Soal hak-hak Seniman yang belum terjawab
Saya menghadiri
forum setelah saya baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan teater, dimana terdapat
tiga orang yang menjadi pembicara pada forum tersebut. Salah seorang
diantaranya adalah wakil rakyat dimana ia menduduki kursi DPRD sekaligus
pemimpin sanggar tari di Jakarta timur, dan sisanya adalah pengurus TIM yang
menjadi pembicara dan salah seorangnya lagi bertindak sebagai moderator.
Mereka membuka forum
dengan pembahasan hak-hak seniman. Ketika sang moderator menanyakan hal
tersebut, seorang yang berpangkat sebagai wakil rakyat itu tidak langsung
menjawab apa yang ditanyakan, ia hanya menjawab bahwa seniman kita masih
terhalang dengan regulasi kebudayaan yang belum jelas dengan segala tetekbengek kebijakan. Ia
pun menambahkan sebenarnya sudah ada peraturan SK tentang pelestarian budaya
pada tahun 2010, di dalam SK itu terdapat beberapa point, yang pertama
bagaimana pemerintah melindungi seniman, kedua
bagaimana pemerintah melestarikan kebudayaan dan seterusnya, tetapi SK
itu pun tampaknya hanya sebuah omong kosong belaka tanpa bukti dan wacana tanpa
realisasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada seorang dari pemerintah yang turun
untuk melayani para seniman? sebutnya
Tampaknya benar
semua itu hanyalah sebuah rencana, baru rencana yang entah kapan akan terealisasikan.
Berbicara mengenai proritas kebudayaan , kesenian dan bla bla bla.
Saya pun kembali
mendapatkan jawaban dari salah seorang yang menjabat sebagai salah seorang
pengurus TIM, ia meminta maaf kepada komunitas Teater Kala yang baru saja
menampilkan sebuah lakon, ia meminta maaf karena tidak diberikannya fasilitas
yang baik ketika pementasan : selain tempat yang tidak layak untuk pementasan,
lampu di TIM juga sempat mati. ia pun berkata sebenarnya hak dari seniman
adalah sebuah fasilitas,tempat, dan wadah yang baik. sebagai seorang seniman
kita memang berkewajiban untuk berkarya tapi kita pun memiliki hak , bukan
terus menerus melakukan kewajiban tanpa menuntut hak.
Dan saya berpikir
apakah hak dari seniman hanya sebatas mendapatkan fasilitas yang baik saja?
bukankan point- point diatas juga termasuk hak mereka?
Dan sekarang yang
menjadi pertanyaan apakah benar hak yang menjadi milik para seniman sudah diterima?
Sedangkan fasilitas di sini (Jakarta) saya rasa masih bersifat komersil, karena
banyak sekali seniman yang ingin sekali menggelar pertunjukan di GBB (Graha
Bhakti Budaya) terpaksa harus menunda karena sewa yang harus dibayarkan untuk
semalam sangatlah jauh melampaui harga jual mereka, bahkan penghasilan mereka dalam
beberapa kali pentas mereka. Apakah selamanya fasilitas yang mewah hanya teruntuk
seniman yang sudah memiliki harga jual yang tinggi?
Apakah ada suatu
kelas tertentu pada tiap seniman? Mungkin lebih tepat seniman yang telah lama ada, memiliki nama besar dan berpengalaman, tetapi pada hakikatnya setiap seniman itu sama rata,
sama-sama patut berbangga menjadi seorang seniman, karena seniman berarti termasuk
orang-orang yang kreatif, inovatif, serta mahir di bidang seni. Setiap seniman
pun punya nilai tambah di dalam masyarakat.
lalu dimanakah hak mereka sebagai seorang seniman?
Sebuah Dewan
Kesenian dan Tempat dimana banyak orang mempertunjukan kesenian yang dinilai
sebagai wadah para seniman pun tak mampu berbuat apa-apa. Mereka bilang ini
arsip Negara yang harus dikelola, yang membutuhkan perombakan, perawatan dan
lain-lain, tetapi apakah pantas caranya dengan memberikan harga sewa yang
sangat tinggi untuk seniman yang ingin tampil? Seharusnya pengelola tahu dan
memberikan sedikit kelonggaran harga sewa untuk para seniman yang ingin
berkarya. Lalu dimanakah hak dari seniman bisa didapat?
Apakah para seniman kita hanya bisa membiarkannya begitu saja, sepertinya sudah saatnya
para seniman mengkritisi hal ini, kritisi disini bukan berarti tidak suka
tetapi setiap seniman memang harus menjaga eksistensi seni dan karya yang
sering teredam dengan kebijakan dan birokrasi. Kebijakan yang terus
berubah-udah seiring bergantinya pemimpin. Kebijakan yang berisi janji-janji
manis terhadap seniman tetapi hanya terwujud dalam bayangan semata, apakah
setiap seniman hanya akan terus menunggu janji-janji manis itu?
Memang kekuasaan yang
menjadi penyebab utama disini. Setiap hadir pemimpin baru, hadir pula kebijakan baru, begitupula masalah
baru tanpa sempat menyelesaikan masalah yang dibawa oleh pemimpin yang lama.
Tapi setidaknya kita
masih memiliki kebebasan, kita masih bebas bersuara tidak seperti kisah El
Espectador (sebuah harian) yang terjadi pada akhir abad 19 silam di Kolumbia. Mereka
adalah surat kabar yang memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi di dalam kehidupan negerinya, ketika itu pedalaman kolumbia memang jadi
sarang obat bius bisnis yang mengasilkan miliaran dolar, tetapi menghancurkan
manusia. El Espectador mencoba menyelidiki bagaimana jalinan hitam itu bekerja,
alhasil banyak wartawan mereka yang terbunuh bahkan juga redakturnya, tetapi
ada salah seorang dari mereka yang masih hidup, ia bernama Maria Jimena Duzan,
ia terus bekerja ditengah teror. Karena apa? “Karena suatu masyarakat akan
hancur sendi-sendinya bila sebuah kekuasaan bisa menggertak sampai semua orang
ikut bungkam (berbohong) dengan apa yang sebenarnya” sebutnya, ia masih tetap
melawan walau ujung bedil sudah siap menembus otaknya, ia ingin memberikan
hak-hak masyarakat yang ingin mengetahui kondisi negerinya, ia ingin memberi
informasi yang sebenar-benarnya walau jaraknya dengan kematian makin tipis.
Begitu pula seniman
kita, apakah akan terus tertahan dengan kekuasaan yang ada? apakah sendi-sendi
seniman kita tidak sedikitpun merasakan sakit? Apakah seniman-seniman kita
hanya bisa diam dengan kekuasaan yang tidak memberikan sedikitpun hak-hak yang
sepatutnya menjadi miilk mereka.
Tampaknya sudah
saatnya para seniman memperjuangkan hal ini, saat ini kita tidak berada
ditengah teror, kepala kita pun tidak akan tertembus peluru karena menyikapi
hal tersebut. Apakah jutaan bahkan miliaran seniman kita tidak mampu mencontoh
El Espectador yang semakin akrab dengan kematian dihari-harinya? Para seniman
pun telah menjalankan kewajibannya dengan baik, berarti sudah sepatutnya para
seniman menuntut hak-hak yang tidak diberikan.
Apakah selamanya
para seniman akan terus tertahan oleh kekuasaan? Dan hanya duduk tertib
menunggu janji-janji dari para penguasa yang mungkin seperti menunggu hujan
dibulan juni.
Dos “Boim” Santos
Jakarta, 10.03.13
Jakarta, 10.03.13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar