Kamis, 16 Juni 2016

Perihal Budaya Populer, Semacam Penghantar

Perihal Budaya Populer, Semacam Penghantar*


I

Kalau seni rakyat muncul dan bertahan karena kehendak rakyat (dengan tradisinya), seni kerakyatan karena kehendak bangsa (dengan ideologi kerakyatan), seni populer lahir dan bertahan karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.

Akhir-akhir ini, memang kajian tentang populer (entah dari aspek seni maupun budaya) memang menjadi perhatian yang serius. Barangkali karena hal berikut sedang jaya-jayanya –tengah berlalu dan kita alami sekarang. Kajian tentang budaya populer pun bukan main banyaknya, banyak sekali aspek-aspek yang mempengaruhi bagaimana ‘Populer’ itu terbentuk dan hadir ditengah-tengah kita.

Dalam hal ini, peranan yang paling krusial tentu saja ada pada media. Perkembangan media dalam bentuknya seperti kita alami sekarang telah menempatkan hubungan antara manusia dan media menjadi kompleks. Akibatnya, kita tidak lagi bicara fungsi media untuk mengungkapakan gagasan dan perasaan manusia namun juga media yang mengatur gagasan dan menata perasaan manusia. St Sunadi mengungkapakan bahwa kita mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media, entah mau atau tidak, suka atau tidak. Ditambah dengan pernyataan McLuhan bahwasanya kita ditempatkan dalam sebuah taman massif yang sudah kehilangan kohesi sosial dan ideologi.

Seorang pemikir Prancis juga menaruh perhatian dalam hal ini (red: Baudrillard), ia menyatakan bahwa media massa telah menyatukan manusia kemudian membiarkannya meledak ke dalam: batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi, kelas, cair luluh begitu saja. Yang tinggal hanya satu: massa dengan ketidakpastian ini muncul karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti luluh, batas-batas baru sangat bergantung pada bagaimana kelompok sosial dihadirkan dalam media. Hingga pada suatu kesimpulan yang dikemukanan oleh Ziqmunt Bauman: “Orang lain tidak berdiri sebagai sesama maupun orang asing melainkan orang yang tidak diundang. Mereka berada disatu tempat tetapi tidak kenal. Mereka satu rasa, namun abai akan sesama.”

Barangkali uraian-uraian perihal media yang saya kemukan di atas tentu sudah menjadi sedikit penghantar sebelum kita menaruh perhatian kita ke hal lain yang turut berpengaruh dalam kajian ini selain media. Hal inilah yang anak menjadi perhatian kedua, perihal siapa yang berperan dalam media? Dan apa yang membuat populer sedemikian terlihat lalim?

Oia sebelum pada paragraf awal saya telah memberikan wacana diatasnya, berikut – seni populer lahir dan bertahan karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.


II

Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi.

Dalam hal ini perhatian awal saya, adalah perihal pengalaman populer yang terkait dengan konsumsi. Dengan kata lain, media menciptakan populer dengan mengonsumsi barang-barang komoditi. Dan tentu saja ini bagian dari kapitalis konsumsi. Populer yang akan ditekankan adalah populer yang lahir lewat cara orang-orang zaman sekarang mengonsumsi barang-barang.

Dengan kata lain, terjadilah penyeragaman rasa. Baik dalam barang-barang yang bersifat nyata maupun tidak nyata, barang fisik maupun ilmu. Contoh yang paling mencolok adalah konsumsi mie instan yang barangkali sudah menjadi makanan nasional, malahan internasional. Dalam hal ini masyarakat seperti sudah tergeneralisasi. Namun, hal ini (penyeragaman yang dimaksud) tidak hanya menyangkut indra perasa (lidah) namun juga indera-indera lainnya seperti pendengaran, penglihatan dan penciuman. Jadi ada penyeragaman pada level estetis maupun level pengalaman indrawi.

Dalam hal sastra tentu kita tahu bagaimana suatu karya menjadi kanon, dalam hal ini kasusnya adalah novel “Saman” karya Ayu Utami yang bukan main meledaknya pada awal tahun 2000an, namun hal itu tidak berlanjut dalam novel lanjutnya (red: Larung), apakah ada yang salah dari Larung sehingga tidak semeriah Saman? Entahlah. Mungkin  dalam masa sekarang kita mengenal tokoh sekaliber Aan Mansyur maupun Eka Kurniawan, yang rasa-rasanya karya-karya mereka sudah menjadi karya wajib pada era sekarang ini. Tentu saja hal ini turut memumculkan pertanyaan, apakah mereka dikanonkan? Siapakah yang berperan? Ataukah memang selera sastra kita yang sedemikian sama? Mungkin itu pertanyaan yang mungkin bisa dijawab dengan kajian yang lebih mendalam, ataupun bisa kita lihat gejala berikut di tahun-tahun mendatang.

Lalu dalam musik, sepertinya kitapun mengalaminya sendiri bagaimana musik pop hadir menjadi konsumsi massif, lalu berganti menjadi pop melayu dan seterusnya dan seterusnya. Selera dibuatnya meledak dalam satu titik, lalu berubah lagi, lalu berhenti lagi pada suatu titik lagi dan meledak lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam hal ini (saya secera sinisme memandang) massifikasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari kehendak kapital (baik nasional maupun global) agar beranak pinak sehingga kapital itu semakain membengkak. Dengan demikian masyarakat seakan sudah ‘Terkutuk’ untuk menjadi massal satu rasa.


III

Penekanan pada Gaya dengan mengorbankan Substansi

Dalam hal ini rasa-rasanya tidak adil juga jika kita menitikberatkan hanya kesalahan peran media serta kaum kapitalis. Pembahasan secara menyeluruh dan lebih lengkap mungkin telah diungkap oleh Baudrillard dalam karyanya (red: Masyarakat Konsumsi).

Dalam karyanya itu beliau menulis begini, “Sekarang adalah era  di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatanya namun karena gaya (hidup), demi subah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi  tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting, apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidak puasan. Kita menjadi teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekuarangan, seakan-akan makmur padahal miskin.”

Dari penjabaran diatas, tentu saja kita akhirnya sampai pada kesimpulan begini, peran dari media dan kaum-kaum kapital hanya sebatas menjadi pemantik saja, justru masyarakatlah (sebagai kaum konsumsi) yang menentukan bagaimana hal ini dapat terwujud.

Mengamini pendapat Baudrillard, D. Harvey juga mengatakan “Kita semakin sering mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannnya ‘manfaat’nya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Kita menonsumsi citra dan tanda itu karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan.”

Harvey pun meneruskan, bahwa hal ini tampak nyata dalam budaya populer itu sendiri di aman permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat main-main dan senda gurau, dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi, substansi, dan makna. Sebagai akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integeritas, keseriusan, autentisitas, relisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat condong diabaikan.  

Sepertinya ini sudah menjadi gejala umum, strategi penyeragaman ini memang bukan main gilanya. Dan bahkan sudah menembus sampai bagian-bagian terdalam. Manusia bukan main diperlihatan kebodohnya, mereka terus menerus di eksploitasi tanpa henti dengan kesadaran palsu akan citra, kebanggan, nilai estetis secara terus menerus.

Apakah hal ini sudah menjadi hukum alam dan tidak dapat terelakkan? Tentu saja ada, mereka yang sadar tentu tidak masuk kedalam lingkaran ini, mereka bahkan menolak, orang-orang itu lebih memilih tidak membaca koran atau tidak menonton televisi. Namun hal ini bukan menjadi jalan keluar, karena tema dan cara bicara masyarakat sehari-hari sudah ditentukan oleh media.

Lantas, apakah tidak ada alternatif lain? Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar dalam kajian ini. Dan tentu sebagai pemantik jalannya diskusi kita sekarang ini.

Daftar Pustaka.

Domininc Striani. Popular Culture: Penghantar Menuju Teori Budaya Populer. (JEJAK. 2007)
Jean P. Baudrilliard. Masyarakat Konsumsi. (Kreasi Wacana. 2004)


* esai ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" dalam diskusi dengan tema 'Mengonsumsi Budaya Populer' pada 17 Juni 2016 

Senin, 06 Juni 2016

LEKRA : Penghantar, Setelah 50 Tahun.

LEKRA : Penghantar,  Setelah 50 Tahun*
(oleh : Doni Ahmadi)

“Lekra adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai dengan isi ini, Lekra selalu berlawanan, berlawanan dengan ketidakadilan, berlawanan dengan kepalsuan, berlawanan terhadap yang lama adalah syarat untuk membangun yang baru. Untuk memakai istilah manipolis, Lekra selalu menjebol dan membangun” (Harian Rakjat, 8 Maret 1962)

Lima tahun setelah revolusi agustus –17 Agustus 1950 – sejumlah seniman dan politikus membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia lahir dari keprihatinan terhadap Indonesia yang dianggap belum lepas dari Imperialis (Penjajah). Melalui konsep “Seni Untuk Rakyat” Lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri untuk revolusi indonesia.

Penggagas dan pendiri lekra adalah A.S Dharta, M.S Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, Njoto dan D.N Aidit. Mereka beserta para seniman lainnya merumuskan mukadimah pertamanya yang menjadi tonggak terbentuknya Lekra.

Bunyi dari mukadimah tersebut ialah: “Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada 17 Agustus 1950 didirikan lembaga kebudayaan rakyat disingkat Lekra.”

Pembentukan Lekra itu didasari dari situasi politik Tanah Air kala itu. Setelah Kofrensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 Indonesia tidak bisa dikatakan merdeka seratus persen. Pembentukan Lekra dimaksudkan untuk membebaskan diri dari ketergantunga penjajah. Dengan kata lain Lekra dibentuk dengan tujuan mendukung revolusi dan kebudayaan nasional dengan prinsip “Seni Untuk Rakyat”.

Pada tahun 1959 kongres nasional pertama Lekra diadakan, dalam kongres ini Lekra berhasil merumuskan prinsip kerja berkesenian dan membangun organisasi lebih sistematik. Kongres itu diadakan di Taman Sriwedari di jalan Brigadir Jendral Slamet Riyadi, Kota Surakarta. Dan dalam kongres ini pula lah wacana “Politik Sebagai Panglima” mencuat.

Dalam Kongres itu Lekra merumuskan prinsip 1-5-1, yang menjadi pedoman gerakan kebudayaan dan arah kerja Lekra. Prinsip 1-5-1 ialah kerja kebudayaan yang bergariskan Politik sebagai Panglima dengan lima kombinasi: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Semua itu dipraktikan dengan metode turun ke bawah (Turba).

Metode turba ini kemudia dijabarkan dalam “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama. Para seniman harus turun dan melihat dengan mata dan kepala sendirinya tentang keadaan rakyat kala itu. Para seniman juga bahkan merasakan membatu pekerjaan, makan bersama dan tidur bersama warga yang dikunjunginya itu. Hal ini dilakukan untuk memperkuat isi mukadimah Lekra yang dibuatnya di kongres berbunyi : “Menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan di dalam perkembangan hari depan, untuk secara dalam mempelajari kebenaran yang hakiki kehidupan dan untuk bersikap setia terhadap kenyataan dan kebenaran”.

Dalam hemat para pemimpin Lekra, kreativitas bisa muncul dengan cara hidup bersama rakyat. Dan dengan metode inilah para seniman dirasa dapat merepresentasikan bagaimana kondisi rakyat saat itu yang nantinya akan termanifestasikan dalam karyanya.

Sejalan dengan dikeluarkannya konsep 1-5-1, Lekra merombak struktur organisasinya. Beberapa bulan setelah kongres, Lekra menyusun enam lembaga kreatif: Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Seni rupa Indonesia , Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Seni tari Indonesia, Lembaga Film Indonesia dan Lembaga Seni Drama Indonesia.


Lekra: Seni, Politik, dan Rakyat

“Ada kawan-kawan kita ahli sejarah yang banyak tahu tentang zaman dahulu, tapi hampir tidak tahu tenyang zaman sekarang. Ada kawan-kawan kita yang ahli ini-itu, yang banyak tahu tentang hukum alam, tetapi hampir tidak tahu tentang hukum masyarakat. Ada lagi kawan seniman yang pandai mencerita raja, tetapi tidak pandai mencerita kaum imperialis dan tuan tanah” (Njoto, Harian Rakjat, 7 Februari 1959)

Bagi Lekra, pekerjaan kebudayaan rakyat bukanlah seniman dan ilmuan yang mengisolasi diri dari rakyat dan tak acuh pada persoalan hidup mereka. Lekra bukan tempat bagi kaum seniman dan selebritas yang suka berkenes-kenes. Sebagai organisasi, Lekra adalah organisasi dari suatu gerakan kebudayaan. Lekra tak ingin kehidupan kebudayaan dikuasai oleh kaum priyayi kota dan desa, yang secara tidak sadar menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan sisa-sia feodalis pribumi.

Dalam delapan tahun pertama, Lekra sibuk memasyarakatkan diri. Mengembangkan sayap organisasi di seluruh tanah air, sambil mendakwahkan ideologi dan politiknya untuk mencapai amanat Revolusi Agustus 1945. Kegiatan itu diterjemahkan melalui berbagai penciptaan karya seni dan ilmu. Misalnya pembentukan grup paduan suara dan kroncong yang menampilkan lagu-lagu kemerdekaan dan lagu rakyat daerah. Lekra juga menggalakan seni pertunjukan rakyat seperti ludruk, ketoprak dan lenong.

Seniman-seniman Lekra juga turut mengkritik Sukarno. Lembaga tari menciptakan tari “Enam-Empat” yang melukiskan aksi kaum tani menuntut bagi hasil yang layak bagi tuan tanah. Lalu menggubah tari “Menjala Ikan” yang melukiskan ketidak berdayaan nelayan dan buruh menghadapi tengkulak dan tuan ikan.

Lalu lembaga Seni Rupa juga turut melukiskan membubungnya harga kebutuhan pokok, lalu ada pula seniman lain yang mengubah langgam kroncong, mereka mengkritik pala pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Di Lembaga Seni Drama juga para seniman Lekra banyak mengubah cerita dalam lakon, dari tradisional menjadi progresif revolusioner.

Di Yogya, jika orang mengatakan “melihat Lekra” itu berarti mereka sedang melihat pertunjukan gratis di panggung terbuka. Sedangkan di desa-desa jawa tengah orang mengatakan “melihat dalang Lekra” itu artinya mereka menyaksikan pagelaran wayang yang dalangnya runtut dan lakonnya berisi kritik tajam tapi kocak dengan memperkenalkan banyak gending baru.

Pada masanya, Lekra memang menjadi magnet bagi para seniman. Lekra menyedot perhatian para seniman muda, memberi pengaruh dan menguasai panggung kesenian. Lekra juga menawarkan kesempatan belajar bagi seniman muda. Terlebih seni rupa yang kala itu sedang naik daun. Terdapat beberapa nama seniman besar seperti Affandi, Hendra Gunawan dan Sudjojono yang sering menggelar pameran yang di usung oleh Lekra.

Dari aspek kesusastraan, sekian banyak karya sastra yang dihasilkan oleh seniman Lekra, puisi menjadi karya sastra yang paling banyak dihasilkan seniman lekra dan mendapat tempat. Dalam rapat-rapat akbar selalu ada pembacaan puisi. Lomba yang diadakan Harian Rakjat (salah satu media masa yang berhaluan kiri) juga lebih banyak menyoroti kategori puisi. Agaknya, puisi pada masa itu menjadi alat yang paling ampuh dalam menyampaikan gagasan dan Ideologi Lekra.

Padahal prosa tak kurang gemilang. Novel dan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer adalah rekaman sejarah yang kuat, baik struktur maupun alur cerita. Lalu ada pula Ira Iramanto atau Oey Hay Djoen dengan diksinya yang kuat sebagai pentolan dari prosais kenamaan Lekra.

Keith Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts (1986) menyebut Amrazan Ismail Hamid sebagai penyair paling menonjol di Lekra karena eksplorasi bentuk dan bahasa syair-syairnya. Puisi bebasnya berupa balada yang tak selalu patuh pada rima di tiap stanza, tapi memainkan bunyi kata pada satu pokok pikiran dalam kalimat –satu corak yang masih dipakai penyair hingga kini. Lalu adalagi Sutikno W.S, Agam Wispi, dan Putu Oka Sukanta yang masih menonjol dalam segi estetik puitika.

Para seniman kala itu pula tergiur dengan ideologi (relisme sosialis) yang mengusung kredo kerakyatan, semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan neokolonialisme. Selain berkarya atas nama seni kerakyatan para seniman juga rutin turun ke bawah (turba) bersama buruh dan tani.

Di Jawa tengah Lekra mengadakan gerakan pemberantasan buta huruf sebagai gabungan dari aktivitas kebudayaan dan penyadaran politik. Gerakan itu dipimpin Hesri Seriawan –Sekertaris Umum Lekra di Yogyakarta dan Jawa Tengah – ia menyusun diktat “Pemberantasan Buta Huruf” yang merupakan upaya penyadaran rakyat tentang kemiskinan dan sebab-musababnya dengan pendekatan kebudayaan seperti tembang, tari dan pendalangan.

Para seniman Lekra yang tersebar di seluruh nusantara pun sering sekali mengadakan pementasan dan pertunjukan. Dana yang mereka keluarkan didapat dari hasil kolektivitas anggotanya. Mereka berpikir seni adalah perjuangan, untuk menghidupi cabang atau ranting meraka biasa mengandalkan donatur dan iuran anggota. Tak jarang dari seniman Lekra tak dibayar.

Meskipun demikian, Lekra tidak begitu saja diterima dengan lapang, banyak kritikus yang mengkritik karena mereka (para seniman Lekra) tidak memisahkan antara dunia artistik dari dunia politik. Namun hal itu dibantah oleh Njoto. Ia menyebutkan Lekra menolak kritik yang menyebutkan banyak karya seniman Lekra gagal secara artistik karena menolak memisahkan politik dan seni, karena: Politik bagi Lekra adalah basis kebudayaan, maka berpolitik itu penting.


Lekra dan PKI

Lekra begitu sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dari segi ideologi dan prinsip kerakyatan mereka. Belum lagi hal itu seperti di aminkan dalam pidato Ketua Central Comite PKI –D.N Aidit - di Istana Negara pada 27 Agustus 1964 dalam pembukaan Konferensi Nasional Sastra dan Seni revolusioner. Pidato itu berbunyi : “Pendirian Lekra menunjukan dimulainya secara sadar PKI mengibarkan panji-panji seni untuk seni dan seni untuk revolusioner seperti gagasan Bung Karno.”

Pernyataan dari ketua PKI sekaligus salah satu pendiri Lekra itu terkesan sepihak. Anggota seniman Lekra beranggapan bahwa Aidit menggelar konferensi itu untuk menegaskan bahwa PKI didukung para seniman dan sekaligus untuk mengukur apakah para seniam Lekra berada di belakang PKI. Adanya konferensi ini juga Aidit tidak terang-terangan memakai Lekra untuk menyelenggarakannya, hal itu diyakini karena ia memeliki perseteruan diam-diam dengan Njoto –pendiri Lekra yang menjadi Wakil ketua CC PKI.

Di lekra, sosok Njoto amat disegani karena kemampuan orasi dan pengetahuan yang luas tentang kesenian. Ia juga menjadi konseptor dan penulis pidato Presiden Sukarno. Ketekatan Njoto dengan Sukarno inilah yang membuat Aidit cemas, ia beranggapan Presiden bersekutu dengannya lalu membawa gerbong seniman Lekra. Sebab, Njoto menolak tegas peleburan Lekra ke dalam PKI. Pertimbangan Nyoto Praktis saja, di Lekra bergabung juga seniman nonkomunis yang bukan anggota partai, seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy tatang Sotani dan lainnya. Menurut Njoto membuat Lekra menjadi organ resmi partai hanya akan mendorong seniman-seniman terkenal dan berpengaruh itu hengkang.

Dalam pandangan Aidit, PKI membutuhkan organisasi resmi seniman sebagai motor pendulang suara. Maklum saja, adanya Lekra di daerah-daerah kecamatan dan pelosok mampu membuat anggota partai bertambah. Jumlah anggota PKI dari delapan ribu anggota pada 1955 menjadi tiga juta sepuluh tahun kemudian, Itu baru representasi ideologi yang sama antara Lekra dan PKI, bagaimana jika Lekra tergabung dalam PKI, pikir Aidit.

Agak sulit mencari bukti bahwa Lekra adalah organ resmi PKI. Joebaar Ajoeb, Sekertaris Umum Lekra yang kedua, menyatakan dalam “Mocopat Kbudayaan” yang ditulisnya, bahwa organisasi ini bersifat terbuka, anggotanya bisa siapa saja, bukan hanya seniman yang aktif di partai, bahkan yang tidak mendukung komunismepun boleh. Kewajiban anggotanya hanya satu, yakni aktif di salah satu lembaga seni Lekra. Sementara PKI memiliki Kongres, Lekra juga menggelar Kongres dan punya anggaran dasar sendiri dengan menegaskan tak ada kaitan formal dengan PKI.

Popularitas Lekra yang luas itu membuat Aidit tertarik melegalkannya di bawah partai. Kerena itu Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner dibuat oleh PKI, dan Aidit pun merumuskan “sastra dan seni revolusioner harus mengakui dan menaati pimpinan partai”. Inilah yang menjadi pembeda PKI dan Lekra.  

Waktu itu telepon kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta Pusat, meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. D.N Aidit, Ketua CC PKI, mencari orang yang bertanggung jawab atas seleksi puisi di HR Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan Harian Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan –anggota Lekra- redaktur yang memang ditugasi menyeleksi kiriman puisi.

"Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?" terdengar Aidit di seberang telepon.
"Sudah."
"Jadi, dimuat dalam edisi besok?"
Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, "Tidak."
"Maksudnya?"
"Ya, tidak dimuat"
"Mengapa tidak dimuat?"
"Menurut saya, belum layak dimuat." Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.

Amarzan, ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali berdering, masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya apakah benar Amarzan menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan membenarkan.

"Bung yakin akan pendapat Bung?" Njoto bertanya.
"Yakin."
"Tak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?"
"Tidak."
"Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung."

Meskipun begitu ceritanya tapi tidak sedikit yang mengganggap Lekra sama dengan PKI. Hingga pada akhirnya, saat salah satu pendirinya –D.N Aidit - gagal untuk mem-PKI-kan Lekra. Lekra justru di PKI kan oleh di zaman Soeharto. Seniman Lekra disamakan dengan aktivis dan para petinggi PKI, sebagai dalih yang dipakai Soeharto untuk menumpas Komunis hingga akar-akarnya.


Kronik singkat Lembaga Kebudayaan Rakyat  1950-1965

17 Agustus 1950 Lekra berdiri.
6 Oktober 1951 di kongres kebudayaan di Bandung. Lekra mencetuskan konsepsi Kebudayaan Rakyat. Isinya: perjuangan kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkah dari perjuangan rakyat, yaitu kelas buruh dan tani.
28 Oktober 1957 Kongres nasional pertama di Solo. Lekra memperkuat struktur organisasi. Pandangan baru dalam konferensi disahkan menjadi perubahan mukadimah Lekra.
28 Januari 1959 Rapat Pleno I. Menyusun kepengurusan Sekertariat pemimpin pusat den menyerahkan tugas yang paling mendesak: mendirikan lembaga-lembaga kreatif.
31 Agustus 1960 Rapat pleno II. Menegaskan kembali kebulatan tekad untuk melaksanakan mukadimah.
Juli 1961 Sidang Pleno Pimpinan Pusat menyapakati “Politik Sebagai Panglima” sebagai asas kerja kreatif bersama dengan lima tuntutan lain yang kemudian menjadi prinsip 1-5-1
25 Februari 1962 Konfrensi Nasional II memunculkan resolusi yang mendukung amanat Presiden bertajuk “tavip” yang meneruskan pemboikotan total film-film imperialis dan perlawanan terhadap Amarika di Asia Tenggara.
Sepanjang 1964 Pimpinan Pusat PKI berusaha mem-PKI-kan Lekra. Namun upaya itu ditolak mentah-mentah anggota Lekra, salah satunya Njoto.
2 September 1964 PKI menggelak koferensi sastra dan seni revolusioner. Langkah ini diambil setelah gagal menggaet Lekra menjadi underbouw PKI
1 Oktober 1965 Setelah peristiwa G30S, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan. Lekra yang dinggap sebagai underbouw PKI terkena imbasnya. Pelaku kebudayaan Lekra (seniman dari berbagai lembaga) ditangkap, disiksa, serta dijebloskan dipenjara.
30 November 1965 Pemerintah melarang peredaran karya-karya Lekra dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1381 tahun 1965. Mereka dilarang menulis dan berkarya.


Daftar Pustaka.
Seri Buku Tempo. AIDIT Dua Wajah Dipa Nusantara. (KPG. 2014)
Seri Buku Tempo. LEKRA dan geger 1965. (KPG. 2014)
Seri Buku Tempo. NJOTO Peniup Saksofon di Tengah Prahara. (KPG. 2014)
Supartono Alexander. Lekra vs Manikebu. (STF Driyakarya. 2000)


*Makalah ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" jilid 2 dalam diskusi perihal LEKRA & Manifes Kebudayaan. Akhir Desember 2015.


Jakarta, Desember 2015

Sukarno : Sosok Negarawan berdarah Seniman

Sukarno : Sosok Negarawan berdarah Seniman
(selamat ulang tahun, Bung!)


Bicara perihal Sukarno, mungkin kebanyakan orang sudah tak lagi asing mendengar nama beliau. Putra bangsa kelahiran Blitar 6 Juni 1901 memang sudah menjadi magnet bagi bangsa Indonesia. Siapa yang tak mengenal Sang Proklamator ulung sekaligus Presiden peertama Republik Indonesia? Ya, dialah Sukarno, manusia yang (sepertinya) tak hanya direstui oleh manusia, bumi pun sepertinya sudah merestui kehadirannya dari tanda-tanda kelahiranya.

Sejak bayi, ia lahir menjelang matahari merekah karena itu ia disebut pula Putra Sang Fajar. Koesno Sosrodiharjo adalah nama pemberian kedua orang tuanya sebelum menjadi Sukarno. Iapun dilahirkan tahun 1901 (Abad 19 disaat peradaban gelab masih menyelimuti bangsa kita) ia terbilang sebagai putra perintis abad. Kelahirannya pun diyakini oleh sang Ibunda –Ida Ayu Nyoman Rai –bakal menjadi penerang bagi bangsanya, ditambah letusan Gunung Kelud yang terjdi kala Sukarno lahir[1], makin menguatkan pertanda alam menyambut kehadirannya diatas jagad raya.

Sukarno berasal dari keluarga priyayi Ibunya kelahiran Bali yang berkasta Brahmana dangan kata lain Ibunda Sukarno adalah seorang bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibunya. Sedangkan Ayahnya berasal dari ningrat Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo yang masih keturunan sultan Kediri.[2]

Dalam bidang pendidikan Sukarno pun termasuk dalam kalangan atas masyarakat pada masa Hindia Belanda, ia mendapat pendidikan di ELS (Sekolah Dasar Belanda), HBS (Sekolah Menengah Belanda) dan HIS (yang kini menjadi ITB). Dari sinilah Sukarno memulai karier politiknya, menjadi salah satu para pemimpin pergerakan nasional hingga menjadi seorang Presiden Republik Indonesia. Begitulah keistimewaan Sukarno dimasanya, yang hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia mendapatkannya. Namun tulisan ini bukanlah untuk membahas karier beliau di dunia politik, rasa-rasanya itu sudah terlalu banyak dan tentu saja sudah jauh lebih lengkap tulisan perihal beliau.

Saya melihat ada sisi meenarik dalam diri Sukarno, yakni ia tidak hanya memiliki keistimewaan dibidang politik kenegaraan, ia pun memiliki keistimewaan lain dibidang seni.

Ada satu kisah perjalanan sejarah yang menarik dari sekian banyak kisah panjang sejarah tentang Sukarno kata Guruh Sukarno Putra (2006). Kisah yang dimaksud adalah gagasan kreatif yang tercipta (penciptaan kelompok teater) ketika Sukarno dalam masa interniran (masa pengasingan) di Ende 1934-1938 hingga menyambung ke Bengkulu 1938-1942. Gagasan kreatif itu pun turut berimplikasi dalam mengobarkan semangat perjuangan –nasionalisme, Melalui sebuah kelompok sandiwara (Teater) yang di Ende bernama Kelimutu, dan yang di Bengkulu bernama Monte Carlo.

Tidak hanya membuat kelompok Sandiwara (Teater) Sukarno pun turut menulis naskah sandiwara. Perlu diketahui, bahwa jumlah naskan yang ditulis oleh Bung karno semasa pengasingan di Ende (1934-1938) tercatat sebanyak dua belas judul (Cindy Adams, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Hlm 175). Kedua belas judul naskah yang tercatat antara lain: Dr. Sjaitan; Ero Dinamik; Rahasia Kilimoetoe; Tahoen 1945; Don Luis Pereira; Keotkoetbi; Toberro, dan Kummi Torro?. Kemudian semasa pengasingan di Bengkulu (1938-1942) Bung Karno juga menulis beberapa naskah, antara lain; Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Hantoe Goenoeng Boengkoek; Si Ketjil (Klein’duimpje), dan Chungking Djakarta[3].

Sayangnya dari sekian banyak naskah tersebut yang masih tersisa hanya ada empat buah naskah, yaitu: Dr. Sjaitan; Chungking Djakarta; Koetkoetbi, dan Rainbow (Poetri Kentjana Boelan). Bahkan teks naskah Dr. Sjaitan sudah tak lengkap –hanya ada dua babak saja –semestinya, lengkapnya terdiri dari enam babak.

Naskah sandiwara karya Sukarno berbentuk tulisan tangan beliau dengan kertas tulis ukuran folio yang masih disimpan oleh pihak Yayasan Bung Karno. Bahasa dan ejaan yang digunakan pada naskah tersebut sepenuhnya ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin melayu[4].

Drama (sandiwara) adalah karya sastra dialogis, karya tidak turun begitu saja dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama tak lepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detail atau tidak, dia dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif[5]. Itulah yang terdapat dari sebagian besar naskah sandiwara yang dibuat oleh Sukarno. Sebagai representatif dan interpretasi kehidupan.

Dalam naskah Rainbow , selain membawa pesan moral dalam membangun semangat patriotik –berjiwa ksatria, lebih banyak memberikan pengajaran arti pentingnya sebuah kesadaran sejarah sebagai entitas –bagian yang tak terpisahkan dalam kebudayaan masyarakatnya. Pesan moral Sukarno tentang arti pentingnya kesadaran sejarah diperjelas pada selembaran pamflet sebelum pementasan Rainbow. Bahkan dalam pamflet tersebut diterangkan tahun-tahun peristiwa sejarah Bengkulu (baca: pamflet Bung Karno tentang Rainbow)

Sepertinya Sukarno sangat sadar bahwa bangsa Indonesia perlu mempelajari sejarah agar memiliki masa depan. Melalui keistimewaan dibidang seni inilah ia mempresentasikan tentang Historia Vitae Magistra (sejarah adalah guru kehidupan) dalam naskah dramanya yang berjudul Rainbow (Poetri Kentjana Boelan).

Mungkin masih banyak penjabaran tentang keistimewaan Sukarno lainnya, sejarah mungkin lebih banyak mencatat tentang kegarangannya di dunia politik dan kenegaraannya, ideologi dan pemikiran-pemikiran, namun dalam hemat saya Sukarno bukanlah hanya tentang itu saja, ia juga seniman, seniman yang cermat membaca kehidupan disekitarnya. Bacaan itu ialah tafsir dan ditelurkan ke dalam karya sastra berupa naskah yang ia buat. Dengan kata lain Sukarno adalah sosok negarawan yang mengalir darah seorang seniman dalam dirinya.

Dialah Soekarno, sekelumit tulisan ini adalah persembahan pada hari senin, enam juni 2016 bertepatan pada hari kelahiran putra sang fajar ke 115nya. Sebagai wujud hormat kepada sosok pemimipin yang tak terlupakan : Sukarno.





[1] Roro Daras. Soekarno, the other stories. (Jakarta, pustaka media mulia 2009)
[2] Seri Buku Tempo. SUKARNO Paradoks Revolusi Indonesia. (Jakarta, KPG 2010)
[3] Agus Setiyanto. Bung Karno: Maestro Monte Carlo (Yogyakarta, Penerbit Ombak 2006)
[4] Ibid, hlm 3
[5] Suwardi Endraswara. Metode Pembelajaran Drama. (Yogyakarta, Caps 2011)