Sabtu, 23 November 2013

17 November (saat kau tertidur)

17 November (saat kau tertidur)

Tidurlah diatas bumi yang tak tertidur.
Tidurlah diatas mimpi, harapan, cita yang menggenang di antara larut.
Tidurlah diatas sepi, hening, gelap yang sesaat singgah tanpa sapa.

dan sesaat kau terbangun, lalu berbincang tentang itu semua padaku.
hingga kelak kita jumpai suatu masa, di mana kita membaringkan itu semua bersama cinta yang berbuahkan hati  : putra maupun putri.

Sabtu, 07 September 2013

Estrofa : Potret Kemarin

Estrofa : Potret Kemarin
                      
Kepada Di


I
Semoga kau masih menjaga titipanku,
seperti aku menjaga bintang-bintangmu dengan kasih

II
Dari tiap mimpi pagi,
mereka terlampau gundah
kalau bukan karena sepucuk rindu
tak mungkin kembali kutemuimu

III
Teruntuk engkau yang kerap tertidur dalam puisiku
kau mungkin tahu air mata
tapi kau takkan pernah tahu untuk apa ia menetes

IV
Harapan itu sangat rasional,
karena tak bisa kita salahkan tuhan
yang menciptakan mimpi dan imaji

V
Pagi silam,
kubiarkan kau lupakan kata yang serupa bualan itu
aku tahu
: ia memang fragmen dari sebermulanya rindu

VI
Masih dalam pagi,
aku tetap dalam sebuah harap bersilang tanya
: semoga tuhan tahu apa yang kurindukan saat ini

VII
Kian menunda letih
hingga hujan kembali berisyarat.
Mungkin apa yang kutunggu dari waktu
: engkau

VIII
Pukul dua,
menghabiskan sajak cinta tanpa nama
dengan sedikit harap
ada namaku diantara bait-baitnya

IX
Tak sedekat kemarin
saat kita masih berbagi kata.

Semoga kata tetaplah sederhana
hingga tak hirau aku akan jarak
: elegi rindu

X
Kita tenggelam dalam percakapan singkat
sembari kurangkai wajahmu dalam ingatan.

Entahlah,
tiap tawa itu menghantarku pada rindu kemarin

XI
Hujan malam,
ia membawa berkah dan sedikit mengusik rindu pada seorang
saat kita menunggu pementasan kala itu

XII
Aku tahu,
bagaimana rindu mengoyak-ngoyak hingga menjelma sepi
tapi dalam temu yang singkat
kita kian lupakan segala sepi itu
: cinta?

XIII
Mungkin aku layaknya rahwana dalam kacamata sita
tapi kurasa itu lebih dari cukup,
karena ku tahu bagaimana rahwana saat itu

XVI
Setelah malam sepi.
kembali,
ketika kita menghabiskan kata
meyisipkan sedikit rasa rindu tanpa permintaan

XVII
Fragmen kemarin
berharap hari ini adalah dirimu untuk beberapa tahun kedepan

XVIII
hingga pada malam singkat
yang bercerita.
bagaimana kau dan aku hingga menjadi kita

XIX
Kita begitu dekat,
hingga kubisa mendengar hela napasmu.
apakah kau juga mendengar detak jantungku
entahlah.

XX
kini kau serupa warna pada kanvas sukmaku
yang hangat ketika tiba penghujan,
dan sejuk seketika kemarau

 Boim Dos Santos
Jakarta, 2013

Estrofa

Estrofa*


Kususun tiap rindu dalam estrofa
serupa malam,
yang terlalu singkat untuk disebut pagi

Kau makin karib di sana
saat kita bertemu dengan beralaskan kasih
: senyap seperti air mata

Maaf, jika banyak kata yang tumpah tanpa arah
tercecer bagai sisa hayal dalam imaji

Tapi memang, ia tak pernah membual,
saat kau terlelap di dalamnya
hingga pagi menyapaku akan kopi hangat semalam



Boim Dos Santos
Jakarta, 31.08.13



* : Estrofa : Bait (Esp)

Bukan Merdeka

Bukan Merdeka

  Sore ini kurasakan hembusan angin terus menerus menyapa wajahku. Kumpulan awan yang tersentuh warna jingga terlihat indah kala mentari mulai terbenam di ufuk barat. Senja yang selalu kurindukan tiap hari di bawah langit pertiwi ini tak membuatku jenuh untuk memandangnya. Betapa indah bumi yang kupijaki ini, dari hamparan laut lepas yang menghubungkan tiap pulau dengan ciri khas budayanya, bahasanya , dan keindahnya di tiap tempat dari awal mula fajar hingga turunnya senja.

   Aku sangatlah bahagia dilahirkan di tempat ini tetapi aku masih binggung, apakah Ayah dan Ibuku tidak salah memberiku nama Merdeka. Apakah dengan kekayaannya yang melimpah ruah mereka memberiku nama ini. Tetapi apakah hanya dengan kekayaan saja aku serta merta menjadi Merdeka, bukan tanpa jerih payah mati-matian serta perjuangan dan kecerdasan pada dalam diriku. Belum sempat terjawab pertanyaanku mereka pun sudah pergi meninggalkan aku saat usiaku masih terbilang belia.

***

  Aku adalah seorang anak yang ditakuti banyak orang bahkan guru-guruku sendiri karena aku terkenal berani melawan apa yang salah dan tidak sepaham dengan akal pikiranku, selain itu harta yang Ayah dan Ibuku miliki sangatlah banyak dan luas mungkin tidak akan habis hingga beberapa puluh keturunan di bawahku. Aku pun harus menerima kenyataan pahit dikeluarkan dari sekolah karena sikapku itu, tapi setelah kupikir tidaklah penting sekolah itu yang terpenting adalah aku orang yang kaya dan sangat mapan untuk masa depanku. Tidak seperti teman-temanku di sekolah itu. Mereka rakyat biasa yang hanya memiliki beberapa meter tanah untuk tinggal dan masih seperseratus dari kekayaan yang kupunya, lagipula apa artinya mereka lulus hanya berbekal ijazah tanpa bisa memiliki kekayaan sepertiku, mereka pasti akan sengsara seumur hidup.

  Aku pun mulai tumbuh dewasa dan mulai memikirkan masa depanku ini. Tak mungkin bila aku terus melajang seumur hidup mau diapakan semua kekayaan ini? Kalau aku mati pastilah banyak sekali orang yang akan mencoba mengusai seluruh kekayaanku ini. Aku terus memikirkan hal itu hingga pada suatu hari aku pergi menuju pantai sembari melihat senja kesukaanku yang terhampar di laut lepas. Ia sangat indah sudah sangat lama aku merindukan hal ini, corak jingga yang terciprat pada kumpulan awan itu sangat menyentuh hatiku tiap kali aku memandangnya. Setelah senja itu berlalu aku pun langsung pergi dan mencoba memikirkannya esok lagi.

  Belum beberapa langkah aku meninggalkan tempat ini kulihat sebuah bayangan seorang sedang berdiri di belakangku. Dari bayangannya, kurasa ia sangat tinggi tidak seperti orang-orang yang tinggal di negeriku, lalu ia menyapaku.

  “Tampaknya tuan suka sekali melihat senja” nada pengucapannya sangat aneh dan benar ketika aku  menoleh ia bukanlah orang asli pribumi, mungkin eropa. Belum sempat aku jawab ia sudah berbicara lagi.
  “Aku juga sangat menyukainya. Mungkin bila tidak berkeberatan tuan bisa berbagi cerita mengenai senja dengan saya”
  “Maaf Tuan, saya masih memiliki urusan” jawabku
  “Baiklah, tidak masalah, mungkin sekarang tuan masih canggung dengan saya tapi kalau kapan-kapan Tuan ke tempat ini lagi kita bisa berbagi cerita”
  “Baiklah Tuan” jawabku. Aku pun langsung pergi meninggalkanya.

   Di jalan pulang aku terus memikirkanya. Sebenarnya siapa orang asing itu, apa hanya seorang turis yang sedang berlibur dan memanfaatkan waktu luang tetapi ia sudah lancar berbicara dengan bahasa negeriku. Ah, sudahlah dia mungkin hanya seorang pengagum senja sepertiku.

  Keesokan harinya kuputuskan untuk pergi ke tempat itu lagi, menikmati senja yang mungkin berbeda, dan berharap lebih indah dari kemarin. Sore ini lebih indah karena terlihat beberapa perahu yang sedang melintas di atara senja yang kulihat itu, sebelum mentari mematikan sinarnya orang asing yang kemarin kutemui telah ada tepat dibelakangku dan langsung bertanya.

  “Tampaknya Tuan memang benar menyukai senja”
  “Oh, Tuan lagi. Iya saya memang sangat menyukai senja” jawabku
  “Kalau boleh tahu siapa nama Tuan?” tanyanya
  “Aku Merdeka, kalau Tuan ?”
  “Sepertinya tidak perlu kuberitahu namaku, Tuan bisa panggil aku Meneer saja” Jawaban yang aneh. Nama sendiri sebagai identitas, ia tak beritahu malah nama panggilannya, apakah ini sudah jadi kebiasaan orang asing tanya dalam hatiku.
  “Baiklah Tuan Meneer” jawabku
  “Oh, ya Tuan Merdeka seperti pertanyaan kemarin mungkin kita bisa berbagi sedikit cerita mengenai senja, tetapi kalau Tuan masih banyak urusan tidak masalah, masih ada senja-senja berikutnya”
  “Tidak Tuan. Baiklah saya hanya sedang mencoba melupakan sedikit masalah saja, karena dengan melihat senja saya dapat melupakan masalah yang ada dan terbawa oleh keindahannya”
  “Kalau boleh tahu apa sebenarnya masalah Tuan?” tanyannya. Tetapi pertanyaan itu yang kurasa sudah berlebihan karena mencoba mencampuri urusanku ini tidak langsung kujawab.  “Baiklah biar kocoba tebak” serunya lagi
  “Tuan selalu sendiri ketempat ini, mungkinkan Tuan sedang merindukan seorang pasangan?” tanyanya. Dan aku pun terdiam sekaligus kaget karena ia langsung bisa menebak apa yang kini kualami.
  “Maaf Tuan bukan bermaksud mencampuri urusan pribadi Tuan, tetapi jika masalahnya itu mungkin saya bisa memberikan solusi untuk Tuan” dan peryataan ini lah yang membutku sangat terkejut, apakah ia telah mengenalku tetapi dari mana ia tahu masalahku? Aku mencoba menghindari pertanyaannya dan berbalik bertanya kepadanya.
  “Mungkin itu masalah Tuan, karena Tuan juga saya lihat selalu sendiri disini”
  “Saya sudah beristri Tuan bahkan sudah memiliki dua orang anak”
   “Lalu kenapa Tuan bisa menebak masalahku seperti Tuan, bukankah Tuan juga belum tahu latar belakangku” jawabku dengan nada agak tinggi.
   “Maaf Tuan, saya tidak bermaksud mencampuri urusan Tuan tetapi saya tahu bahwa Tuan ini masih muda, dan saya juga hanya mencoba memberi bantuan kepada Tuan jika masalahnya seperti apa yang saya katakana tadi”
  “Memang bantuan apa yang Tuan bisa berikan terhadap saya?” tanyaku masih dengan nada tinggi.
  “Saya juga memiliki teman seorang gadis yang usianya tidak jauh berbeda seperti Tuan ini, masih muda. Dia juga seperti kita Tuan sangat suka menikmati senja, kalau Tuan tidak berkeberatan saya bisa mempertemukan Tuan dengannya” jawabnya yang membuatku sangat terkejut, sekaligus bingung dan berpikir  apakah orang ini utusan dari Tuhan yang memcoba memberiku jalan keluar.
  “Mungkin sekarang saya tidak bisa membuktikanya ucapan saya, tetapi esok jika Tuan tidak berkeberatan gadis yang saya sebutkan itu pasti sedang berada disini untuk melihat apa yang sering kita lihat Tuan” serunya lagi. Yang membuatku terbungkam tanpa bisa menjawab pertanyaannya.
  Terdengar bunyi dari dalam saku orang itu, ternyata sebuah arloji. Ia ambil arloji miliknya itu dan ia langsung pamit.
  “Tuan sepertinya saya harus pergi terlebih dahulu, sampai jumpa Tuan Merdeka”
Malam memang sudah tak terhidarkan selang beberapa lama ia pergi, aku juga langsung pulang ke rumah dan sedikit memikirkan kejadian tadi yang kini menjadi beban tambahan terhadapku.

***

   Hari ini aku sangat bimbang karena ucapan si Meneer itu tetapi setelah kupikirkan ada baiknya aku pergi ketempat itu lagi dan mencoba membuktikan ucapannya yang kemarin. Ternyata benar apa yang Meneer katakan belum sampai pada tepian pasir aku sudah melihat seorang gadis dengan gaun sutra berwana kuning, berambut pirang dan berkulit putih bening. Aku sempat ragu untuk menghampirinya tetapi akhirnya langkahku pun membawaku lebih dekat padanya, wanita itu sangatlah cantik bagaikan bidadari boleh jadi lebih cantik, pipinya, keningnya, hidungnya, semua tertata rapih seperti lilin tuangan dibentuk sesuai dengan impian manusia. Ketika beberapa langkah lagi aku sampai padanya tiba-tiba langkahku berhenti dan ragu untuk menghampiri wanita secantik itu. Lalu wanita yang tadi hanya menampakan wajahnya dari sisi kiri saja langsung menoleh tepat kehadapanku seraya melambaikan tangan akupun seketika tak mampu berbuat apa-apa hanya bisa terdiam sambil meneteskan sedikit keringat pada keningku tanpa menjawab lambaian tangannya itu.

   Dan ternyata lambaian tangan yang dibuatnya itu bukanlah untukku tetapi untuk Meneer yang telah ada berdiri di belakangku.
  “Senang bertemu lagi Tuan Merdeka, itu dia wanita yang kumaksudkan kemarin cantik bukan?”
  “Oh i i iya tuan” jawabku gugup.
  “Tampaknya ia telah membuat tuan menjadi gugup ya, baiklah biar kukenalkan ia kepada Tuan”
  “Juffreow[1] kemarilah biar kukenalkan engkau kepada pemuda yang ada disampingku”
   Dan gadis itupun langsung menghampiri kami berdua.
  “Siapa dia Meneer?” tanya gadis itu
  “Dia Merdeka seorang yang kuceritakan kemarin padamu”
  “Oh ternyata Tuan ini yang selama ini kau ceritakan Meneer” gadis itupun langsung mengangkat tanganya untuk berjabat tangan denganku dan aku balas dengan menjabat tangannya.
  “Namaku Mimikri, tuan bisa panggil aku Mimi”
  “Aku Merdeka” dan Meneer pun langsung berkata
  “Baiklah sepertinya aku harus kembali menuju penginapanku, selamat menikmati senja Juffreow Mimikri dan tuan Merdeka”
   Meneer pun langsung pergi meninggalkan aku dan Mimikri. Tanpa sadar akupun langsung terbawa oleh suasana senja yang indah dengan tambahan wanita eropa ini, bercerita panjang lebar dan mencoba mengenalnya lebih dalam lagi.

***

   Beberapa bulan telah berlalu dan Mimikri pun makin lekat kepadaku, sering ia datang kerumahku dan bermalam, kadang bersama Meneer tetapi kehadiran Meneer sama sekali tidak menggangguku ia hanya sibuk berjalan-jalan melihat halaman rumahku yang sangat luas dan indah. Aku ingat sebuah malam ketika Mimikri menatap wajahku, saat itu aku sedang mengambil sebuah buku di kamar ia membuat aku tak bisa berkedip untuk menatapnya, leher janjang dan rambut terurai pirang panjang, dengan dandanan yang sangat istimewa gaun tipis dengan belahan terbuka pada dadanya, serta senyumannya. Jantungkupun tak kuasa untuk berdetak sangat kencang serta aliran darah yang terasa cepat sekali, ia pun masuk kedalam seraya meraih tanganku dan berbisik
  “Ayolah, Meneer sedang tidak ada disini” akupun pasrah seperti anjing yang dipaksa mengikuti majikannya, 
malam itu terasa sangat lamban, gemuruh hasrat seakan tak terbendung untuk menahan birahi, tubuhku dan tubuhnya pun saling tindih dalam remang malam yang terasa panjang.

   Kejadian itu tidak hanya sekali kulakukan bersama Mimikri sampai suatu ketika Meneer memergoki kejadian itu, ia menendang pintu yang tidak tertutup rapat itu.
  “Nikmat bukan Tuan Merdeka Mimikri yang kubuat untuk engkau ini” dengan keadaan tanpa busana Mimikri pun langsung melepaskan aku dan pergi keluar dari kamar meninggalkan aku dan Meneer.
  “Maaf tuan Meneer” jawabku
  “Tidak perlu minta maaf Tuan atas keberhasilan saya. Seperti yang saya duga, tuan sangat mudah terlena, dan sudah saatnya saya memberi tahu Tuan bahwa Mimikri itu adalah modus wacana yang saya buat untuk mendekati Tuan, untuk mendekati tanah Tuan yang subur ini, untuk mendekati pertanian Tuan yang makmur dengan hasil rempah-rempah yang sangat bernilai harganya dan karena kebodohan Tuanlah saya bisa berhasil untuk menguasainya”
  “Apa maksudmu Meneer?” tanyaku
  “Kau memang bodoh Medeka, lihat ini. Ini adalah surat kekuasaanmu yang akan berubah menjadi kekuasaanku. Kebodohanmu memang tak ada tandingannya Merdeka,  mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan sumber daya alam yang melimpah ruah pada setiap wilayah yang kau punya? Mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan keindahan-keindahan alam yang kau punya? Dan mana mungkin aku bisa membiarkan engkau Merdeka dengan harta karun yang tersimpan di bawah bumimu ini Merdeka” Lalu Meneer pun langsung mengeluarkan revolver dari sakunya yang diarahkan tepat menuju kepalaku.
  “Perkenankanlah aku untuk memberi tahu namaku yang sebenarnya kepadamu, sebelum kau tidur nyenyak malam ini Merdeka” akupun tak mampu menjawab pertanyaannya hanya diam memucat dengan banyak tetesan keringat pada sekujur tubuhku.
  “Aku adalah Kolonial, dan ucaplah selamat tinggal pada dunia ini tuan merdeka”

   Doorrr! Ia pun melepaskan peluru dari revolvernya menuju tepat di kepalaku. Ternyata aku bukanlah Merdeka, aku teramat bodoh sebagai Merdeka. Aku adalah Merdeka yang tanpa perjuangan, aku adalah Merdeka yang tidak memiliki dasar yang kokoh dan aku bukanlah Merdeka yang sesungguhnya.

   Semoga dalam rahim Mimikri akan lahir Merdeka-Merdeka yang sesungguhnya, Merdeka yang nanti akan merebut tanah ini kembali, Merdeka yang berjuang menghancurkan Kolonial beserta sekutu-sekutunya, modus wacananya, dan kembali mengibarkan bendera kemerdekaan di bumi pertiwi ini.


Boim Dos Santos
Jakarta, 30.03.13






[1]  Juffreow : Nyonya yang belum bersuami, Mevroew : Nyonya yang telah bersuami (Belanda)

Selasa, 13 Agustus 2013

Sebuah Sajak dari Seorang yang Merindukan Kemenangan

Sebuah Sajak dari Seorang yang Merindukan Kemenangan


Sebelum fajar, lelaki itu berkemas
ia meletakkan tubuhnya diantara ayat-ayat suci
mendengar kata-kata cinta, kasih, ironi, ancaman, serta malapetaka.

Ia lupa bahwasanya ia tengah mengadap Yang satu
sedang pikirnya masih bermain-main di kedai dunia
hingga larut dalam pasar malam sandiwara

Lelaki itu tak pernah tahu
bilamana ia terlahir tiap tahunnya
kembali seperti tangis pertamanya di bumi

Lelaki itu seperti tak kenal arah
Ia hanya terpaku dalam doa
dan menunggu dari tiap sujudnya yang sedikit

Hingga pada suatu bulan
ia kembali pada rumah yang membesarkannya
di mana ia merasakan tiap bait-bait kemenangan dari dekat

Ia menerima sebuah pakaian baru
tapi tidak tahu untuk apa ia memakainya
tidak seperti anak-anak bocah yang kegirangan
berlarian dan tampak memahami arti kesenangan

Pada akhir ramadhan
ia temui sebuah air mata,
yang lirih tanpa sedikit suara

Kini lelaki itu pun tahu,
akan makna pada tiap kelahirannya
ketika ia saksikan tangis yang pecah
dari seorang yang telah mengenalkannya pada dunia

Kini, entah najis ataupun suci.
ia serahkan kepada Yang satu
sembari meletakan kata-kata dalam benaknya
: Sebuah sajak dari seorang yang merindukan kemenangan


Jakarta, 07.08.13

Sebelum Syawal

Sebelum Syawal

Setelah fajar pada duapuluh sembilan
aku jumpai sebuah diam

Sembari melihat kilas balik rekaman lama yang kian memudar
ditemani tumpukan naskah dari masa silam

Aku berhenti pada suatu masa
tersenyum sejenak, lalu menangis

Seorang lelaki dalam bayang menegurku
“Sadarkah engkau akan cinta yang sebenarnya,
yang selalu menjadikanmu suci diatara najismu”

Dalam lalai yang sadar, ku tahu
Tuhanku lebih dari sekedar kasih ataupun sayang.

Ia mencipta satu Syawal
: Hari di mana cinta diturunkan layaknya hujan

Dan dari setetes cintaNya,
tiap manusia dibuat seolah kembali seperti bayi yang baru terlahir.

“Esok adalah hari di mana cinta diturunkan layaknya hujan”
seru lelaki itu lagi.



Boim Dos Santos
Jakarta, 07.08.13

Senin, 05 Agustus 2013

Selasa Pagi Pukul Lima

Selasa Pagi Pukul Lima
                                                    Kepada D.P.S

Hari berjalan tanpa titik ataupun koma
dan tanpa sadar puluhan malam telah terlewat

Aku memang terlalu gila akan naskah-naskah pemikir
sehingga tak dapat setiap saat kusisipkan senja untukmu

Tetapi sungguh,
kau adalah perempuan yang kerap kutemui dalam malamku
dan senja yang kerap kutulis dalam sajak-sajakku

Aku memang tak mengenal cinta
ku tak begitu mengerti hal itu,
mungkinkah aku salah memperlakukanmu
yang kini menghias hatiku?



Jakarta, 23.07.13

Minggu, 09 Juni 2013

Tidak Ada Puisi Malam Ini

Tidak Ada Puisi Malam Ini
                                                                                                           kepada D.P.S

Tidak ada puisi malam ini
karena ku tak ingin membuatmu terluka

Memang sajak itu aneh
kadang sifat air dapat berubah menjadi panas
begitupula angin,
bisa bebas menjadi asap

Mungkin kita masih berpandang pada apa yang nyata
yang sebenarnya tidak nyata

Dan memang seringkali tenggelam dalam larut pikiran
tanpa ingat jalan,
untuk kembali pada daratan

Sayang, kau belum bertegur sapa pada puisi
andaikata kita dapat bertemu dalm sebuah puisi.




Boim Dos Santos
Jakarta 05.06.13

Pelurusan Sejarah dimulai dari Pendidikan

Pelurusan Sejarah dimulai dari Pendidikan

“Dan sejarah harus diketahui betul oleh warganegaranya. Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri. Engkau gampang kesasar di tanah airmu sendiri”
(Anak Haram, Pramoedya Ananta Toer 1950. Cerita dari Blora)

  Abdul Latief, salah seorang dari sepuluh narapidana politik perkara G30S yang dibebaskan akhir maret 1999 mengatakan, ingin meluruskan sejarah[1] apa sebenarnya yang ingin diluruskan oleh mantan Komandan Brigade Infantri Kodam V jaya itu?

  Tampaknya pembeberan fakta sejarah itu terutama berhubungan dengan Presiden kedua RI, Soeharto. Ia mencurigai bahwa mantan komandanya semasa bergerilya di Yogyakarta itu terlibat kudeta berdarah tahun 1965. Memang yang dikemukakan oleh Latief itu hanya melengkapi sekian banyak versi tentang dalang G30S dan peristiwa pembantaian setelah itu.

  Versi pertama terdapat dalam buku putih yang dikeluarkan sekertariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah yang diajarkan disekolah. Lalu ada Ben Anderson dan Ruth McVey mengemukan versi kedua dalam buku yang dikenal Cornell paper, sedang Antonie Dake dan John Hughes menyebut peristiwa itu sebagai scenario Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagai perwira tinggi AD. Tampaknya memang mustahil bila peristiwa sejarah yang berdarah itu dirancang oleh hanya pelaku tunggal, dan pasti ada unsur internal dari dalam negeri dan eksternal (unsur asing) menyebabkan pristiwa tersebut.

  Memang yang dimaksud pelurusan sejarah itu tidaklah lain, sejarah yang seragam masa Orde Baru akan menjadi beragam pada zaman Reformasi. Setiap orang bebas mengemukan pandangan dari kacamata masing-masing, meskipun tetap terikat pada kaidah-kaidah ilmu sejarah. Lalu bagaimana dampaknya dalam pengajaran sejarah Nasional?

  Sebagai seorang anak bangsa yang ingin tahu betul sejarah bangsanya mungkin akan mencari kebenaran mengenai masa lampau, sekaligus mencerdaskan diri bahkan menambah wawasan. Di Jepang ada buku sejarah[2] yang menyebut tahun 660 SM sebagai tahun penciptaan negeri sakura oleh Dewi Amaterasu. Ketika bukti arkeologi menunjukan bahwa itu tidak benar, kalangan Nasionalis ekstrem pun ikut beraksi keras. Mereka mempertanyakan keabsahan bukti itu.

  Lalu ada dari negeri kita sendiri, seorang tokoh yang diasingkan dalam sejarah Revolusi, Ia adalah Tan Malaka. Tidak sedikit orang yang mengenal sosoknya, bahkan dalam sebuah buku[3] tertulis “Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian” memang terdapat faktor dalam pengasingannya di negerinya sendiri. Pertama kerena ia seorang Komunis, titel itu rupanya yang membuat Tan Malaka ditakuti oleh pengusaha Hindia-Belanda sampai pada pemerintahan rezim Orde Baru, yang terburuk ia harus menerima hukuman eksekusi mati dari bangsa yang ia perjuangkan itu di bawah kaki Gunung Wilis desa Selopanggung, Kediri Jawa tengah[4].

  Contoh di atas menunjukan bahwa demi kepentingan tertentu, sejarah bisa direkayasa. Sangat penting memang bila pengajaran sejarah dipadukan dengan pendidikan Moral, Geografi, dan Bahasa. Dan yang terpenting adalah wawasan yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara Baik Guru maupun para orang tua mengenai bangsa, jati diri dan masa lalunya. Karena pengetahuan atas sejarah ini dapat membimbing anggota masyarakat agar terhindar dari propaganda ideologis yang disampaikan para penguasa. Namun demikian, kebenaran itu jelas tidak satu atau dengan kata lain hanya satu pihak saja yang menganggap apa yang disampaikanya itu benar.

  Kini kita masuk dalam Reformasi pendidikan dan sistem pengajaran, ternyata sangat banyak masalah dalam dunia pendidikan kita ini, termasuk sistem pengajaran disekolah. Para tokoh pendidikan kritis seperti Paulo Freire, Michle Apple, Piere Bourdieu dan Ivan Illich berpandangan. Pendidikan dilihat sebagai subordinasi kekuasaan elite, lalu Freire menyatakan pendidikan merupakan alat penindasan untuk itu tujuan pendidikan idealnya memanusiakan manusia.[5] Apple meyakini sekolah melaui kurikulum merupakan alat hagemoni bagi kelompok dominan.[6]

  Beberapa pandangan dari para tokoh pendidikan kritis tersebut harus kita akui terjadi dalam dinamika pendidikan di Indonesia. Dan masalah yang benar-benar dialami adalah dalam ujian yang memakai pilihan ganda.

  Dalam sistem tersebut dari satu pertanyaan hanya tersedia sebuah jawaban yang benar dan murid hanya tinggal menyilang atau membulati jawaban yang dinilai benar. Tetapi seringkali muncul pertanyaan bahkan jawaban yang membingungkan, terkadang pada kolom jawaban terdapat dua jawaban yang benar dan yang terparah tidak ada sama-sekali jawaban. Sedang para siswa tidak memiliki banyak waktu untuk mendiskusikan hal ini kepada gurunya, tetapi hanya dipaksa menjawab sesuai kemauan para guru.

  Bukankah jelas-jelas salah bila sejak dini anak didik sudah dibiasakan untuk mengerjakan hal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan akal sehat dan nuraninya. Untuk pelajaran Matematika ini masih bisa diterapkan, tetapi untuk sejarah, hal ini sungguh tidak wajar dan malah menambah bobrok pengetahuan akan sejarah yang sebenarnya. Mungkin ini dapat teratasi dengan sistem esai, jawaban yang diterima pun akan beragam karena seorang siswa pasti menjawab sesuai dengan pengetahuannya yang diperoleh.

  Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan baru, sebuah cara untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dari berbagai sudut pandang, versi dan kacamata. Sejalan dengan itu pendidikan pun memiliki vitalitas besar, memiliki buku ajar dengan berbagai macam versi yang mengandung suatu peristiwa pun akan lebih mendongkrak para siswa agar berwawasan lebih. dan yang terpenting dalam pelajaran sejarah sedikit banyaknya dapat menyumbang kepada cara berpikir dan pencapaian masyarakat Indonesia yang kan lebih bersifat Nasionalis, menghargai Bangsanya serta Tanah Air di masa sekarang maupun mendatang.


Boim Dos Santos
Jakarta, 04.06.13




[1] Asvi Warman, dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah, penerbit buku kompas 2009
[2] Historie et Eeriture de I’historie 1984, P. Souyri Le Moyen Age Japonas
[3] Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta Lp3S 1978
[4] Iwan Santosa, Misteri Kematian Tan Malaka Terungkap, Kompas 2007
[5] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta LP3S, 2008)
[6] Michael W. Apple, Educatian and Power (New York 1995)

Rabu, 05 Juni 2013

Sepucuk Sesal untuk Hanzalah

Sepucuk Sesal untuk Hanzalah

Zal, entah apa yang kau rasa
mereka bilang kau terisak kala itu
air matamu pun bagai air bah yang terus-menerus menetes


Maafkan aku Zal,
kukirim sepucuk sesal untukmu
karena tak sempat aku menyertaimu

Tetapi, memang sebuah berita baru sampai padaku malam tadi
dan aku bagai orang bodoh saat lewat pekarangan rumahmu
seperti gerimis dan tak menjadi hujan

Aku ingat saat ia mendidik kita,
tentang sebuah langkah menuju surga
dan maut yang tiap hari semakin tak berjarak

Semoga isak tangismu tak mengganggu Zal
saat Ayahmu melangkah menuju surga,
dan berdoa untuk kau dan semua orang terdekat
saat menyusulnya
pada keindahan yang tidak lagi singkat


Jakarta, 03.06.13
Boim Dos Santos

Senin, 03 Juni 2013

Balada Terbunuhnya Julius Caesar

Balada Terbunuhnya Julius Caesar* 
*Fragmen Pertama, Saduran dari Naskah Julius Caesar Karya William Shakespeare



  Pagi itu setelah kembali dari peperangan yang menyakitkan, bersejarah serta mengharukan aku kembali menuju Roma –rumahku, tanah kelahiranku, bangsaku. Beberapa langkah sebelum mencapai lapangan, ku dengar suara gemuruh, suara rakyat-rakyatku sudah siap menyambutku. Menyabut kemenangan yang kubawa menuju Roma.

   Akupun masuk melewati tirai menuju lapangan, tampak miliaran rakyatku sedang berkumpul menunggu aku berpidato, mereka bersorak-sorai, aku sangat senang sekali. Akulah raja Roma yang paling dihormati saat ini, sebelum aku memulai berpidato Casca memberi arahan terlebih dahulu.

  “Tenang wahai rakyat, Raja kita Caesar ingin bicara”
  “Wahai rakyat-rakyatku, saat ini Raja kalian telah kembali, bersama kemenangan, bersama kejayaan negeri kita ini” lalu miliaran rakyat yang berkumpul pada lapangan itu pun  bersorak gembira, mereka sama seperti halnya diriku –merasakan euphoria kemenangan.

  Tiba-tiba tampak seorang memanggil namaku
  “Caesar !” sebutnya
  “Siapa itu ?” sahutku, lalu casca kembali menenangkan
  “Suruh diam! Semua tenang kembali” seru Casca
  “Siapa diantara orang banyak memanggil aku? Aku mendengar lidah yang lebih melengking dari semua musik, teriakan Caesar, bicaralah. Caesar siap mendengarkan”
  “Berhati-hatilah pada pertengahan maret” seru orang itu lagi
  “Siapa itu ?”
  “Ia menyuruh anda berhati-hati pada pertengahan maret Tuan” seru Brutus
  “Siapa itu?” tanyaku
  “Seorang ahli nujum” seru Brutus
  “Suruh ia kemari, aku ingin melihat wajahnya” lalu ahli nujum itupun segera memisahkan dirinya dan tepat berdiri dibawahku
  “Hati-hatilah pada pertengahan maret” seru ahli nujum itu
  “Baiklah, dia seorang ahli Casca biarkan ia jalan untuk pulang” akupun langsung pergi meninggalkan lapangan untuk pulang dan kembali pergi menemui Antonius seorang panglima yang kuangkat menjadi Triumvirat kerajaan.

***

  Hari pun mulai gelap, muncul Guntur yang sangat dahsyat, suara gemuruhpun tak terhindahkan di luar rumah. Tetapi untuk melengkapi pestaku kupanggil pelayan untuk pergi menemui pendeta dan memanggil Calipurnia.

  “Wahai pelayan suruh para pendeta membuat sesajen, dan beritahu aku pendapat mereka tentang keberhasilan, sekalian kau panggil Calpurnia”
  “Baik tuanku” lalu Calpurnia pun masuk
  “Mau kemana kau Caesar? Apa kau mau pergi? hari ini kau tak boleh meninggalkan rumahmu” seru Calpurnia
  “Aku akan pergi. Hal yang mengancam, aku tidak akan menatap  punggungku. Jika mereka melihat 
wajahku mereka akan sirna”

  “Caesar, aku tidak pernah percaya pada takhayul, tapi kini aku takut. Diantaranya, disamping segala yang pernah kita dengar dan lihat, berita pandangan yang paling mengerikan yang dilihat oleh pengawal. Seekor singa telah beranak di jalan. Kuburan menganga dan memuntahkan isinya. Hulubalang-hulubalang yang garang dan perkasa berperang di atas awan. Barisan dan susunan pasukan seperti dalam peperangan. Hingga darah bertetesan di atas Kapitol. Hiruk pikuk pertempuran mengguruh di udara, kuda-kuda meringkik dan orang-orang mengerang sekarat. Sedangkan hantu-hantu memekik dan berteriak di jalan. Oh, Caesar! Semuanya tidak biasa dan aku takut padanya”

  “Apa bisa dielakkan kalau dewa-dewa kuasa telah menetapkannya? Tapi aku akan pergi. karena tanda-tanda ini berlaku bagi dunia umumnya, seperti juga bagiku”
  “Jika pengemis mati, tak pernah kelihatan bintang berekor. Langit sendiri meniupkan kematian para pangeran”

  “Orang pengecut mati berkali-kali sebelum saatnya, seorang pemberani hanya merasakan mau satu kali. Dari semua keanehan yang pernah kudengar, yang paling aneh kurasakan ialah kalau orang ketakutan melihat maut, akhir yang tak bisa dielakkan, datang pada saanya” lalu pelayan pun masuk

  “Wahai pelayan, apa kata tukang-tukang tenun itu?” tanyaku
  “Mereka tidak ingin tuanku keluar hari ini. Waktu mengeluarkan isi perut hewan korban, mereka tak menemukan jantung di dalamnya

  “Dewa-dewa melakukan ini untuk menakut-nakuti orang pengecut. Aku sama saja dengan hewan tak berjantung, jika hari ini ia tak keluar rumah karena takut. Tidak. Aku tidak akan tinggal. Bahaya tahu betul bahwa Aku lebih berbahaya dari dia. Kami adalah dua ekor singa yang dilahirkan pada hari yang sama, dan aku adalah yang tertua dan paling menakutkan. Aku akan pergi” tegasku

  “Tuanku, hikmah tuan lenyap oleh kepercayaan pada diri yang keterlaluan. Jangan keluar hari ini. Sebutlah ketakutanku yang membuat Tuan tinggal di rumah, dan bukan karena ketakutanmu. Biar kita kirim Marcus Antonius ke gedung senat, supaya ia memberitakan kau hari ini tidak sehat. Kabulkanlah permintaanku yang kuajukan sambil berlutut di depanmu” seru Calpurnia

  “Marcus Antonius akan menyampaikan bahwa aku tak sehat, dan demi kesenanganmu aku akan tinggal di rumah” lalu masuk Decius
  “Ah, ini Decius Brutus. Ia bisa menyampaikan pada mereka”
  “Caesar, salam! Selamat pagi, Caesar budiman. Aku datang menjemput Anda untuk pergi ke senat” seru Delcius
  “Kau datang pada saat yang baik, untuk menyampaikan salamku pada para senator, dan mengatakan bahwa aku tidak akan datang hari ini. Tidak bisa sebetulnya adalah dusta dan tidak berani lebih dusta lagi – aku tidak mau datang hari ini. Sampaikan begitu pada mereka, Decius”
  “Katakan ia sakit” seru Calpurnia
  “Apa Aku harus menyampaikan dusta? Apa dalam menaklukan aku sudah menjangkaukan lengan begitu jauh, hingga aku harus takut menceritakan sebenarnya pada orang-orang berjanggut putih? Decius, katakan pada mereka Aku tidak mau datang”

  “Caesar yang perkasa. Bekali aku dengan sebabnya hingga aku tidak ditertawakan kalau aku berkata begitu” seru Delcius

  “Sebabnya ialah kehendakku – aku tidak mau datang, itu cukup untuk memuaskan senat. Tapi untuk kepuasan pribadimu, karena aku sayang padamu, aku akan katakan. Istriku Calpurnia menghendaki supaya aku tinggal di rumah. Tadi malam ia bermimpi melihat patungku, merupakan air mancur dengan berates pancuran memancurkan darah murni. Sedangkan sanak saudaraku orang Roma yang gembira datang sambil tersenyum dan membasuh tangan mereka di dalamnya. Hal ini ia tafsirkan sebagai peringatan dan tanda ada bahaya mengancam, dan karenanya sambil berlutut ia ia memohon padaku supaya aku sudi tinggal di rumah”

  “Mimpi itu ditafsirkan salah sekali. Itu adalah undangan yang baik dan menguntungkan. Patung Anda memancurkan darah melalu banyak pipa, tempat begitu banyak orang  mandi sambil tersenyum. Itu menunjukan bahwa dari dirimu Roma besar akan menghisap darah yang menghidupkan dan bahwa orang-orang besar akan berebut tanda kenangan, sisa-sisa dan lambing-lambang. Ini dipertegas dalam mimpi Calpurnia” seru Delcius

  “Dengan cara begitu kau sudah memberikan tafsir yang benar, Delcius”
  “Memang. Kalau Anda sudah mendengarkan apa yang dapat kukatakan. Ini aku sudah tahu – senat sudah memutuskan untuk menyerahka mahkota pada Caesar perkasa hari ini. Jika Anda mengirimkan pesan Anda tidak akan datang, mereka mungkin akan merubah pendiriannya. Lagipula mungkin ada yang akan mengejek, karena ada yang akan berkata “Bubarkan senat sampai kesempatan lain. Kalau istri Caesar telah memperoleh mimpi lebih baik” Kalau Caesar sendiri menyembunyikan diri, apa tidak mungkin mereka akan bekata “Oh, apa Caesar takut?” maafkan aku Caesar, karena cintaku yang besar pada kebajikan anda memaksaku menceritakan ini. Dan mendorong aku berpikir sesuai denagn rasa sayangku”

  “Lihatlah bagaimana tak beralasannya ketakutanmu, Calpurnia! Aku malu karena telah menurutinya. Berikan jubahku, karena aku mau pergi”

  Akupun akhirnya pergi, tiba-tiba di tengah jalan dekat capitol. Masuk Artemidorus kedalam kendaraananku seraya membacakan surat untukku.
  “Caesar, hati-hatilah terhadap Brutus, awasi Cassius, jangan dekat pada Casca, perhatikan Cinna, jangan percayai Trebonius; amatilah Cimber, Decius Brutus tak sayang padamu; kau telah menyakiti Caius Ligarius. Dalam diri mereka hanya ada satu I’tikad menentang Caesar. Kalau kau bukan orang yang kebal terhadap kematian, hati-hatilah. Kepastian member jalan untuk komplotan. Semoga dewa melindungi kau! Kekasihmu, Artemidorus”  lalu ia pun langsung pergi.

***

  Sampai juga aku pada Roma. Depan Kapitol, senat duduk di atas. Orang banyak diantara mereka Artemidorus dan tukang tenung. Bunyi terompet.  Akupun masuk bersama, Brutus Cassius, Casca, Decius, Metellus, Trebonius, Cinna, Antonius, Lepidus, Popilius, Publius dan yang lainnya.

  “Pertengahan Maret sudah datang” seruku
  “Ya, Caesar, dan belum lagi pergi” seru tukang tenung
  “Salam, Caesar. Bacalah surat ini” sambung Artemidorus
  “Trebonius minta supaya Anda membaca banyak di kala senggang itulah permohonan yang hina” tembah Decius
  “Oh, Caesar. Bacalah punyaku dulu, karena  punyaku lebih menyentuh kepentingan Caesar. Bacalah, Caesar yang besar” mohon Artemidous
  “Yang paling dekat kepentingan kami, akan kami layani paling akhir” jawabku
  “Jangan undurkan, Caesar. Baca sekarang juga” tegas Artemidous
  “Apa orang ini gila?” seruku sambil menunjuk Artemidous, lalu publius pun mengusir Artemidous. Dan aku langsung masuk menuju tempat para senat.

  Di dalam sudah ada Cassius, Antonius, Trebonius, Decius, Brutus, Cinna dan Casca. Akupun langsung memulai pembicaraan.
  “Apa kita semua sudah siap? Apa yang tidak baik, yang senatnya harus rubah?
  “Caesar yang mulia, yang perkasa dan kuasa. Metellus Cimber menjatuhkan depan singgasanamu hati yang dina” seru Metellus sembari berlutut

  “Jangan lakukan itu Cimber. Segala sembah sujud dan sikpa merendah diri dapat membakar darah orang biasa, lalu merobah apa yang sudah ditetapkan dan diumumkan menjadi hokum dunia kanak-kanak. Jangan begitu bodoh, untuk mengira Caesar akan membiarkan darah pemberontak yang dapat dilumerkan dari benuk aslinya dengan cara-cara yang dapat melunturkan seorang bodoh – maksudku, kata-kata manis, sembah sujud merendah hati dan sanjungan yang lata. Dengan keputusan, saudara Anda sudah dibuang. Karena Anda membungkuk dan menyembah dan menyanjung untuknya, maka Anda akan kuhindari bagai kutukan. Ketahuilah, Caesar tidak khilaf dan ia tak akan puas tanpa alasan”  seruku

  “Apa tak ada suara yang lebih berharga dari suaraku, yang oleh Caesar kedengaran manis sekali hingga pembuangan saudaraku bisa dibatalkan?”
  “Kucium tangan Anda Caesar, tapi bukan dengan maksud menyanjung, memohonkan supaya Publius Cimber segera dibebaskan dari pembuangan” tambah Brutus
  “Apa, Brutus?” tanyaku
  “Ampun, Caesar. Ampun”  sambung Cassius merendahkan diri sampai ke cerpu kakiku, untuk memohonkan pembebasan buat Publius Cimber.

  “Hatiku mungkin tergerak, sekiranya aku adalah kau. Sekiranya aku bisa berdoa untuk menggerakkan hati, maka pastilah hatiku berdoa; tapi aku kukuh bagai bintang utara, yang keteguhan dan kemantapan sifatnya, tak ada tandingannya di seluruh cakrawala. Langit dilukis dengan bunga api yang tak terkira. Semuanya api, dan seluruhnya gemerlapan. Tapi diantara semuanya ada satu yang bertahan di tempatnya. Begitu juga di dunia ini. Ia kaya dengan manusia dan manusia terbuat dari darah dan daging dan cerdik sekali; tapi dari semuanya hanya seorang yang kukenal yang berpegang pada jabatannya tanpa bisa digoyahkan. Atau digoyahkan oleh gerakan. Dia adalah aku, karena itu kuizinkan aku membuktikan, juga dalam hal ini, bahwa aku tetap berpendirian bahwa Cimber harus dibuang dan berketetapan untuk membiarkan dia dibuang” jawabku, lalu Cinna pun ikut angkat bicara.

  “Oh, Caesar”
  “Pergilah! Apa kau mau mengangkat Olimpus? Bukankah Brutus sudah berlutut dengan sia-sia?” seruku
  “Bicaralah tangan, untukku!” tambah Casca

  Lalu dengan cepat Cassius, Delius dan Metellus menikamku di dahului oleh Casca, kemudian diikuti oleh markus Brutus.

  “Apa-apaan ini?” seruku
  “sampai jumpa di neraka Caesar!” seru Brutus sambil menusuk pundakku dengan belati, lalu Cassius, Delius dan Metellus pun mengikutinya hingga aku tak sadar, dan lepaslah nyawa dari dalam ragaku.


  Ternyata benar apa yang dikatakan oleh ahli nujum itu tentang pertengahan maret. Dan memang terbukti bahwa kekuasaan dapat merubah orang yang paling ku percaya menjadi penghianat sekaligus pembunuhku.



Jakarta,30.05.2013

Boim Dos Santos