Perihal menulis (Sebuah Penghantar
Sangat Ringkas)
Begini,
sebenarnya saya bukanlah penulis hebat apalagi sastrawan. Ya hanya seorang yang
suka membaca dan menulis ala kadarnya. Dan tentu saja dalam forum ini saya
hanya bertugas sebagai pemantik, jadi saya tentu bukan apa-apa, hanya seorang
yang mencoba berbagi ilmu saja.
Oh iya,
sebagai pendahuluan saya teringat kata seorang teman, begini “Banyak orang
bermimpi menjadi penulis, akan tetapi, sedikit dari mereka yang mau melalui
prosesnya, banyak yang mau menulis dengan indah, tetapi tidak mau membaca. Mereka
mengandalkan intuisi dan pengetahuan yang itu-itu saja, hingga jika membuat dua
juta sajak sekalipun, diksi dan isinya pun itu-itu saja. yang lain, hanya mau
membaca tanpa menulis, dengan alasan: aku ini ndak bisa nulis, Tapi mas HB
Jassin tidak menulis puisi, ia menulis apresiasinya tentang puisi orang lain.”
Begitu katanya, bukan main pedasnya.
Tentu,
saya mengamini pendapat beliau, dengan kata lain tak ada penulis besar tanpa
sebuah proses yang panjang. Apalagi yang berharap kesuksesan dalam beberapa
hari. Tentu, dunia tulis menulis bukan dunia entertain di mana sekali upload
langsung jadi pesohor (meski rata-rata hanya bertahan beberapa bulan saja). Ya,
dunia tulis menulis adalah dunia yang luar biasa rumit, lebih rumit dari musik
jazz ataupun fisika barangkali.
Dalam kesusastraan
era sekarang, mungkin seorang Eka Kurniawan bisa kita jadikan contoh. Saya
ingat, beliau ini dijuluki sebagai “Khazanah sastra dunia”. Tentu para kritikus
tidak asal sebut, dan tentu bisa kita lihat dari karya-karya beliau. Semisal
Cantik itu luka atau barangkali O dsb, lalu coba kita lanjutkan lagi dengan
membaca Seratus tahun kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, dan Animal Farm
karya Orwell. Tentu kita dapat membandingkannya sendiri. Entah dari segi
bentuk, maupun estetik. Lagipula Eka sendiripun tidak menutupi hal tersebut,
kita bisa lihat esai yang ditulisnya (red: Orbituari ‘Proses Kreatif’), tak
jarang ia menyebut tokoh-tokoh besar yang turut mempengaruhinya seperti
Marquez, James Joyce, Kawabata, Knut Hamsun, Kafka, Pram, Kho Ping ho, George
Lukacs, Nietczhe, Hegel, Marx dan
lainnya. (tentu metode inipun turut dilakukan penulis-penulis besar lainnya,
seperti Pram, Mangunwijaya dll)
Hal ini
tentu senada dengan pendapat dari Paulo Freire “Membaca (belajar) bukanlah mengonsumsi
ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide”. Hal ini lah yang lebih dulu
dilakukan oleh pengararang-pengarang besar. Mereka lebih dulu memngonsumsi ide
namun tak luput dengan esensi sesungguhnya : mencipta. Dan dalam dunia tulis
menulis, hal inilah yang tentu menjadi kunci.
Anda
tentu pernah mendengar anggapan bahwa sastra tidak turun dari langit. Benar
memang, lingkungan, budaya, adat, norma barangkali ikut ambil bagian, entah
sadar atau tanpa disadari hal itu pasti tercermin dari apa yang anda tulis.
Selama
keterpengaruhan itu ada di kutub positif, nikmatilah. Carilah
referensi-referesi, carilah sosok, carilah gaya, ketika sampai pada fase
menulis, menulislah sejujur-jujurnya, seada-adanya, dan ketika selesai, bacalah
kembali. Karena sebaik-baiknya penulis adalah seorang editor yang baik pula
untuk tulisannya.
Dalam
pembahasan tentang menulis ini, saya akan memfokuskan tentang penulisan prosa.
Lebih fokusnya adalah cerita pendek (selanjutnya saya akan sebut cerpen). Di
era sekarang ini, saya kira sudah tidak sulit untuk menemukan penulis-penulis
cerpen terkemuka, baik sastra dunia maupun sastra indonesia. Kita tentu
mengenal penulis-penulis tersohor macam Chekov, Wilde, Borges, maupun penulis
lokal seperti Seno, Putu Wijaya, AS Laksana, Triyanto Triwikromo, dll.
Tentu,
masing-masing dari mereka memiliki gaya tersendiri dalam penulisan prosa. Dari
diksi, tokoh, alur hingga substansi, saya pikir nama-nama diatas sudah tidak
bisa diragukan lagi. Ada yang begitu memukau dalam kalimat pembuka, ada yang
begitu memukau dalam bernarasi, adapula yang begitu memukau dalam menyusun
cerita. Mungkin kita tinggal hanya memilih salah satu dari mereka untuk
dijadikan contoh/kiat-kiat dalam menulis cerpen yang baik (saya tentu tidak
bilang bahwa penulis lain yang tidak saya sebutkan tidak baik, anda tentu
memiliki selera sendiri).
Dalam
cerita AS Laksana dan Triyanto contohnya, tak jarang kita temui sebuah prosa di
mana ketika kita baru sampai pada kalimat pertama/paragraf pertama kita seakan
sudah dimuat menggeleng-gelengkan kepala. Menurut sulak sendiri penentu sebuah
cerita itu terletak pada kalimat pertama, karena ketika seorang pembaca
dihadapkan dengan kalimat pertama yang memukau bukan tidak mungkin pembaca akan
meneruskan pembacaannya hingga akhir. Namun tidak sampai disitu.
Kita
coba beralih ke Seno, kekuatan dari seno bukanlah pada kalimat pertama, tetapi
pada narasi-narasi yang memukau. Entahlah, pembaca seperti digiring oleh
dalimat demi kalimat yang aduhai sampai kadang-kadang kita lupa apa cerita yang
kita baca. Bukan main memang seno.
Lalu ada
Putu Wijaya, penulis yang satu ini saya pikir tidak tanggung-tanggung dalam
membuat cerita, Putu tidak memberi keistimewaan diawal atau narasi-narasi yang
aduhai, tapi beliau memberikan substansi yang luar biasa dalam bercerita, dengan
kata lain Putu lebih fokus ke isi cerita meski begitu, ia tetaplah tidak bisa
dianggap remeh dalam bernarasi.
Jadi,
apalah yang kurang, saya pikir semua telah tersedia di era sekarang. Namun ada
hal yang ingin saya garis bawahi dalam sebuah cerita pendek, hal yang pertama-tama
(menurut saya, yang terpenting dalam sebuah cerita pendek) ialah isi/substansi.
Dalam sebuah cerita mungkin kita sering membaca tentang cerita-cerita remeh
semisal cerita tentang perempuan patah hati lalu ia menemukan cintanya dan
selesai begitu saja. Saya tidak bilang cerita itu buruk tapi alangkah lebih
baik bila kita pun memperhatikan substansi yang lebih dalam lagi, bukan hanya
sekedar cerita yang remeh temeh.
Dan
bagian kedua yang terpenting setelah isi/substansi itu ialah bentuk (logika
cerita, point of view/sudut pandang,
diksi/narasi). Dalam membuat cerita tentu logika cerita itu sangat penting,
karena tidak sedikit penulis yang luput, contohnya, semisal tokoh aku digambarkan
sebagai seorang yang lahir pada masa orde lama, lalu tiba-tiba ia ada kejadian penembakan
misterius (yang sesungguhnya terjadi di masa orde baru), hal ini tentu jadi tak
masuk akal. Lalu sudut pandang, tak sedikit penulis yang merubah pov dalam ceritanya, tentu saja harus
diperhatikan porsinya, contohnya, dalam satu cerita penulis menyajikan pov orang kedua namun hanya diberi porsi
satu peragraf dari tigapuluh paragraf dalam keseluruhan cerita. Sungguh kurang
aduhai tentunya. Dan yang terakhir adalah narasi, dalam hal narasi ini, saya
menyarankan pembaca untuk membuka kumpulan puisi, kbbi, atau tesaurus kalau
perlu. Karena tidak sedikit kita menemui diksi-diksi nan jatmika dari buku-buku
tersebut.
Hal
diatas inilah yang menentukan bagaimana sebuah cerita dianggap baik. Ketika
sudah menguasai hal tersebut bukan tidak mungkin kita dapat membuat cerita yang
tak kalah dari para penulis besar itu. Dan dalam bagaian kedua –tentang bentuk –
diatas itu (yang saya jabarkan diatas)
anda mungkin dapat menyihir cerita remeh-temeh menjadi sesuatu yang luar
biasa. Sekian.
Doni Ahmadi
Agustus, 2016
Agustus, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar