Perihal Budaya Populer, Semacam
Penghantar*
I
Kalau seni rakyat muncul dan
bertahan karena kehendak rakyat (dengan tradisinya), seni kerakyatan karena
kehendak bangsa (dengan ideologi kerakyatan), seni populer lahir dan bertahan
karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.
Akhir-akhir
ini, memang kajian tentang populer (entah dari aspek seni maupun budaya) memang
menjadi perhatian yang serius. Barangkali karena hal berikut sedang
jaya-jayanya –tengah berlalu dan kita alami sekarang. Kajian tentang budaya
populer pun bukan main banyaknya, banyak sekali aspek-aspek yang mempengaruhi
bagaimana ‘Populer’ itu terbentuk dan hadir ditengah-tengah kita.
Dalam
hal ini, peranan yang paling krusial tentu saja ada pada media. Perkembangan media
dalam bentuknya seperti kita alami sekarang telah menempatkan hubungan antara
manusia dan media menjadi kompleks. Akibatnya, kita tidak lagi bicara fungsi
media untuk mengungkapakan gagasan dan perasaan manusia namun juga media yang
mengatur gagasan dan menata perasaan manusia. St Sunadi mengungkapakan bahwa
kita mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media, entah mau atau tidak,
suka atau tidak. Ditambah dengan pernyataan McLuhan bahwasanya kita ditempatkan
dalam sebuah taman massif yang sudah kehilangan kohesi sosial dan ideologi.
Seorang
pemikir Prancis juga menaruh perhatian dalam hal ini (red: Baudrillard), ia
menyatakan bahwa media massa telah menyatukan manusia kemudian membiarkannya
meledak ke dalam: batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi, kelas, cair
luluh begitu saja. Yang tinggal hanya satu: massa dengan ketidakpastian ini
muncul karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan
pasti luluh, batas-batas baru sangat bergantung pada bagaimana kelompok sosial
dihadirkan dalam media. Hingga pada suatu kesimpulan yang dikemukanan oleh
Ziqmunt Bauman: “Orang lain tidak berdiri sebagai sesama maupun orang asing
melainkan orang yang tidak diundang. Mereka berada disatu tempat tetapi tidak
kenal. Mereka satu rasa, namun abai akan sesama.”
Barangkali
uraian-uraian perihal media yang saya kemukan di atas tentu sudah menjadi sedikit
penghantar sebelum kita menaruh perhatian kita ke hal lain yang turut berpengaruh
dalam kajian ini selain media. Hal inilah yang anak menjadi perhatian kedua,
perihal siapa yang berperan dalam media? Dan apa yang membuat populer
sedemikian terlihat lalim?
Oia
sebelum pada paragraf awal saya telah memberikan wacana diatasnya, berikut – seni
populer lahir dan bertahan karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme)
dan konsumsi.
II
Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi
massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu
massif konsumsi.
Dalam
hal ini perhatian awal saya, adalah perihal pengalaman populer yang terkait
dengan konsumsi. Dengan kata lain, media menciptakan populer dengan mengonsumsi
barang-barang komoditi. Dan tentu saja ini bagian dari kapitalis konsumsi. Populer
yang akan ditekankan adalah populer yang lahir lewat cara orang-orang zaman
sekarang mengonsumsi barang-barang.
Dengan
kata lain, terjadilah penyeragaman rasa. Baik dalam barang-barang yang bersifat
nyata maupun tidak nyata, barang fisik maupun ilmu. Contoh yang paling mencolok
adalah konsumsi mie instan yang barangkali sudah menjadi makanan nasional,
malahan internasional. Dalam hal ini masyarakat seperti sudah tergeneralisasi. Namun,
hal ini (penyeragaman yang dimaksud) tidak hanya menyangkut indra perasa
(lidah) namun juga indera-indera lainnya seperti pendengaran, penglihatan dan
penciuman. Jadi ada penyeragaman pada level estetis maupun level pengalaman
indrawi.
Dalam
hal sastra tentu kita tahu bagaimana suatu karya menjadi kanon, dalam hal ini
kasusnya adalah novel “Saman” karya Ayu Utami yang bukan main meledaknya pada
awal tahun 2000an, namun hal itu tidak berlanjut dalam novel lanjutnya (red:
Larung), apakah ada yang salah dari Larung sehingga tidak semeriah Saman? Entahlah.
Mungkin dalam masa sekarang kita
mengenal tokoh sekaliber Aan Mansyur maupun Eka Kurniawan, yang rasa-rasanya
karya-karya mereka sudah menjadi karya wajib pada era sekarang ini. Tentu saja
hal ini turut memumculkan pertanyaan, apakah mereka dikanonkan? Siapakah yang
berperan? Ataukah memang selera sastra kita yang sedemikian sama? Mungkin itu
pertanyaan yang mungkin bisa dijawab dengan kajian yang lebih mendalam, ataupun
bisa kita lihat gejala berikut di tahun-tahun mendatang.
Lalu
dalam musik, sepertinya kitapun mengalaminya sendiri bagaimana musik pop hadir
menjadi konsumsi massif, lalu berganti menjadi pop melayu dan seterusnya dan seterusnya.
Selera dibuatnya meledak dalam satu titik, lalu berubah lagi, lalu berhenti
lagi pada suatu titik lagi dan meledak lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam
hal ini (saya secera sinisme memandang) massifikasi dan penyeragaman konsumsi
tersebut merupakan bagian dari kehendak kapital (baik nasional maupun global)
agar beranak pinak sehingga kapital itu semakain membengkak. Dengan demikian
masyarakat seakan sudah ‘Terkutuk’ untuk menjadi massal satu rasa.
III
Penekanan pada Gaya dengan mengorbankan Substansi
Dalam
hal ini rasa-rasanya tidak adil juga jika kita menitikberatkan hanya kesalahan
peran media serta kaum kapitalis. Pembahasan secara menyeluruh dan lebih
lengkap mungkin telah diungkap oleh Baudrillard dalam karyanya (red: Masyarakat
Konsumsi).
Dalam
karyanya itu beliau menulis begini, “Sekarang adalah era di mana orang membeli barang bukan karena
nilai kemanfaatanya namun karena gaya (hidup), demi subah citra yang diarahkan
dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi
tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang kompetisi para calon
bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna
suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting, apakah barang
itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang
kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak
perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan. Kita
lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah.
Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidak puasan. Kita menjadi
teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan
kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekuarangan, seakan-akan makmur
padahal miskin.”
Dari
penjabaran diatas, tentu saja kita akhirnya sampai pada kesimpulan begini, peran
dari media dan kaum-kaum kapital hanya sebatas menjadi pemantik saja, justru
masyarakatlah (sebagai kaum konsumsi) yang menentukan bagaimana hal ini dapat
terwujud.
Mengamini
pendapat Baudrillard, D. Harvey juga mengatakan “Kita semakin sering
mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannnya ‘manfaat’nya atau
nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Kita menonsumsi citra
dan tanda itu karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan
tentang nilai dan kegunaan.”
Harvey
pun meneruskan, bahwa hal ini tampak nyata dalam budaya populer itu sendiri di
aman permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat main-main dan senda gurau,
dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi, substansi, dan makna. Sebagai akibatnya
sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integeritas, keseriusan, autentisitas,
relisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat condong diabaikan.
Sepertinya
ini sudah menjadi gejala umum, strategi penyeragaman ini memang bukan main
gilanya. Dan bahkan sudah menembus sampai bagian-bagian terdalam. Manusia bukan
main diperlihatan kebodohnya, mereka terus menerus di eksploitasi tanpa henti
dengan kesadaran palsu akan citra, kebanggan, nilai estetis secara terus
menerus.
Apakah
hal ini sudah menjadi hukum alam dan tidak dapat terelakkan? Tentu saja ada,
mereka yang sadar tentu tidak masuk kedalam lingkaran ini, mereka bahkan
menolak, orang-orang itu lebih memilih tidak membaca koran atau tidak menonton
televisi. Namun hal ini bukan menjadi jalan keluar, karena tema dan cara bicara
masyarakat sehari-hari sudah ditentukan oleh media.
Lantas,
apakah tidak ada alternatif lain? Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar dalam
kajian ini. Dan tentu sebagai pemantik jalannya diskusi kita sekarang ini.
Daftar Pustaka.
Domininc Striani. Popular Culture: Penghantar Menuju Teori
Budaya Populer. (JEJAK. 2007)
Jean
P. Baudrilliard. Masyarakat Konsumsi.
(Kreasi Wacana. 2004)
* esai ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" dalam diskusi dengan tema 'Mengonsumsi Budaya Populer' pada 17 Juni 2016