Minggu, 07 Agustus 2016

Perihal menulis

Perihal menulis (Sebuah Penghantar Sangat Ringkas)


Begini, sebenarnya saya bukanlah penulis hebat apalagi sastrawan. Ya hanya seorang yang suka membaca dan menulis ala kadarnya. Dan tentu saja dalam forum ini saya hanya bertugas sebagai pemantik, jadi saya tentu bukan apa-apa, hanya seorang yang mencoba berbagi ilmu saja.
Oh iya, sebagai pendahuluan saya teringat kata seorang teman, begini “Banyak orang bermimpi menjadi penulis, akan tetapi, sedikit dari mereka yang mau melalui prosesnya, banyak yang mau menulis dengan indah, tetapi tidak mau membaca. Mereka mengandalkan intuisi dan pengetahuan yang itu-itu saja, hingga jika membuat dua juta sajak sekalipun, diksi dan isinya pun itu-itu saja. yang lain, hanya mau membaca tanpa menulis, dengan alasan: aku ini ndak bisa nulis, Tapi mas HB Jassin tidak menulis puisi, ia menulis apresiasinya tentang puisi orang lain.” Begitu katanya, bukan main pedasnya.

Tentu, saya mengamini pendapat beliau, dengan kata lain tak ada penulis besar tanpa sebuah proses yang panjang. Apalagi yang berharap kesuksesan dalam beberapa hari. Tentu, dunia tulis menulis bukan dunia entertain di mana sekali upload langsung jadi pesohor (meski rata-rata hanya bertahan beberapa bulan saja). Ya, dunia tulis menulis adalah dunia yang luar biasa rumit, lebih rumit dari musik jazz ataupun fisika barangkali.

Dalam kesusastraan era sekarang, mungkin seorang Eka Kurniawan bisa kita jadikan contoh. Saya ingat, beliau ini dijuluki sebagai “Khazanah sastra dunia”. Tentu para kritikus tidak asal sebut, dan tentu bisa kita lihat dari karya-karya beliau. Semisal Cantik itu luka atau barangkali O dsb, lalu coba kita lanjutkan lagi dengan membaca Seratus tahun kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, dan Animal Farm karya Orwell. Tentu kita dapat membandingkannya sendiri. Entah dari segi bentuk, maupun estetik. Lagipula Eka sendiripun tidak menutupi hal tersebut, kita bisa lihat esai yang ditulisnya (red: Orbituari ‘Proses Kreatif’), tak jarang ia menyebut tokoh-tokoh besar yang turut mempengaruhinya seperti Marquez, James Joyce, Kawabata, Knut Hamsun, Kafka, Pram, Kho Ping ho, George Lukacs, Nietczhe, Hegel, Marx  dan lainnya. (tentu metode inipun turut dilakukan penulis-penulis besar lainnya, seperti Pram, Mangunwijaya dll)

Hal ini tentu senada dengan pendapat dari Paulo Freire “Membaca (belajar) bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide”. Hal ini lah yang lebih dulu dilakukan oleh pengararang-pengarang besar. Mereka lebih dulu memngonsumsi ide namun tak luput dengan esensi sesungguhnya : mencipta. Dan dalam dunia tulis menulis, hal inilah yang tentu menjadi kunci.
Anda tentu pernah mendengar anggapan bahwa sastra tidak turun dari langit. Benar memang, lingkungan, budaya, adat, norma barangkali ikut ambil bagian, entah sadar atau tanpa disadari hal itu pasti tercermin dari apa yang anda tulis.

Selama keterpengaruhan itu ada di kutub positif, nikmatilah. Carilah referensi-referesi, carilah sosok, carilah gaya, ketika sampai pada fase menulis, menulislah sejujur-jujurnya, seada-adanya, dan ketika selesai, bacalah kembali. Karena sebaik-baiknya penulis adalah seorang editor yang baik pula untuk tulisannya.

Dalam pembahasan tentang menulis ini, saya akan memfokuskan tentang penulisan prosa. Lebih fokusnya adalah cerita pendek (selanjutnya saya akan sebut cerpen). Di era sekarang ini, saya kira sudah tidak sulit untuk menemukan penulis-penulis cerpen terkemuka, baik sastra dunia maupun sastra indonesia. Kita tentu mengenal penulis-penulis tersohor macam Chekov, Wilde, Borges, maupun penulis lokal seperti Seno, Putu Wijaya, AS Laksana, Triyanto Triwikromo, dll.

Tentu, masing-masing dari mereka memiliki gaya tersendiri dalam penulisan prosa. Dari diksi, tokoh, alur hingga substansi, saya pikir nama-nama diatas sudah tidak bisa diragukan lagi. Ada yang begitu memukau dalam kalimat pembuka, ada yang begitu memukau dalam bernarasi, adapula yang begitu memukau dalam menyusun cerita. Mungkin kita tinggal hanya memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan contoh/kiat-kiat dalam menulis cerpen yang baik (saya tentu tidak bilang bahwa penulis lain yang tidak saya sebutkan tidak baik, anda tentu memiliki selera sendiri).

Dalam cerita AS Laksana dan Triyanto contohnya, tak jarang kita temui sebuah prosa di mana ketika kita baru sampai pada kalimat pertama/paragraf pertama kita seakan sudah dimuat menggeleng-gelengkan kepala. Menurut sulak sendiri penentu sebuah cerita itu terletak pada kalimat pertama, karena ketika seorang pembaca dihadapkan dengan kalimat pertama yang memukau bukan tidak mungkin pembaca akan meneruskan pembacaannya hingga akhir. Namun tidak sampai disitu.

Kita coba beralih ke Seno, kekuatan dari seno bukanlah pada kalimat pertama, tetapi pada narasi-narasi yang memukau. Entahlah, pembaca seperti digiring oleh dalimat demi kalimat yang aduhai sampai kadang-kadang kita lupa apa cerita yang kita baca. Bukan main memang seno.

Lalu ada Putu Wijaya, penulis yang satu ini saya pikir tidak tanggung-tanggung dalam membuat cerita, Putu tidak memberi keistimewaan diawal atau narasi-narasi yang aduhai, tapi beliau memberikan substansi yang luar biasa dalam bercerita, dengan kata lain Putu lebih fokus ke isi cerita meski begitu, ia tetaplah tidak bisa dianggap remeh dalam bernarasi.

Jadi, apalah yang kurang, saya pikir semua telah tersedia di era sekarang. Namun ada hal yang ingin saya garis bawahi dalam sebuah cerita pendek, hal yang pertama-tama (menurut saya, yang terpenting dalam sebuah cerita pendek) ialah isi/substansi. Dalam sebuah cerita mungkin kita sering membaca tentang cerita-cerita remeh semisal cerita tentang perempuan patah hati lalu ia menemukan cintanya dan selesai begitu saja. Saya tidak bilang cerita itu buruk tapi alangkah lebih baik bila kita pun memperhatikan substansi yang lebih dalam lagi, bukan hanya sekedar cerita yang remeh temeh.

Dan bagian kedua yang terpenting setelah isi/substansi itu ialah bentuk (logika cerita, point of view/sudut pandang, diksi/narasi). Dalam membuat cerita tentu logika cerita itu sangat penting, karena tidak sedikit penulis yang luput, contohnya, semisal tokoh aku digambarkan sebagai seorang yang lahir pada masa orde lama, lalu tiba-tiba ia ada kejadian penembakan misterius (yang sesungguhnya terjadi di masa orde baru), hal ini tentu jadi tak masuk akal. Lalu sudut pandang, tak sedikit penulis yang merubah pov dalam ceritanya, tentu saja harus diperhatikan porsinya, contohnya, dalam satu cerita penulis menyajikan pov orang kedua namun hanya diberi porsi satu peragraf dari tigapuluh paragraf dalam keseluruhan cerita. Sungguh kurang aduhai tentunya. Dan yang terakhir adalah narasi, dalam hal narasi ini, saya menyarankan pembaca untuk membuka kumpulan puisi, kbbi, atau tesaurus kalau perlu. Karena tidak sedikit kita menemui diksi-diksi nan jatmika dari buku-buku tersebut.

Hal diatas inilah yang menentukan bagaimana sebuah cerita dianggap baik. Ketika sudah menguasai hal tersebut bukan tidak mungkin kita dapat membuat cerita yang tak kalah dari para penulis besar itu. Dan dalam bagaian kedua –tentang bentuk –  diatas itu (yang saya jabarkan diatas) anda mungkin dapat menyihir cerita remeh-temeh menjadi sesuatu yang luar biasa.  Sekian.



Doni Ahmadi
Agustus, 2016