurd yang bagaimana? Mari tengok sajak-sajak itu dari dekat.

Sajak Skenario Menyusun Antena dalam kumpulan sajak SMA adalah puisi yang bernarasi dengan permainan imaji yang absurd dari sebuah frasa-frasa yang disusun menjadi puisi. Dalam sajak ini pembaca ditemukan kepada tokoh saya, kamu lalu aku. Pertanyaannya, Siapakah saya? Siapakah kamu? Dan siapakah aku? Perihal jarak dalam puisi itu tidaklah begitu jauh, mereka masing-masing begitu terlihat dekat dalam narasi sajak itu. Kalau begitu ini namanya permainan psikologi, jangan-jangan tiga tokoh itu adalah satu orang yang sama. Saya jadi teringat akan kumpulan cerpen “Malam Putih” karya Korrie (bukan maksud menyamakan puisi dengan cerpen, penulis hanya menganalisis berdasarkan teks narasi) itu dimuat tahun 1983 dan di dalamnya terdapat pula tokoh saya dan aku, namun bedanya ialah tokoh kedua itu adalah tunggal. Memang secara makna dalam kata saya maupun aku memang bermakna tunggal. Lalu bagaimana dengan ketiga tokoh di atas? Hanya penulisnya yang mengetahui tentunya.

Menafsir puisi tak semudah menafsir sebuah prosa, yang terihat lebih gamblang dan jelas. Dalam menafsir sebuah puisi membangun sebuah praduga bahwa pandangan keutuhan pribadi amat penting dalam karya sastra. Dengan melihat pentingnya pentingnya sebuah hubungan antara pribadi dan teks maka dengan kata lain penafsiran teks menjadi lebih intim.

Mungkin yang akan menjadi kendala adalah ketidakintiman (saya) penulis dengan penyair, kedua hanya bermodalkan teks puisi saja (tidak ada teks pendukung lain untuk mendekatan lagi penulis dengan penyair) jadi penafsiran ini murni berdasarkan teks semata.
Kita lihat puisi pertama dalam kumpulan ini (baca : toko serba ada),

“....
ada. bantal, guling, tisu, gorden dan sofa? empuk tidak? ada. kunci, kasur, tangga, lemari, pintu, mesin cuci, keramik dan stiker? warna apa? ada. koper, kamera, tripod, hanger, radio dan parabola? ada. raket, antena, kompor, panci dan spanduk? ada. genteng dan sendal? berapa langkah? ada. apa lagi kak? apa? puisi? apa? maaf sekali, untuk yang itu ternyata kami tidak menjual.” (toko serba ada, Galeh)

Pembaca dihadapkan pada sebuah kerangka-kerangka bahasa yang disebut dengan dialog. Dalam sajak ini dialog-dialog yang sederhana (dialog yang biasa kita dapatkan di sebuah pasar, warung dll) dipertontonkan oleh penyair, lalu diakhiri dengan penyelesaian yang jelas. Dalam toko serba ada, semua tersedia kecuali sebuah puisi. Di sini penyair cukup jelas, meletakan puisi sebagai sesuatu yang istimewa –sebuah hal yang langka.

Senada dengan puisi sebelumnya, dalam puisi Tinggal Bahasa, Di Toko Souvenir 1 dan 2. terdapat dialog-dialog sederhana di dalamnya namun terasa lebih chaos. Semua dikaburkan, begitu pula pembaca.

“...
 
Aku rindu pada billboard di buvelar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam dekapan kaleng soda. Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu, ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip. Kini hanya bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.” (Tinggal Bahasa, Galeh)

Bahasa hanya sebuah bahasa, seperti pada pengertiannya, ia bersifat arbitrer –tak ada unsur yang berhubungan dari bahasa dengan maknanya. Yakni bahasa hanyalah sebatas bahasa, contohnya apakah kata soda itu sudah menunjukan sebuah minuman yang berkarbonasi, tentu tidak. Ia dikonvensikan agar semua sepakat bahwa kata soda bermakna tersebut. Memang , semua khaotik dalam puisi di atas sepertinya hanyalah sebuah gambar berbentuk mozaik yang dibuat penyair untuk melukiskan apa yang menurutnya bahasa.

Dari percakapan saya dengan SMA karya Galeh, saya kembali teringat Afrizal. Pertama dari cara penyair memainkan diksi-diksinya.

“kotak-kotak kardus sibuk bebenah, dari malam hingga pagi tiba.
kamar mandi sibuk. Sudah lengkap. Kami mau pindah. Kasur sudah digulung.
tidak ada orang tidur dalam kasur yang digulung itu. Ember sepatu sikat gigi epat kantung sampah. aku percaya, gunting kuku tidak tertinggaldalam kantung sampah itu. Mobil mengangkut barang ditangkap polisi 50 ribu perak.” (pindah ke kota lain, Afrizal) 

Dari fragmen-fragmen puisi di atas, pemaca dibuat seolah sedang menonton sebuah adegan. Fragmen-fragmen puisi diatas bergeser dengan cepat seperti lintasan-lintasan kejadian pada sebuah mimpi. Begitulah Afrizal, yang pernah suatu kali berkata bahwa tatkala membuat puisi-puisinya, ia berpikir dengan gambar dan dengan demikian puisi-puisinya bisa dibaca dengan cara menontonnya. 

Lalu lihat puisi-puisi Galeh.

“Udara hari ini adem. Cuacanya bersahabat
Malam ini ada pertandingan sepak bola
O, tapi masih semut-semut pada layar itu:
Serpihan klip mengisahkan dirinya sendiri
Melunasi panggung perihal riwayat
Di tengah sungut dan sengit
Pertempuran tiada usai menyisakan
kenang dan kenyang
Ketuk mentah di ujung nanti
Fosil trotoar dan mural
Genteng bersayap angin
Berhala mekar berpori-pori
Berlayar mengeja waktu
Mengejar degup kerak
Berkarat lumpur di beranda
Risau menimbun pandang
Melambungkan bagaimana terka
Beberapa enyah kian genah

“Bagaimana kabar antena rumah kau?”
“Baik! Kau? sekarang aku bisa menonton.” (jampi antena kepada pemirsa, Galeh)

Jika kita melihatnya dari dekat, sajak ini memiliki nafas yang sama. Yakni menceritakan peristiwa yang dapat dilihat melalui indra penglihatan.

Tetapi Galeh bukanlah Afrizal, hanya saja puisi-puisinya yang bernafaskan seperti puisi-puisi yang dituliskan Afrizal. Dari kegemarannya menuliskan benda-benda, lalu narasi yang bercerita seolah-olah kita dapat menontonnya. Namun masih cukup jauh, untuk menyamakan kedua penyair tersebut. Kita tentu tahu perihal kematangan seorang Afrizal. Tetapi dengan usaha tersebut sepertinya Galeh memang patut untuk di apresiasi. Walau perjalanannya masih amat panjang sebagai penyair.

Saya teringat sebuah kritik yang ditulis Tia Setiadi, di mana ia membalik kalimat-kalimat provokatif yang ditulis oleh Octavio Paz menjadi begini. “membaca sebuah puisi adalah memandang dan menontonnya: memahami apa yang digambarnya. Puisi adalah musik, juga diatas segalanya, adalah gambar. Penyair adalah seorang yang menerjemahkan citraan-citraan plastis ke dalam kata-kata.
Saya rasa Galeh juga membaca kutipan itu, karena semuia terlihat jelas dalam puisi-puisinya (baca; Antena Puisi, Ode Bis Wisata, Galeri, Puisi Ini Di Baca, Jajan Rock,Rumah Sakit, Skenario Menyusun Antena, dll)

Di awal saya sudah menyinggung tentang chaos dan absurd dari puisi-puisi dalam kumpulan puisi Skenario Menyusun Antena ini. Dan secara garis besar dapat saya simpulkan puisi-puisi galeh adalah representatif dari sebuah Bahasa. bahasa yang chaos, bahasa yang absurd, dari wacana-wacana tersebut itulah mereka dapat dikatakan sebagai skenario. Skenario yang dibangun penyair dan dileburkan hingga terciptalah sebuah puisi.

Perjalanan Galeh tentu masih jauh, kumpulan sajak Skenaria Menyusun Antena adalah gebyar dalam perpuisian Indonesia di era sekarang. Selamat atas kelahiran Anak dari kebudayaan yang berbentuk kumpulan sajak ini.

“Kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakaan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Dunia referen –yang tinggal dalam memori kita atau pelabelan sosial (stereotipe), seperti seeokor ular yang terus mengintai dan siap menerkam setiap teks. Puisi adalah bintang yang tercekik dalam mulut botol. Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu. Kadang binatangnya ikut mati” (Tulisan Afrizal dalam bagian belakang cover kumpulan sajak Dalam Rahim Ibuku Tak Ada anjing karya beliau)
Kutipan di atas adalah sebagai penutup, dan pesan pribadi saya kepada penyair. Selamat.





Rujukan Bacaan.
Dari Zaman Citra ke Metafiksi, bunga rampai telaah sastra DKJ. (KPG. 2010)
Korrie Layun Rampan. Malam Putih. (Balai Pustaka. 1983)
Tia Setiadi. Benda-benda, Bahasa, dan Kala: mencari simetri tersembunyi dalam Teman-temanku dari atap Bahsa karya Afrizal Malna. (dalam bunga rampai di atas)
Saifur Rahman. Kritik Sastra Indonesia Abad XXI. (Ombak. 2014)
Afrizal Malna. Dari Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. (Bentang. 2002)
________. Teman-temanku dari atap Bahasa. (Lafadl Pustaka. 2008)

Galeh Pramudianto. Skenario Menyusun Antena. (Indiebookcorner. 2015)

Mendobrak Narasi Utama melalui Citra : Analisis terhadap Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta

Mendobrak Narasi Utama melalui Citra : Analisis terhadap Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta
(oleh : Doni Ahmadi)



Pendahuluan

Awal 1966 pada saat orang-orang dituduh komunis dibantai oleh militer dan sekutunya, semangat kebebasan karena terlepas dari rezim Sukarno direfleksikan tidak saja melalui demonstrasi pelajar dan mahasisiwa yang didukung militer namun juga melalui praktek kebudayaan anti-komunis yang menjadi transisi politik ke rezim Soeharto. Tahun demi tahun berjalan dengan pemerintahan otoriterianisme represif dengan melenggangnya ideologi anti-komunis melalu produk-produk budaya, dari karya sastra hingga film (hal ini dijabarkan dalam buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965: bagaimana orde baru melegitimasi anti-komunisme melalu sastra dan film” karya Wijawa Herlambang).

Dalam hal ini citra dari komunisme dianggap sebagai setan, atheis dan musuh rakyat dan lainnya. Padahal komunisme sendiri adalah berdasarkan asas kerakyatan, yakni hak-hak kaum-kaum bawah yang diperjuangankan. Lalu dikaitkan pula dengan atheis dan tidak beragama, padahal ketika merujuk sejarah masa lalu, yakni di mana komunisme dan islamisme bersatu dalam panji Syarikat Islam (hal ini ditulis oleh Bonnie Triyana dalam makalahnya untuk diskusi Islam dan Marxisme di Indonesia di Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul “Palu Arit dan Bulan Sabit pada Suatu Masa”). Hal ini tentu menjadi kontradiktif ketika Komunisme dikatakan “Atheis” dan “Tidak Bertuhan”.

1998 ketika Soeharto turun tahta, saat Orde Baru lengser oleh Reformasi. Teks-teks baru yang disinyalir sebagai pembenaran pun sedikit demi sedikit bermunculan. Banyak teks-teks yang menjadi kontradiktif dari narasi dominan yang dibuat pemerintahan Orde Baru. Banyak sekali bentuk fiksi yang berbau muatan sejarah yang mencoba merekonstruksi sejarah. Diantaranya teks-teks tersebut salah satunya adalah kumpulan cerpen Bunga Tabur Terakhir karya dari GM Sudarta yang diterbitkan Galang Press tahun 2011. Meski lebih dikenal sebagai seorang pelukis ia juga kerap menulis teks sastra –cerpen, karya-karyanya juga dimuat dalam media massa namun kumpulian cerpen ini adalah kumpulan cerpen pertamanya.

Dalam analisis singkat ini, saya akan mencoba membedah salah satu cerpen dalam kumcer Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta.

Alasan Penelitian
Alasan saya menganalisis cerpen berjudul Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta adalah karena saya melihat cerita ini sebagai kontradiksi dari perspektif sejarah yang dibuat oleh Orde Baru. Dan mencoba menganalisis citra yang dibangun dalam tiap tokoh yang ada di dalam cerita.

Teori dan Metode
Citraan (Gambaran angan-angan) dalam sebuah karya sastra adalah untuk memberi gambaran yang jelas untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan juga penginderaan dan juga untuk menarik perhatian. Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya , sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji.

Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penagkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-daerah otak yang  berhubungan.

Djoko Pradopo beranggapan bahwa sebuah imaji yang berhasil mendorong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis dan segera kita dapat rasakan den dekat dengan hidup kita sendiri.

Dalam hal ini saya menggunakan citraan yang timbul oleh penglihatan (visual imagery). karena citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.

Metode Penelitian
Dalam pengkajian ini, dilakukan analisis citra terhadap cerpen berjudul Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta. Yang dalam cerita ini banyak sekali citra-citra yang dibawakan oleh penulis dari tokoh-tokohnya yang ada.

Pembahasan
Cerpen Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta ini bercerita tentang tokoh aku yang selalu diikuti sepasang mata yang memancarkan api kebencian, hingga frustasi sampai-sampai harus mengikuti bimbingan kyai pesantren. Usut-punya usut setelah peristiwa pembunuhan jendral tokoh Aku bersama sahabatnya Mulyono menjadi tukang kubur  di desanya yang dipimpin oleh Mas Parman yakni pimpinan gerakan pemuda yang mendapat tugas dari aparat sekaligus paman dari tokoh Aku. Tokoh Aku dan Mulyono bertugas untu mengubur berpuluh-puluh orang yang diturunkan dari truk setelah mereka ditembaki oleh aparat. Tokoh aku juga kerap mengikuti Mas Parman untuk menciduk warga yang nama-namanya telah ada di dalam daftar.

Suatu ketika tokoh Aku dan Mulyono pun mencium kecurigaan kepada Mas Parman, mereka berpikir dari mana Mas Parman mendapat daftar orang-orang yang harus diciduk dan dieksekusi. Tokoh Aku pun kerap mendengar kabar bahwa banyak korban yang konon tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Terlebih ketika mereka menciduk Mbak Sri yang suaminya menjadi buronan, padahal ia tengah hamil dan tidak tahu menahu di mana suamainya namun tetap diseret oleh Mas Parman. Kecurugaan tokoh Aku pun menguat karena ia mengingat bahwa Mbak Sri pernah menolak cinta Mas Parman. Hingga akhirnya tokoh Aku pun menghindar dari tugas dan bersembunyi namun dapat ditangkap oleh Mas Parman.

Suatu ketika tokoh Aku turut dipaksa ikut membunuh seorang dengan pistol, sebelum ia menambakan pistol itu sang korban bernama Marjo melihat mata tokoh Aku dan hal inilah yang selalu membayang-bayangi tokoh aku.

Di akhir cerita alurpun berjalan jauh menuju masa depan, tokoh Aku dan Mulyono kembali bernostalgia mereka juga bercerita kerap menemui hal-hal aneh. Tokoh Mulyono yang telah berprofesi sebagai dokter kerap menemui pasian yang perutnya robek dengan usus terburai yang membuatnya langsung pingsan dan perlu mendapat perawatan dokter jiwa.

Cerita diakhiri dengan pertemuan tokoh Aku dan Mulyono bertemu dengan Mas Parman yang tengah menjabat sebagai camat, tetapi dengan kondisi yang jauh berbeda. Mas Parman seperti didera penyakit aneh, tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan merah seperti habis disengat listrik. Namun ketika ingin dibwa kerumah sakit benjolan-benjolan itupun menghilang. Konon seketika muda Mas Parman sering menyetrum orang dengan listrik hingga korbannya memiliki luka yang sama hingga mati.

Dalam hal ini terdapat dua narasi yang dibangun. Pertama ada dalam tokoh Aku dan Mulyono. Mereka dideskripsikan sebagai tokoh yang tidak tahu menahu soal keadaan dan hanya mengikuti perintah atasannya atau yang lebih dikenal dengan masyarakat awam. Ada dalam narasi berikut:

“Tugas kami berikutnya adalah mengubur mereka, meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah tersedia. Suatu lubang untuk delapan jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat dan memang harus bungkam, kalu tidak ingin bernasib seperti mereka, meskipun kami tahu mayat-mayat ini adalah tetangga dan kerabat kami sendiri.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 14)

“kami tidak berani membantah, maskipun kami tahu bahwa mungkin Mbah Warso tidak lupa atau tidak tahu sandi kampung. Kami yang tidak tega dengan nasib Mbah Warso segera meninggalkannya di markas, sementara Mas Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan dan rintihan menyayat minta ampun.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 15)

Dan berikut, “Dari mana Mas Parman mendapat daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan penglima perang bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah orang-orang yang namanya terdaftar dan menyeret para lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada dirumah sebagai gantinya.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 17)

Dari narasi diatas tokoh Aku dan Mulyono digambarkan seperti kerbau yang sangat terikat dengan gembalanya tanpa bisa melakukan perlawanan. mereka tak berani melawan dan harus menuruti perintah atasannya karena konsekuensi yang harus diterimanya sangat mengerikan.

Jika tokoh Aku dan Mulyono digambarkan dengan lemah, tanpa perlawanan dan didominasi. Maka tokoh Mas Parman adalah tokoh yang digambarkan sebaliknya. Ia digambarkan sebagai tokoh yang amat propaganda dalam mempengaruhi tokoh Aku dan Mulyono.

“Suatu kali Mas Parman menasihati kami, “Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. bayangkan kalau mereka menang akan jadi apa kita? Kitapun akan disembelih seperti para jendral itu!”...” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 14)

“  ‘Kamu lihat, kamu lihat!’ kata Mas Parman berkepentingan, ‘mereka masih mau menentang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa!’ kemudia ia keluarkan secarik kertas dari sakunya, ‘dan inilah daftar orang-orang yang harus diciduk malam ini.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 17)

Selain sebagai propaganda iapun diceritakan sebagai tokoh yang kejam, bengis dan tidak mengenal ampun. Selain itu tokoh Mas Parman juga terlihat superior dan sangat mendominasi tokoh Aku dan Mulyono.

“Mas Parman sibuk menyiapkan alat pembangkit listrik yang kabelnya semrawut dengan ujung telanjan. Bayangan menyeramkan membuat kepalaku berkunang-kunang.

“Ketika para tawanan bergiliran dipanggil ke dalam, tak berapa lama terdengar bentakan keras Mas Parman, dan kemudian terdengar raungan tangis menyayat orang kesakitan. Perut ini terasa mual, dan Aku pun muntah-muntah.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 18-19)

Dari penjabaran diatas tentu saja tokoh Aku dan Mulyono sebagai citra dari masyarakat awam (common sense) yang cenderung netral. Tidak berpihak pada komunis atau anti-komunis. Namun harus ikut-ikutan membunuh karena perintah dari atasan mereka yakni Mas Parman. Pertanyaannya apakah penggambaran fiksi ini merupakan repserentasi dari suatu banyak pembunuhan masal yang terjadi di indonesia ini? apakah masyarakat yang sebagaian besar pelaku pembunuhan masal dicitrakan melalui tokoh Aku dan Mulyono? Yang tidak tahu menahu namun hanya menuruti perintah atasan dan takut dengan konsekuensinya.

Dan tentang penggambaran Mas Parman, apakah merupakan citra dari rezim Orde Baru? seperti penggambaran beliau di dalam cerita ini yang begitu propaganda dalam mengadu domba untuk saling membunuh, yang terus menyuarakan anti-komunis. Ini tentu saja menjadi kontradiksi dengan apa yang dilakukan pada masa Orde Baru, lihat film Penghianatan G30S/PKI yang dibuat pemerintah. Di mana PKI digambarkan sebagai penghianat negara dengan membunuh tujuh orang perwira militer, lalu ada pula adegan dengan memanfaatkan isu yang sangat sensitif yakni pelecehan kitab suci Al Quran sebagai media propaganda untuk memecah belah kaum islam dengan komunisme.

Dari keseluruhan cerita diatas, dalam kacamata pengarang. PKI adalah korban, korban dari rezim politik adu domba, dan kaum yang terus dipropagandakan akhirnya turut serta dalam pembantaian tersebut. Perihal pembunuhan masal 1965-1966 yang menghilangkan kurang lebih setengah juta jiwa itu masih merupakan tanda tanya besar dan merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah indonesia, yang masih sangat berkabut.

Padahal tragedi 1965 merupakan salah satu tragedi yang paling besar dalam sejarah kemanusiaan Indonesia, bahkan tercatat sebagai salah satu pembantaian massal terbesar pada abad ke-20. Sekalipun merupakan sebuah pembantaian massal terbesar abad ke-20, sangat mengherankan bahwa peristiwa pembunuhan mengerikan ini hampir punah dari ingatan kolektif orang Indonesia dan hampir tidak dipersoalkan masyarakat dunia.

Dalam hemat saya penulis berambisi untuk mendobrak narasi utama –ideologi anti-komunis. Dengan membawa persoalan kemanusiaan ini ketengah-tengah masyarakat melalui cerita ini dan cerita-cerita lain yang dimuat dalam kumcernya itu. Lalu dengan memetakan pembaca pada sudut pandang awam (citra masyarakat sekarang), yang melihat tokoh Mas Parman (citra pemerintahan represif Orde Baru) melawan para korban (citra kaum komunis). Dari sudut pandang ini, jika dikaitkan dengan kemanusiaan dan ketuhanan, pastilah kita melihat Mas Parman sebagai Iblis yang tidak berperikemanusiaan, tidak beradab dan lain-lain. Lalu, kaum komunis sebagai korban yang tidak berdaya hanya mampu pasrah pada nasib. 

Sebagai narasi tandingan menurut saya GM Sudarta cukup berhasil membangun kerangka cerita dengan citra-citra yang diletakan pada tokoh-tokohnya, meskipun diakhiri dengan suasana yang magis/klenik namus cerita ini adalah usaha kecil untuk suatu kesimpang-siuran.

Sebagai teks fiksi, hal-hal yang terjadi di dalam cerita pun patut dikritisi faktanya. Walaupun banyak pendapat tentang teks fiksi tetap berangkat dari realitas, saya pikir penulis/pengarang fiksipun tetap memberi jarak (ceritanya) dengan kenyataan. Dan kalau cerita ini benar-benar realias, jangan lagi sebut ini cerita fiksi, namun cerita ala jurnalisme sastrawi.



Daftar Pustaka
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri.
Sudarta, GM. 2011. Bunga Tabur Terakhir. Yogyakarta: Galang Press.
Triyana, Bonnie. dalam makalahnya untuk diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia” di
            Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul Palu Arit dan Bulan Sabit pada
            Suatu Masa
.
Pradopo, Djoko Rachmat. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGMpress.

Media Daring
Indoprogres.com/2014/09/tragedi-1965-dalam-karya-karya-umar-kayam-perspektif-antoniogramsci/



Budaya Konsumsi (perspektif baudrillard)

Budaya Konsumsi : Budaya Kesadaran Palsu
Oleh: Doni Ahmadi*


capitalismo.jpg

Sekarang adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatanya namun karena gaya (hidup), demi subah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi  tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting, apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidak puasan. Kita menjadi teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekuarangan, seakan-akan makmur padahal miskin. (Jean P Baudrillard, dalam Masyarakat Konsumsi)

Sebagai seorang pemikir, Baudrillard dikenal sebagai teoritisi terkemuka tentang media dan masyarakat dalam era yang disebut juga postmodern. Teorinya mengenai masyarakat postmodern berdasarkan asumsi utama bahwa media, simulasi, dan apa yang ia sebut ‘cyberblitz’ telah mengkonstitusi bidang pengalaman baru, tahapan sejarah dan tipe masyarakat yang baru.

Pada fase inilah Baudrillard bermain – di mana masyarakat sebagai pelaku budaya mulai terjerumus dalam kesadaran palsu –yakni di era globalisasi dengan kapitalismenya yang menggila. Dalam kumpulan esai yang terangkum dalam Sosialisme Religius Muhidin berpendapat, ketika kapitalisme menubuahkan bahwa gerak ekonomi diserahkan kepada (persaingan) pasar, maka proses eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan alam, bukan pula manusia. Pasarlah yang mngendalikan kebutuhan manusia lewat korporasi-korporasi raksaksa. Mantra rekonsolisasi, penjajahan dan penindasan disenandungkan.

Dalam kasus ini manusia lah sebagai pelaku budaya yang coba di eksploitasi. Terjerumus oleh iming-iming iklan yang tanpa henti dimuat dalam televisi. Menghamba konsep ‘kekinian’ –gaya hidup yang ditawarkan media kapitalis –dan tidak menolaknya sedikitpun. Yang nanti pada fase akhirnya menyebabkan hal demikian.

“Kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme fundamentalis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alinesasi (kesunyian, keterasingan manusia dari Tuhan, sesama manusia dan lingkungan) dan sinisme.” (Erich Fromm, dalam Sosialisme Religius)

Masyarakat sebagai pemegang jalannya kebudayaan pun seakan terlena, hal-hal demikianlah yang membuat pasar semakin menggila. Dan hal tersebutpun diamini oleh masyarakatnya dengan permintaan pasar yang tinggi sehingga produksipun semakin gencar.

Contoh kecil dalam kasus ini adalah masyarakat pengguna ponsel pintal dengan brand-brand terkenal, seperti Iphone, Samsung dan lain sebegainya. Produk-produk tadi memang menawarkan hal-hal baru untuk penggunanya, dari teknologi yang canggih, resolusi layar, fitur dan keamanan.

Lalu contoh lainnya adalah pengguna televisi flat dengan inci yang lebih besar. Dari segi kualitas, bentuk dan fitur-fitur yang ditawarkan memang televisi flat dengan inci yang besar memang lebih baik, tapi dalam segi fungsi? Bukankah sama, untuk ditonton, baik siaran yang disajikan oleh stasiun-stasiun televisi maupun CD atau film. Namun yang patut digaris bawahi adalah penggunanya tersebut –masyarakat. Apakah ponsel pintar itu berfungsi semestinya? Atau hanya kepentingan gaya hidup saja? Yakni sebagai kebanggaan (Pride) bagi penggunanya.

Jika penggunaan ponsel pintar itu sama saja dengan ponsel pintar lain, dengan harga yang jauh lebih murah apakah bukan suatu tindak pemborosan (konsumerisme)? Perihal fungsi yang digunakan tidak begitu berbeda dengan yang sebelumnya.

Yang menjadi garis besar adalah “Kesadaran Palsu”. Hal itu dalam konsep Simula menurut Baudrilliard adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal.

Hal-hal yang ditayangankan dengan ideal di dalam iklan-iklan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami kesadaran palsu tersebut. Dengan melihatnya secara terus menerus di televisi, masyarakatpun mulai membayangkan hal-hal yang ditawarkan oleh barang tersebut. Selain itu masyarakat banyakpun mulai mengagung-agungkan dan mulai menghamba terhadap benda tersebut.

Dalam hal ini memang semua kembali kepada kontek sosial masyarakat – di mana masyarakat itu tinggal. Masyarakat ibukota (metrpolitan) tentu saja akan memikirkan hal tersebut, baik mereka dengan kondisi sosial yang rendah. Lagi-lagi semua karena iklan yang terus menerus dikunyah oleh masyarakat. Hal inilah yang mnyebabkan prestige, pride yang pada tulisan awal dijabarkan (Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya). Semua bukan lagi tentang fungsi. Lebih ke eksistensialisme, personal si pengguna barang teretentu.

Terlepas dari masalah individual sebagai pelaku, hal ini justru mengacu pada hubungan sosial masyarakat dan logika sosial. Yakni bagaimana sebagai individu seorang masyarakat lebih peka melihat kondisi sosialnya yang ada. Jika hal tersebut membawa kerugian untuk dirinya, mengapa harus dilakukan. Contohnya adalah saat seorang tengah memiliki ponsel pintar biasa (dengan harga terjangkau), lalu teman-teman lainnya membeli ponsel pintar yang lebih baru dengan alasan style, kekinian, lagi jaman pdahal dari segi fungsi sudah sama. Tentu dia akan menolak untuk membeli yang baru dengan alasan yang logis (karena dari segi fungsi sudah sama). Ia akan berpikir bahwa hal itu adalah perilaku komsumtif (pemborosan). Hal inilah yang menjadi penting.

Dalam sintesanya, Baudrilliard mengatakan, satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini terletak pada perubahan dalam hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerukan suatu logika sosial yang membawa bersamanya pertukaran simbolik, bukan nilai tukar. Yakni fungsi lebih diutamakan, bukan kebanggaan, tren, style, kekinian ataupun modernitas.  


Daftar Pustaka.
Jean P. Baudrilliard. Masyarakat Konsumsi. (Kreasi Wacana. 2004)
Muhidin M. Dahlan (Peny). Sosialisme Religius : Suatu Jalan Keempat? (Kreasi Wacana. 2000)



*mahasiswa sastra UNJ, bergiat di komunitas tembok dan redaktur buletin sastra Stomata. beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan (2016)

Rumah Kertas by Carlos Maria Dominguez (review)

Membaca Rumah Kertas dan Sekelumit
Gejala Pengarang Amerika Latin
(oleh: Doni Ahmadi*)


Barangkali buku ini (Rumah Kertas) adalah pertemuan pertama saya dengan teks yang dimuat Carlos Maria Dominguez. Pengarang Amerika latin yang kesekian dalam pembacaan saya.

Sebetulnya cerita ini ugahari saja, namun entah mengapa, cerita ini membuat isi kepala saya terngiyang-ngiyang, mungkin betul juga, dalam cerita setebal 75 halaman ini, penulis mampu menyihir pembaca melalui peristiwa-peristiwa yang teramat aduhai (apalagi kepada para pembaca maupun pengoleksi buku). Cerita dalam Rumah Kertas ini betul-betul (barangkali) pernah dialami hingga terkesan amat dekat (terlebih bagi saya).

Berikut, beberapa nukilan narasi dalam rumah kertas ini yang mungkin anda pernah alami.

“.... Aku perhatikan banyak orang mencatat tanggal, bulan dan tahun mereka membaca sebuah buku; dan dengan itu sebenarnya tengah menyusun penanggalan rahasia! Yang lain menuliskan namanya di halaman depan sebelum meminjamkan bukunya, mencatat kepada siapa mereka meminjamkan dan membubuhi tanggal pinjamnya....”

“.... Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji payung, ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi jauh dan lama dirindu.”

“Pada akhirnya, ukuran perpustakaan itu ternyata memang penting. Kita pajang buku-buku ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan omong kosong dan basa-basi merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa. Aku bahkan kenal seorang profesor sastra klasik yang sengaja berlama-lama menyeduh kopi didapur agar tamunya bisa mengagumi buku-buku diraknya.....”

“Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. Kadang kita berharap menjumpai buku yang ingin kita baca tapi tidak kita punya...”

Bagi saya, hal-hal yang dituliskan diatas memang terasa begitu dekat, atau dengan kata lain pernah saya alami. Mungkin anda akan geleng-geleng dan tersenyum ketika anda sendiri pernah mengalaminya. Dan mungkin beginilah (respon spontan) ketika kita menemui sebuah fluktuasi sinkronitas yang universal dalam sebuah karya sastra.

Tak sampai disitu, Dominguez saya pikir paham betul bagaimana meletakan detail, yang menjadi teramat penting dalam sebuah novel. Pembaca yang tak teliti mungkin akan terkaget-kaget ketika membaca Rumah Kertas ini: selain peristiwa yang begitu cepat, barangkali kita akan menemui penanda-penanda (yang menjadi sebab) dalam tiap peristiwa yang akan menghantarkan kita pada apa yang dimaksudkan oleh pengarang (akibat).

Dominguez seperti mengajak pembacanya untuk bermain puzzle dalam prosa Rumah Kertas ini. Dan hal itupun sudah dimulai oleh beliau dari adegan pertama  –tentang sebuah buku misterius yang penuh debu dari bekas semen. Sampai adegan-adegan selanjutnya yang membawa pembaca untuk turut serta dalam penyelidikan tentang asal usul buku.

Dalam Rumah Kertas ini, barangkali Dominguez mencampur adukan beragam mahzab dan pemahaman tentang para pustakawan, pecandu buku maupun pengkoleksi buku. Dari (watak konsumerisme) tokoh yang ingin selalu ingin memenengkan pelelangan buku, tak peduli jumlah uang yang ia gunakan dan tak peduli bahwa buku tersebut merupakan kebutuhan dari seorang teman. (Watak realisme sosialisme) Tokoh yang menyerahkan seluruh koleksi bukunya menjadi milik pemerintah karena tak sanggup lagi merawat buku-buku koleksinya dan berpikir agar buku-bukunya kelak bermanfaat bagi orang banyak dan lain sebagainya. Meneurut saya segala macam bentuk, pemikiran, kesadaran barangkali ia masukkan dalam Rumah Kertas ini.

Namun, seperti kebanyakan para pengarang Amerika Latin lainnya (red: Gabriel Garcia Marquez, Jose Luis Borges, Roberto Bolano dll). Dominguez pun kerap meletakan metanarasi dan metafiksi dalam teksnya.

Marquez tentu jelas-jelas melakukan metafiksi dalam Seratus Tahun Kesunyian (kota Macondo yang merupakan narasi fiksi yang merupakan representasi dari Amerika latin masa silam) –terbitan Bentang Pustaka yang dialih bahasakan oleh Max Arifin. Lalu metanarasi dalam Para Pelacurku yang Sendu –terbitan Circa yang dialih bahasakan oleh An Ismanto.

Borges pun serupa dalam cerita pendeknya, ia bahkan melakukan keduanya dalam satu kumpulan cerita  (red: Simurgh, Yang Lain, Delia Elena San Marco, Parabel Cervantes dan Don Quixote, Burak dll) –terhimpun dalam kumpulan cerita Parabel Cervantes dan Don Quixote terbitan Gambang yang dialihbahasakan oleh Lutfi Mardiansyah. Dan Bolano yang juga menerapkan keduanya dalam cerita pendeknya yang berjudul Kartu Dansa  –terhimpun dalam kumpulan cerita Last Evening on Earth yang dialihbahasakan dari bahasa Spanyol oleh Chris Andrew.

Dalam hal ini fungsi (penggunaan metanarasi), ini bisa saja menjadi baik asalkan narasi yang dimasukkan bukan sekedar tempelan, artifisial ataupun hanya untuk gagah-gagahan (pamer keterbacaan dan sebagainya). Tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerita. Sebagai contoh lagu berjudul Delagadina dalam novel Para Pelacurku yang Sendu karya Garcia Marquez, jika judul lagu itu tidak diperdengarkan mungkin cerita akan berjalan berbeda atau penggalan puisi Isa karya Chairil Anwar dalam kalimat pembuka cerpen Solilokui Ungu karya Maroeli Simbolon yang mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.

Namun dalam Rumah Kertas ini, saya pikir Dominguez terlalu berlebihan meletakan metanarasi dan metafiksi. Berikut,

“... Siddharta membuat puluhan ribu anak muda menggandrungi kebatinan, Hemingway membuat mereka menggandrungi olahraga, Dumas memperumit hidup ribuan wanita....”

“.... sifat yang semakin terancam pupus oleh hilangnya masa mudanya, hilangnya kedua suaminya, dan hilangnya impian untuk mengarungi Sungai Macondo dengan kano, obsesi yang ia dapat setelah membaca Seratus Tahun Kesunyian...”

“Di tanganku ada Irish Fairy and Folk Tales yang menagjubkan dengan prolog William Butkler Yeats dan ilustrasi asli James Torrance....”

Dan juga terdapat nama-nama lain seperti Vargas Llosa, Borges, Marquez, Neruda, Conrad, Faulkner dan lain-lain.  disini yang menjadi rumit adalah, bagiama pembaca mengimajinasikan Sungai Macondo tanpa pernah membaca Seratus Tahun Kesunyian? Atau bagimana pembaca mengetahui bahwa Hemingway membuat pembacanya menggandrugi olahraga, sedang pembaca hanya membaca Orang Tua dan Laut saja (paling-paling hanya memancing, inipun jika hal tersebut sudah termasuk olahraga). Atau seberapakah pembaca peduli tentang “prolog“ yang dibuat William Butkler Yeats?

Entahlah, namedropping semacam ini barangkali begitu digemari oleh para penulis Amerika Latin dengan motif yang saya sendiri kurang memahami. Namun terlepas dari itu semua, estetika dan gaya dari pengarang-pengarang Amerika latin ini pun patut mendapat perhatiannya. Bahkan di Indonesia (sekarang) barangkali tengah digandrungi.

Namun ada pula sisi yang berbeda dalam Rumah Kertas kepunyaan Dominguez ini, yakni porsi dialog yang hampir terpenuhi dalam satu bab (red: bab 3). Porsi inilah yang tidak sepenuhnya terdapat dalam teks-teks Marquez, maupun Borges.

Sebagai penutup, barangkali saya akan mengutip kalimat awal saya. Menurut saya Rumah Kertas merupakan cerita yang begitu ugahari dari Dominguez (namun disisi lain, entah adanya kedekatan peritiwa atau yang saya sebutkan diatas). Saya pikir buku ini pun cukup kaya dalam menawarkan alternatif, baik sebagai pembaca, pengkoleksi, maupun hal-hal lainnya melalui beragam keunikan bahkan kegilaan dalam peristiwa-peristiwa yang barangkali akan anda (pembaca) ingat seumur hidup.



Pustaka
Carlos Maria Dominguez. Rumah Kertas. (Marjin Kiri. 2016)
Gabriel Garcia Marquez.  Para Pelacurku yang Sendu. (Circa. 2016)
__________.      Seratus Tahun Kesunyian. (Bentang. 2007)
Jorge Luis Borges. Parabel Cervantes dan Don Quixote. (Gambang. 2016)

Maman S Mahayana. Bermain dengan Cerpen. (GM. 2006)


*mahasiswa sastra UNJ, bergiat di komunitas tembok dan redaktur buletin sastra Stomata. beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan (2016)

Minggu, 07 Agustus 2016

Perihal menulis

Perihal menulis (Sebuah Penghantar Sangat Ringkas)


Begini, sebenarnya saya bukanlah penulis hebat apalagi sastrawan. Ya hanya seorang yang suka membaca dan menulis ala kadarnya. Dan tentu saja dalam forum ini saya hanya bertugas sebagai pemantik, jadi saya tentu bukan apa-apa, hanya seorang yang mencoba berbagi ilmu saja.
Oh iya, sebagai pendahuluan saya teringat kata seorang teman, begini “Banyak orang bermimpi menjadi penulis, akan tetapi, sedikit dari mereka yang mau melalui prosesnya, banyak yang mau menulis dengan indah, tetapi tidak mau membaca. Mereka mengandalkan intuisi dan pengetahuan yang itu-itu saja, hingga jika membuat dua juta sajak sekalipun, diksi dan isinya pun itu-itu saja. yang lain, hanya mau membaca tanpa menulis, dengan alasan: aku ini ndak bisa nulis, Tapi mas HB Jassin tidak menulis puisi, ia menulis apresiasinya tentang puisi orang lain.” Begitu katanya, bukan main pedasnya.

Tentu, saya mengamini pendapat beliau, dengan kata lain tak ada penulis besar tanpa sebuah proses yang panjang. Apalagi yang berharap kesuksesan dalam beberapa hari. Tentu, dunia tulis menulis bukan dunia entertain di mana sekali upload langsung jadi pesohor (meski rata-rata hanya bertahan beberapa bulan saja). Ya, dunia tulis menulis adalah dunia yang luar biasa rumit, lebih rumit dari musik jazz ataupun fisika barangkali.

Dalam kesusastraan era sekarang, mungkin seorang Eka Kurniawan bisa kita jadikan contoh. Saya ingat, beliau ini dijuluki sebagai “Khazanah sastra dunia”. Tentu para kritikus tidak asal sebut, dan tentu bisa kita lihat dari karya-karya beliau. Semisal Cantik itu luka atau barangkali O dsb, lalu coba kita lanjutkan lagi dengan membaca Seratus tahun kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, dan Animal Farm karya Orwell. Tentu kita dapat membandingkannya sendiri. Entah dari segi bentuk, maupun estetik. Lagipula Eka sendiripun tidak menutupi hal tersebut, kita bisa lihat esai yang ditulisnya (red: Orbituari ‘Proses Kreatif’), tak jarang ia menyebut tokoh-tokoh besar yang turut mempengaruhinya seperti Marquez, James Joyce, Kawabata, Knut Hamsun, Kafka, Pram, Kho Ping ho, George Lukacs, Nietczhe, Hegel, Marx  dan lainnya. (tentu metode inipun turut dilakukan penulis-penulis besar lainnya, seperti Pram, Mangunwijaya dll)

Hal ini tentu senada dengan pendapat dari Paulo Freire “Membaca (belajar) bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide”. Hal ini lah yang lebih dulu dilakukan oleh pengararang-pengarang besar. Mereka lebih dulu memngonsumsi ide namun tak luput dengan esensi sesungguhnya : mencipta. Dan dalam dunia tulis menulis, hal inilah yang tentu menjadi kunci.
Anda tentu pernah mendengar anggapan bahwa sastra tidak turun dari langit. Benar memang, lingkungan, budaya, adat, norma barangkali ikut ambil bagian, entah sadar atau tanpa disadari hal itu pasti tercermin dari apa yang anda tulis.

Selama keterpengaruhan itu ada di kutub positif, nikmatilah. Carilah referensi-referesi, carilah sosok, carilah gaya, ketika sampai pada fase menulis, menulislah sejujur-jujurnya, seada-adanya, dan ketika selesai, bacalah kembali. Karena sebaik-baiknya penulis adalah seorang editor yang baik pula untuk tulisannya.

Dalam pembahasan tentang menulis ini, saya akan memfokuskan tentang penulisan prosa. Lebih fokusnya adalah cerita pendek (selanjutnya saya akan sebut cerpen). Di era sekarang ini, saya kira sudah tidak sulit untuk menemukan penulis-penulis cerpen terkemuka, baik sastra dunia maupun sastra indonesia. Kita tentu mengenal penulis-penulis tersohor macam Chekov, Wilde, Borges, maupun penulis lokal seperti Seno, Putu Wijaya, AS Laksana, Triyanto Triwikromo, dll.

Tentu, masing-masing dari mereka memiliki gaya tersendiri dalam penulisan prosa. Dari diksi, tokoh, alur hingga substansi, saya pikir nama-nama diatas sudah tidak bisa diragukan lagi. Ada yang begitu memukau dalam kalimat pembuka, ada yang begitu memukau dalam bernarasi, adapula yang begitu memukau dalam menyusun cerita. Mungkin kita tinggal hanya memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan contoh/kiat-kiat dalam menulis cerpen yang baik (saya tentu tidak bilang bahwa penulis lain yang tidak saya sebutkan tidak baik, anda tentu memiliki selera sendiri).

Dalam cerita AS Laksana dan Triyanto contohnya, tak jarang kita temui sebuah prosa di mana ketika kita baru sampai pada kalimat pertama/paragraf pertama kita seakan sudah dimuat menggeleng-gelengkan kepala. Menurut sulak sendiri penentu sebuah cerita itu terletak pada kalimat pertama, karena ketika seorang pembaca dihadapkan dengan kalimat pertama yang memukau bukan tidak mungkin pembaca akan meneruskan pembacaannya hingga akhir. Namun tidak sampai disitu.

Kita coba beralih ke Seno, kekuatan dari seno bukanlah pada kalimat pertama, tetapi pada narasi-narasi yang memukau. Entahlah, pembaca seperti digiring oleh dalimat demi kalimat yang aduhai sampai kadang-kadang kita lupa apa cerita yang kita baca. Bukan main memang seno.

Lalu ada Putu Wijaya, penulis yang satu ini saya pikir tidak tanggung-tanggung dalam membuat cerita, Putu tidak memberi keistimewaan diawal atau narasi-narasi yang aduhai, tapi beliau memberikan substansi yang luar biasa dalam bercerita, dengan kata lain Putu lebih fokus ke isi cerita meski begitu, ia tetaplah tidak bisa dianggap remeh dalam bernarasi.

Jadi, apalah yang kurang, saya pikir semua telah tersedia di era sekarang. Namun ada hal yang ingin saya garis bawahi dalam sebuah cerita pendek, hal yang pertama-tama (menurut saya, yang terpenting dalam sebuah cerita pendek) ialah isi/substansi. Dalam sebuah cerita mungkin kita sering membaca tentang cerita-cerita remeh semisal cerita tentang perempuan patah hati lalu ia menemukan cintanya dan selesai begitu saja. Saya tidak bilang cerita itu buruk tapi alangkah lebih baik bila kita pun memperhatikan substansi yang lebih dalam lagi, bukan hanya sekedar cerita yang remeh temeh.

Dan bagian kedua yang terpenting setelah isi/substansi itu ialah bentuk (logika cerita, point of view/sudut pandang, diksi/narasi). Dalam membuat cerita tentu logika cerita itu sangat penting, karena tidak sedikit penulis yang luput, contohnya, semisal tokoh aku digambarkan sebagai seorang yang lahir pada masa orde lama, lalu tiba-tiba ia ada kejadian penembakan misterius (yang sesungguhnya terjadi di masa orde baru), hal ini tentu jadi tak masuk akal. Lalu sudut pandang, tak sedikit penulis yang merubah pov dalam ceritanya, tentu saja harus diperhatikan porsinya, contohnya, dalam satu cerita penulis menyajikan pov orang kedua namun hanya diberi porsi satu peragraf dari tigapuluh paragraf dalam keseluruhan cerita. Sungguh kurang aduhai tentunya. Dan yang terakhir adalah narasi, dalam hal narasi ini, saya menyarankan pembaca untuk membuka kumpulan puisi, kbbi, atau tesaurus kalau perlu. Karena tidak sedikit kita menemui diksi-diksi nan jatmika dari buku-buku tersebut.

Hal diatas inilah yang menentukan bagaimana sebuah cerita dianggap baik. Ketika sudah menguasai hal tersebut bukan tidak mungkin kita dapat membuat cerita yang tak kalah dari para penulis besar itu. Dan dalam bagaian kedua –tentang bentuk –  diatas itu (yang saya jabarkan diatas) anda mungkin dapat menyihir cerita remeh-temeh menjadi sesuatu yang luar biasa.  Sekian.



Doni Ahmadi
Agustus, 2016