Sabtu, 23 Maret 2013

Menulis, Seriuslah !


Menulis, Seriuslah !


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  (Pramoedya Ananta Toer : Rumah Kaca)

   Saya sempat terdiam dan berpikir setelah membaca kalimat di atas ternyata benar pernyataan dari Pram –sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer –  ketika jiwa dan raganya telah pergi meninggalkan dunia pada 30 april 2006 nama Pram pun masih ada dan terus hidup di dalam karya-karyanya. Berbagai penghargaan pun telah ia raih karena karya-karyanya itu, dan sampai saat ini pengagum karya dari pram sendiri pun tak pernah habis dimakan usia.

   Dalam pernyataan diatas sang nominator peraih nobel sastra itu pun mengemukakan sangat pentingnya menulis dan dampak buruk akibat tidak menulis, tetapi dewasa ini jarang sekali dari kita yang menyadari pentingnya menulis, kita lebih berpikir menulis itu adalah pekerjaan yang buang-buang waktu dan tidak menghasilkan apa-apa semoga pikiran itu tidak ada pada mahasiswa jurusan sastra, memang pada hakikatnya menulis itu bukanlah sebuah cara untuk mendapatkan uang Pram pun berpendapat "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) tampaknya Pram sangat mengecam itu, misalnya kita hanya mau menulis jika karena ada tugas saja, ada lomba dan mengharap hadiah saja, bukankan itu tidak ada sangkut pautnya dengan kata hati?  Sepertinya kita harus tahu bahwa menulis adalah sebuah cara untuk menyampaikan sebuah pesan. Para penyair menulis puisi dan sajak karena ada makna dan pesan yang ia sampaikan bukan hanya memamerkan keindahan kata-kata semata, lalu para sastrawan mereka menulis cerpen, novel, roman serta naskah drama karena ada tujuan yaitu sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Bukan untuk komersil dan kepentingan lain.

  Sebelum menulis ada baiknya kita perlu membaca terlebih dahulu, kita tidak mungkin tahu cara menulis puisi tanpa pernah membaca sebuah buku kumpulan puisi, kita pun takkan pernah tahu cara menulis cerpen bila kita tidak pernah membaca buku kumpulan cerpen begitupun seterusnya. Dari membaca kita bisa dapat mengetahui struktur dari sebuah puisi, cerpen dan yang lainya, kita juga bisa tahu dengan apa para penyair dan sastrawan menyampaikan pesan dari tiap tulisannya dan mungkin kita bisa menirukannya untuk memulai menulis kreatif kita.

  Yang menjadi pertanyaan apakah yang membuat seseorang ingin menulis? Dan masalahnya banyak sekali seorang yang telah memiliki semangat untuk menulis  tetapi mudah pula patah semangatnya.

  Saya pernah menghadiri sebuah forum diskusi antar-komunitas sastra di Cianjur yang membicarakan tentang masalah menulis kreatif, memang banyak sekali teori yang dijabarkan dan saya tidak bisa memaparkanya. Memang teori-teori itu sangat penting tetapi jika berbicara teori terus-menerus kapan kita mau memulai praktik untuk menulis? Lagipula apa artinya jika seorang dengan segudang teori tetapi miskin praktik?

   Dalam forum itu dapat saya tangkap dari jawaban mereka bahwa yang pertama adalah niat, seorang yang sudah niat untuk menulis pasti akan menulis tanpa memikirkan bagus atau tidak tulisan itu, mungkin karena ia telah membaca sebuah karya yang membuatnya terkagum dan berniat ingin menirukan penulisnya dengan menulis pula. Yang kedua tulislah apa yang ada di sekitar terlebih dahulu, yang sering kita lihat, alami dan rasakan misalnya hujan, tulislah tentang hujan yang sejujurnya dan jangan terlalu jauh karena banyak sekali penulis yang kadang menulis terlalu jauh (banyak dalam puisi) contonya “kau seperti kopi yang kunikmati saat senja di Paris” padahal si penulis tak pernah ke paris. Yang ketiga adalah yang saya garis bawahi yaitu keseriusan dalam menulis karena banyak dari penulis muda (baru) khususnya, yang pada awalnya giat menulis tetapi ketika mendapat kritik dan hinaan langsunglah menurun semangatnya. Saya memang berpendapat jika penulis yang baru mulai untuk menulis sangat membutuhkan motivasi lebih untuk memperbaiki tulisanya bukan cercaan yang membuat mereka down tetapi pendapat saya langsung terbantah disini, mereka berpendapat seseorang yang sudah menulis berarti telah serius untuk menulis, karena seseorang yang telah serius pasti akan lebih bersemangat bila mendapat kritik dan hinaan, ia akan lebih termotivasi agar karnyanya tidak diremehkan lagi oleh orang yang telah menghina karyanya.

   Saya pun langsung menghancurkan pendapat saya yang tadi, memang jika seseorang yang telah serius untuk menulis pasti kritik setajam apapun akan berubah menjadi motivasi untuknya, menjadi senjata untuk menulis lebih bagus lagi dan berusaha memperbaikinya.

    Maka untuk para penulis muda (baru) janganlah sungkan untuk membagikan karyanya kepada orang lain yang lebih dahulu menulis, lebih tahu kelemahan dan kelebihan tulisan karena kita tidak dapat menilai tulisan kita sendiri. Biarpun karya kita telah dibakar, disobek ataupun di jadikan asbak buatlah itu sebagai motivasi , jika kita telah serius apapun yang menjadi penghambat keseriusan kita pasti akan terlewat.

  Dan saya hanya bisa berpesan : menulislah, jadikanlah itu sebagai pengungkapan perasaan yang seringkali tidak dapat tersampaikan oleh lisan, mengaranglah dengan cerita-ceritamu karena serorang R.A Kartini pun berpendapat “mengarang adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa) dan seriuslah, jika kita telah siap memulai untuk menulis kita pun sudah siap menerima berbagai serangan dari para penulis yang telah menulis lebih dulu sebelum kita.

  Semoga dengan tulisan yang kita tulis masyarakat dan sejarah takkan pernah melupakan dan menghilangkan kita walau waktu kita untuk menulis telahlah selesai.


Dos “Boim” Santos
Jakarta, 18.03.13

Selasa, 19 Maret 2013

Kepada Hari Ini (19 maret)


Kepada Hari Ini
 untuk S.S , F.S , dan T.H 

hari terlewat tanpa bisa tertebak
empat orang bocah bermain tanpa batas
mereka bermain dengan sebuah cita-cita
bersuara dengan lantang
dan berharap bukan hanya angin yang mendengar

hari terlewat tanpa bisa tertebak
empat bocah itu pun harus terpisah
ketika arah memanggil salah satu dari mereka
tanpa putus asa
mereka kembali bermain bersama cita-cita

hari terlewat tanpa bisa tertebak
tiga bocah itu telah termakan banyak waktu
hingga pada suatu saat
arah kembali memisahkan mereka
cita-cita yang selama ini setia 
tak tampak mengiringi perpisahan mereka

hari terlewat tanpa bisa tertebak
seorang bocah kembali tampak bersama cita-cita
bermain seorang diri 
sambil menunggu arah
yang tak tahu kapan kan mengembalikannya
kepada tiga kawannya

dan kembali bercerita
tentang cita-cita

Jakarta, 19.03.13
Dos "Boim" Santos

Minggu, 10 Maret 2013

Soal hak-hak Seniman yang Belum Terjawab


Soal hak-hak Seniman yang belum terjawab


  Saya menghadiri forum setelah saya baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan teater, dimana terdapat tiga orang yang menjadi pembicara pada forum tersebut. Salah seorang diantaranya adalah wakil rakyat dimana ia menduduki kursi DPRD sekaligus pemimpin sanggar tari di Jakarta timur, dan sisanya adalah pengurus TIM yang menjadi pembicara dan salah seorangnya lagi bertindak sebagai moderator.

  Mereka membuka forum dengan pembahasan hak-hak seniman. Ketika sang moderator menanyakan hal tersebut, seorang yang berpangkat sebagai wakil rakyat itu tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan, ia hanya menjawab bahwa seniman kita masih terhalang dengan regulasi kebudayaan yang belum  jelas dengan segala tetekbengek kebijakan. Ia pun menambahkan sebenarnya sudah ada peraturan SK tentang pelestarian budaya pada tahun 2010, di dalam SK itu terdapat beberapa point, yang pertama bagaimana pemerintah melindungi seniman, kedua  bagaimana pemerintah melestarikan kebudayaan dan seterusnya, tetapi SK itu pun tampaknya hanya sebuah omong kosong belaka tanpa bukti dan wacana tanpa realisasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada seorang dari pemerintah yang turun untuk melayani para seniman? sebutnya

  Tampaknya benar semua itu hanyalah sebuah rencana, baru rencana yang entah kapan akan terealisasikan. Berbicara mengenai proritas kebudayaan , kesenian dan bla bla bla.

  Saya pun kembali mendapatkan jawaban dari salah seorang yang menjabat sebagai salah seorang pengurus TIM, ia meminta maaf kepada komunitas Teater Kala yang baru saja menampilkan sebuah lakon, ia meminta maaf karena tidak diberikannya fasilitas yang baik ketika pementasan : selain tempat yang tidak layak untuk pementasan, lampu di TIM juga sempat mati. ia pun berkata sebenarnya hak dari seniman adalah sebuah fasilitas,tempat, dan wadah yang baik. sebagai seorang seniman kita memang berkewajiban untuk berkarya tapi kita pun memiliki hak , bukan terus menerus melakukan kewajiban tanpa menuntut hak.

  Dan saya berpikir apakah hak dari seniman hanya sebatas mendapatkan fasilitas yang baik saja? bukankan point- point diatas juga termasuk hak mereka?

  Dan sekarang yang menjadi pertanyaan apakah benar hak yang menjadi milik para seniman sudah diterima? Sedangkan fasilitas di sini (Jakarta) saya rasa masih bersifat komersil, karena banyak sekali seniman yang ingin sekali menggelar pertunjukan di GBB (Graha Bhakti Budaya) terpaksa harus menunda karena sewa yang harus dibayarkan untuk semalam sangatlah jauh melampaui harga jual mereka, bahkan penghasilan mereka dalam beberapa kali pentas mereka. Apakah selamanya fasilitas yang mewah hanya teruntuk seniman yang sudah memiliki harga jual yang tinggi?

  Apakah ada suatu kelas tertentu pada tiap seniman? Mungkin lebih tepat seniman yang telah lama ada, memiliki nama besar dan berpengalaman, tetapi pada hakikatnya setiap seniman itu sama rata, sama-sama patut berbangga menjadi seorang seniman, karena seniman berarti termasuk orang-orang yang kreatif, inovatif, serta mahir di bidang seni. Setiap seniman pun punya nilai tambah di dalam masyarakat.  lalu dimanakah hak mereka sebagai seorang seniman?

  Sebuah Dewan Kesenian dan Tempat dimana banyak orang mempertunjukan kesenian yang dinilai sebagai wadah para seniman pun tak mampu berbuat apa-apa. Mereka bilang ini arsip Negara yang harus dikelola, yang membutuhkan perombakan, perawatan dan lain-lain, tetapi apakah pantas caranya dengan memberikan harga sewa yang sangat tinggi untuk seniman yang ingin tampil? Seharusnya pengelola tahu dan memberikan sedikit kelonggaran harga sewa untuk para seniman yang ingin berkarya. Lalu dimanakah hak dari seniman bisa didapat?

  Apakah para seniman kita hanya bisa membiarkannya begitu saja, sepertinya sudah saatnya para seniman mengkritisi hal ini, kritisi disini bukan berarti tidak suka tetapi setiap seniman memang harus menjaga eksistensi seni dan karya yang sering teredam dengan kebijakan dan birokrasi. Kebijakan yang terus berubah-udah seiring bergantinya pemimpin. Kebijakan yang berisi janji-janji manis terhadap seniman tetapi hanya terwujud dalam bayangan semata, apakah setiap seniman hanya akan terus menunggu janji-janji manis itu?

  Memang kekuasaan yang menjadi penyebab utama disini. Setiap hadir pemimpin baru,  hadir pula kebijakan baru, begitupula masalah baru tanpa sempat menyelesaikan masalah yang dibawa oleh pemimpin yang lama.

  Tapi setidaknya kita masih memiliki kebebasan, kita masih bebas bersuara tidak seperti kisah El Espectador (sebuah harian) yang terjadi pada akhir abad 19 silam di Kolumbia. Mereka adalah surat kabar yang memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan negerinya, ketika itu pedalaman kolumbia memang jadi sarang obat bius bisnis yang mengasilkan miliaran dolar, tetapi menghancurkan manusia. El Espectador mencoba menyelidiki bagaimana jalinan hitam itu bekerja, alhasil banyak wartawan mereka yang terbunuh bahkan juga redakturnya, tetapi ada salah seorang dari mereka yang masih hidup, ia bernama Maria Jimena Duzan, ia terus bekerja ditengah teror. Karena apa? “Karena suatu masyarakat akan hancur sendi-sendinya bila sebuah kekuasaan bisa menggertak sampai semua orang ikut bungkam (berbohong) dengan apa yang sebenarnya” sebutnya, ia masih tetap melawan walau ujung bedil sudah siap menembus otaknya, ia ingin memberikan hak-hak masyarakat yang ingin mengetahui kondisi negerinya, ia ingin memberi informasi yang sebenar-benarnya walau jaraknya dengan kematian makin tipis.

  Begitu pula seniman kita, apakah akan terus tertahan dengan kekuasaan yang ada? apakah sendi-sendi seniman kita tidak sedikitpun merasakan sakit? Apakah seniman-seniman kita hanya bisa diam dengan kekuasaan yang tidak memberikan sedikitpun hak-hak yang sepatutnya menjadi miilk mereka.

  Tampaknya sudah saatnya para seniman memperjuangkan hal ini, saat ini kita tidak berada ditengah teror, kepala kita pun tidak akan tertembus peluru karena menyikapi hal tersebut. Apakah jutaan bahkan miliaran seniman kita tidak mampu mencontoh El Espectador yang semakin akrab dengan kematian dihari-harinya? Para seniman pun telah menjalankan kewajibannya dengan baik, berarti sudah sepatutnya para seniman menuntut hak-hak yang tidak diberikan.

  Apakah selamanya para seniman akan terus tertahan oleh kekuasaan? Dan hanya duduk tertib menunggu janji-janji dari para penguasa yang mungkin seperti menunggu hujan dibulan juni.


Dos “Boim” Santos
Jakarta, 10.03.13

Minggu, 03 Maret 2013

Percaya atau Kebodohan (essai)


Percaya atau Kebodohan ?

  Setiap manusia pasti memiliki kepercayaan, entah pada tuhan, pikiran, dan lain lain.
tapi dewasa ini manusia sering kali terjebak dengan pikirannya masing-masing, sekali lagi memang ilmu sebesar apapun kadang bisa luntur seketika dengan sebab percaya.
percaya memang penting tapi bila itu menjadi kenyataan pahit yang bodoh , apakah aka terus kita lakukan ?
  Mungkin cerita ini bisa kita temukan pada dunia politik, di mana ada dua orang sekawan yang saling kenal satu sama lain bisa dibilang sahabat, kedua sahabat itu masing-masing sudah mengenal baik dan buruk dari keduanya, sayang nasib keduanya tidak sama. Ketika itu salah seorang dari mereka menjadi pemimpin dari sebuah kelurahan dan dengan kebaikanya ia mengangkat sahabatnya itu menjadi wakilnya dengan bermodalkan kepercayaan, sungguh aneh bila dengan sebuah pikiran dan rasa bernama “percaya” seorang mampu menjadi tangan kanan sebuah pemimpin kelurahan tanpa skill dan kemaampuan. Lalu apakah pekerjaan sebagai petani akan berhasil bila dikerjaan seorang nelayan dengan berbekal pikiran dan rasa yang bernama percaya?
  Kembali kepada Humanisme, adakah seorang manusia yang tidak ingin memjadi raja di kalangannya? menjadi penguasa bagi kaumya? lalu memberikan perintah bagi bawahanya dan langsung dikerjakan ? lantas apa yang terjadi? Tampaknya tangan kanan sang pemimpin itupun lupa dengan ijazah “kepercayaan” yang membuatnya menjadi tinggi, dengan segala cara ia berusaha menjatuhkan kawanya itu demi singgasana yang setiap orang idamkan begitupun dia. Berhasilkah ia ? tentu saja ,bukankah kita sering kali mendengar pepatah “Musuh terbaik kita adalah sahabat kita sendiri” memang kenyataan, ia yang setiap kali ada disekeliling kita, mengetahui aib dan rahasia kita, ia pun tahu apa yang akan menjatuhkan kita dan tahu apa yang akan membuat kita kembali berdiri.
  Lalu ada cerita dari negeri dongeng, siapa yang tidak kenal dengan kisah Cinderella ? semua orang pasti kenal , mungkin pernah kita diceritakan ibu kita saat menjelang tidur, atau mungkin saat kita menonton di acara animasi dan kartun yang ada di televisi. Ia adalah seorang yang cantik kala zamannya itu dan tentu saja banyak yang ingin mengalahkan kecantikanya kala itu. Salah satunya adalah seorang nenek tua yang berperan sebagai nenek sihir dalam cerita itu, sekali lagi dengan bermodalkan “kepercayaan” sang Cinderella yang diberikan buah apel dari seorang nenek tanpa tahu asal usul nenek itu dengan jelas langsung menerima bahkan memakan apel pemberian nenek itu, yang ternyata di dalamnya telah diberikan racun yang seketika membunuhnya.
  Apakah kepercayaan selalu menjadi buah simalakama bagi pemiliknya ? dan bukankan tindakan yang merugukan bagi kita adalah sebuah tindakan bodoh ? lalu bagaimanakah kita menyikapinya ?
  Adalagi sebuah kisah cerita dari seorang kaya raya yang baik hati, saat itu ia bertemu dangan teman masa mudanya di SMA, ia bermaksud memberikan pekerjaan bagi temanya itu agar temannya itu bisa sama sukses seperti dirinya, tapi apakah kesuksesan mampu dibuat tanpa usaha dari setiap individu? Tanpa pikir panjang sang kaya raya yang baik hati itu memberikan modal kepada temanya yang miskin itu untuk menjalani usaha, menyewa beberapa pegawai dan kios untuk memulai usahanya. Memang ajaib sekali dunia ini dengan ijazah kepercayaan dalam satu hari seorang mampu menjadi seorang Bos mendadak. Niat untuk membatu memang sangat baik, tapi sepertinya banyak orang  salah dalam melakukan niatnya itu, dan kadang bukannya sebuah keuntungan malah sebaliknya yang ia dapatkan. Seharusnya ia tahu bagaimana mempekerjakan seorang yang berpangkat pelayan dan berpangkat sebagai bos, bukan langsung menjadikan seorang pelayan menjadi bos. ia percayakan hal yang seharusnya dikerjakan sorang ahli kepada seorang yang amatir, apakah bukan tindakan bodoh ? dan landasan dari tindakan bodoh itu jelas : sebuah kepercayaan.
  Apakah kita akan terus masuk sebuah perangkap kepercayaan ini terus menerus ? bukankah seseorang harus sudah tahu dan memilih mana yang harus dikerjakan seorang pegawai dan seorang pemimpin, seorang pelayan dan seorang akuntan, dan bersikap kepada seorang yang jahat dan seorang yang baik.
Akankah berhasil sebuah usaha jika dipimpin oleh seorang yang harusnya menjadi pegawai ?
Akankah beres pekerjaan penghitungan yang seharusnya dikerjakan seorang akuntan jika dikerjakan seorang pelayan ? apakah selamat jika kita menbaik-baikan seorang penjahat ?
  Apakah semua itu bukan suatu yang jelas-jelas merugikan ? dan jika telah jelas merugikan kenapa dewasa ini masih sering kali terjadi ?
Apakah bukan sebuah tindakan bodoh ? memang percaya itu perlu dimiliki setiap manusia, apakah jadinya jika seseorang tanpa kepercayaan ? tak memiliki identitas agama pasti. Tapi alangkah baiknya jika kita tidak terlalu percaya yang toh akan merugikan diri kita sendiri.
  Bukankah orangtua kita telah membayar mahal untuk membuat kita menjadi lebih pintar dari mereka ?
lalu kenapa kita masih tergolong mudah sekali melakukan tindakan bodoh dengan berlandasan Kepercayaan ?


Dos “Boim” Santos
Jakarta, 03.03.13