Minggu, 10 Maret 2013

Soal hak-hak Seniman yang Belum Terjawab


Soal hak-hak Seniman yang belum terjawab


  Saya menghadiri forum setelah saya baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan teater, dimana terdapat tiga orang yang menjadi pembicara pada forum tersebut. Salah seorang diantaranya adalah wakil rakyat dimana ia menduduki kursi DPRD sekaligus pemimpin sanggar tari di Jakarta timur, dan sisanya adalah pengurus TIM yang menjadi pembicara dan salah seorangnya lagi bertindak sebagai moderator.

  Mereka membuka forum dengan pembahasan hak-hak seniman. Ketika sang moderator menanyakan hal tersebut, seorang yang berpangkat sebagai wakil rakyat itu tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan, ia hanya menjawab bahwa seniman kita masih terhalang dengan regulasi kebudayaan yang belum  jelas dengan segala tetekbengek kebijakan. Ia pun menambahkan sebenarnya sudah ada peraturan SK tentang pelestarian budaya pada tahun 2010, di dalam SK itu terdapat beberapa point, yang pertama bagaimana pemerintah melindungi seniman, kedua  bagaimana pemerintah melestarikan kebudayaan dan seterusnya, tetapi SK itu pun tampaknya hanya sebuah omong kosong belaka tanpa bukti dan wacana tanpa realisasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada seorang dari pemerintah yang turun untuk melayani para seniman? sebutnya

  Tampaknya benar semua itu hanyalah sebuah rencana, baru rencana yang entah kapan akan terealisasikan. Berbicara mengenai proritas kebudayaan , kesenian dan bla bla bla.

  Saya pun kembali mendapatkan jawaban dari salah seorang yang menjabat sebagai salah seorang pengurus TIM, ia meminta maaf kepada komunitas Teater Kala yang baru saja menampilkan sebuah lakon, ia meminta maaf karena tidak diberikannya fasilitas yang baik ketika pementasan : selain tempat yang tidak layak untuk pementasan, lampu di TIM juga sempat mati. ia pun berkata sebenarnya hak dari seniman adalah sebuah fasilitas,tempat, dan wadah yang baik. sebagai seorang seniman kita memang berkewajiban untuk berkarya tapi kita pun memiliki hak , bukan terus menerus melakukan kewajiban tanpa menuntut hak.

  Dan saya berpikir apakah hak dari seniman hanya sebatas mendapatkan fasilitas yang baik saja? bukankan point- point diatas juga termasuk hak mereka?

  Dan sekarang yang menjadi pertanyaan apakah benar hak yang menjadi milik para seniman sudah diterima? Sedangkan fasilitas di sini (Jakarta) saya rasa masih bersifat komersil, karena banyak sekali seniman yang ingin sekali menggelar pertunjukan di GBB (Graha Bhakti Budaya) terpaksa harus menunda karena sewa yang harus dibayarkan untuk semalam sangatlah jauh melampaui harga jual mereka, bahkan penghasilan mereka dalam beberapa kali pentas mereka. Apakah selamanya fasilitas yang mewah hanya teruntuk seniman yang sudah memiliki harga jual yang tinggi?

  Apakah ada suatu kelas tertentu pada tiap seniman? Mungkin lebih tepat seniman yang telah lama ada, memiliki nama besar dan berpengalaman, tetapi pada hakikatnya setiap seniman itu sama rata, sama-sama patut berbangga menjadi seorang seniman, karena seniman berarti termasuk orang-orang yang kreatif, inovatif, serta mahir di bidang seni. Setiap seniman pun punya nilai tambah di dalam masyarakat.  lalu dimanakah hak mereka sebagai seorang seniman?

  Sebuah Dewan Kesenian dan Tempat dimana banyak orang mempertunjukan kesenian yang dinilai sebagai wadah para seniman pun tak mampu berbuat apa-apa. Mereka bilang ini arsip Negara yang harus dikelola, yang membutuhkan perombakan, perawatan dan lain-lain, tetapi apakah pantas caranya dengan memberikan harga sewa yang sangat tinggi untuk seniman yang ingin tampil? Seharusnya pengelola tahu dan memberikan sedikit kelonggaran harga sewa untuk para seniman yang ingin berkarya. Lalu dimanakah hak dari seniman bisa didapat?

  Apakah para seniman kita hanya bisa membiarkannya begitu saja, sepertinya sudah saatnya para seniman mengkritisi hal ini, kritisi disini bukan berarti tidak suka tetapi setiap seniman memang harus menjaga eksistensi seni dan karya yang sering teredam dengan kebijakan dan birokrasi. Kebijakan yang terus berubah-udah seiring bergantinya pemimpin. Kebijakan yang berisi janji-janji manis terhadap seniman tetapi hanya terwujud dalam bayangan semata, apakah setiap seniman hanya akan terus menunggu janji-janji manis itu?

  Memang kekuasaan yang menjadi penyebab utama disini. Setiap hadir pemimpin baru,  hadir pula kebijakan baru, begitupula masalah baru tanpa sempat menyelesaikan masalah yang dibawa oleh pemimpin yang lama.

  Tapi setidaknya kita masih memiliki kebebasan, kita masih bebas bersuara tidak seperti kisah El Espectador (sebuah harian) yang terjadi pada akhir abad 19 silam di Kolumbia. Mereka adalah surat kabar yang memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan negerinya, ketika itu pedalaman kolumbia memang jadi sarang obat bius bisnis yang mengasilkan miliaran dolar, tetapi menghancurkan manusia. El Espectador mencoba menyelidiki bagaimana jalinan hitam itu bekerja, alhasil banyak wartawan mereka yang terbunuh bahkan juga redakturnya, tetapi ada salah seorang dari mereka yang masih hidup, ia bernama Maria Jimena Duzan, ia terus bekerja ditengah teror. Karena apa? “Karena suatu masyarakat akan hancur sendi-sendinya bila sebuah kekuasaan bisa menggertak sampai semua orang ikut bungkam (berbohong) dengan apa yang sebenarnya” sebutnya, ia masih tetap melawan walau ujung bedil sudah siap menembus otaknya, ia ingin memberikan hak-hak masyarakat yang ingin mengetahui kondisi negerinya, ia ingin memberi informasi yang sebenar-benarnya walau jaraknya dengan kematian makin tipis.

  Begitu pula seniman kita, apakah akan terus tertahan dengan kekuasaan yang ada? apakah sendi-sendi seniman kita tidak sedikitpun merasakan sakit? Apakah seniman-seniman kita hanya bisa diam dengan kekuasaan yang tidak memberikan sedikitpun hak-hak yang sepatutnya menjadi miilk mereka.

  Tampaknya sudah saatnya para seniman memperjuangkan hal ini, saat ini kita tidak berada ditengah teror, kepala kita pun tidak akan tertembus peluru karena menyikapi hal tersebut. Apakah jutaan bahkan miliaran seniman kita tidak mampu mencontoh El Espectador yang semakin akrab dengan kematian dihari-harinya? Para seniman pun telah menjalankan kewajibannya dengan baik, berarti sudah sepatutnya para seniman menuntut hak-hak yang tidak diberikan.

  Apakah selamanya para seniman akan terus tertahan oleh kekuasaan? Dan hanya duduk tertib menunggu janji-janji dari para penguasa yang mungkin seperti menunggu hujan dibulan juni.


Dos “Boim” Santos
Jakarta, 10.03.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar