Senin, 03 Desember 2012

Setangkai Mawar Di Jalan Kesenian


Setangkai Mawar Di Jalan Kesenian

O’iem Dos Santos


      Mataku mulai terbuka saat matahari berada di titik tengahnya , aku menegakan tubuhku dari peristirahatan singkat untuk memulai hari hariku kedepan yang mungkin sudah amat berat kulewati , kuambil sebuah alat pembantu langkahku yang terdapat di samping tempat peristirahatanku tepat di samping sebuah kotak kayu yang di desain untuk menaruh beberapa tumpukan buku didalamnya dan sebuah kaca diatasnya yang dapat kugunakan untuk melihat diriku sendiri , beberapa langkah kupijakan menuju pojok ruangan yang terdiri dari empat sisi itu, lalu ku ambil sebuah alat musik yang setiap petikanya selalu membuatku lebih bersemangat.
    Tidak lama kemudian seorang wanita yang kerap melayaniku datang dengan isyarat mengetuk pembatas antara ruanganku dengan ruang yang biasa digunakan untuk berkumpul bersama keluargaku, tok tok tok ketukan yang memberitahu aku akan kedatanganya terdengar.
    “den uka, sudah bangun” serunya
    “sudah bi, ada apa ?”
    “ini bibi sudah siapkan makan siang den, begitu pula pak jono, sudah menyiapkan mobil untuk mengantar den uka les siang ini, makananya mau bibi antar kedalam tidak den”
    “tidak usah bi biar taruh di meja makan saja, uka mau mandi dulu, terima kasih bi”
    “baiklah den nuwun”
beginilah kehidupan dengan keterbatasan segalanya harus dilakukan dengan pengamatan orang lain , padahal aku masih bisa sendiri,  sayang tuhan memberikanku waktu untuk sempurna hanya dua dekade saja, tapi sungguh ini adalah tantangan yang harus kuhadapi dari kaki gunung untuk sampai kepada puncak yang sungguh tidak mudah dan sebagai janji ku kepada ayah agar tidak mudah menyerah dengan kenyataan begitu saja.
    Kuselesaikan membersihkan tubuhku dan makan siangku, lalu segera keluar dari bangunan yang sudah menjadi tempat bernaungku selama bertahun tahun itu dengan restu dari Ayah, menuju kendaraan yang mengantarku tempat les musik ku dengan bantuan pak jono supir pribadi keluarga kami , kini kusudah tidak melanjutkan perguruan tinggiku, dan fokus terhadap kehidupanku sekarang, mendalami musik yang sangat kucintai ini dan berharap akan cerah kedepanya.
    Ditempat les yang jaraknya sekitar puluhan kilometer dari rumahku ini aku menimba berbagai ilmu tentang musik, tempat yang didirikan oleh musisi handal, sekaligus melahirkan banyak pula musisi yang handal, awalnya ku ragu karna aku mendapatkan banyak sekali tekanan disini, karna tidak sedikit temanku yang menghina keterbatasan ku ini , walau ada beberapa temanku yang selalu membantuku jika teman teman yang lain mengejeku, tapi ini tidak masalah buatku untuk apa menggubris argumen argumen yang akan membuat mentalku turun justru karna mereka aku malah lebih termotivasi lagi untuk berbuat lebih dari mereka, guru guruku pun senang sekali terhadapku karna akulah murid yang memiliki bakat lebih dari teman teman les ku yang lebih sempurna dari pada aku, sering sekali aku diajaknya pergi melihat konser instrumental musik dan diberi tugas lebih olehnya untuk memahaminya dan mempraktekanya. walau banyak sekali tugas yang diberikan oleh guru guru lesku dari menghafal sebuah nada, memahami scale pada nada major, minor maupun dominant dan membuat instrumental dari berbagai alat musik baik piano, keybord dan gitar, tapi tidak masalah buatku karna semakin hari aku merasa ilmuku semakin meningkat pesat meninggalkan teman temanku, terlebih saat akan diadakan test ,aku lah yang terlebih dahulu mereka ajarkan dari pada yang lain karena menurut guru guruku aku adalah siswa yang paling cepat memahami apa yang mereka berikan.
***
    Seusai les aku menolak jemputan pak jono karna aku ingin pergi ketempat yang mungkin menjadi kenangan terburukku selama hidupku ini, ia bernama jalan gedung kesenian ,sebuah jalan dimana tidak sedikitpun ku lupa bentuk rupanya , trotoar jalananya , penjual mawar yang selalu terlihat dipinggir jalanya bersama para pelukis karikatur , lampu berwana senjanya yang selalu bersinar tiap malam, halte buswaynya yang selalu beroperasi dari pukul enam pagi hingga pukul Sembilan malam dan museum kesenian yang berdiri tegak dengan karya karya seniman hebat negeri ini.
    Dengan langkah berat kumulai mengingat reka adegan yang terjadi itu, insiden disebuah malam yang kelam, yang terjadi ketika aku baru saja pulang dari acara reuni SMA ku, saat itu aku dalam keadaan setengah sadar karena konsumsi alkoholku saat itu melebihi batas kemampuanku, sambil mengendarai mobil dari arah gambir dengan kecepatan yang tinggi ku lewati semua mobil yang menghalangi jalanku bagaikan seorang pembalap kulakukan itu tanpa menginjakan kakiku pada pedal rem ,sungguh aku merasa amat bodoh ketika mengingat ingat itu, itu kulakukan tanpa tahu dampak negatifnya mungkin karena efek dari konsumsiku yang berlebihan sehingga tanpa sadar kulakukan semua itu itu. sesaat sebelum insiden ku terjadi aku sempat mendengar sebuah suara yang sudah tidak asing bagiku, suara yang telah lama tidak terdengar lagi, yaitu suara yang seperti keluar dari kerongkongan almarhum ibuku , kata katanya seperti ini “semoga dengan kejadian ini kau akan lebih bertanggung jawab Uka Apais anakku” dan setelah suara itu tiba aku langsung menabrak trotoar pembatas antara jalan busway dan jalan kendaraan umum, mobilku menabrak halte busway itu dan terpental puluhan meter ke arah selatan dari halte busway tersebut. Aku serasa ada didalam sebuah apolo yang sedang bergesekan dengan meteor ,tiba tiba seorang yang tadinya pembalap  yang bernyali itu berubah seketika seperti bocah yang terjebak kebakaran dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya, semua tubuhku terasa remuk saat itu tidak ada sedikitpun urat saraf yang mampu menjalankan sugestiku untuk bergerak keluar dari tumpukan besi yang sudah hancur ini hingga akhirnya ku tidak sadarkan diri dan berfikir sudah tidak dapat melihat dunia ini lagi.
    Ketika kedua kelopak yang menghalangi indera penglihatanku terbuka terdapat alat pembantu untuk bernafas terletak menutupu hidung dan mulutku, ternyata aku masih dapat melihat indahnya dunia ini walau saat itu aku berada dalam ruangan yang dipenuhi alat alat kedokteran , tiba tiba ayah datang dengan seorang laki laki yang berkacamata dan berpakaian serba putih lalu mereka berdiskusi dihadapanku, aku tidak mengerti apa yang mereka diskusikan itu, beberapa menit kemudian pria berkacamata yang memakai pakaian serba putih itu keluar, lalu ayah menghampiri aku dengan matanya yang berkaca kaca dan masih terlihat sedikit bekas air matanya , sesampainya di hadapanku ayah berkata
   “syukurlah Uka Apais anak ayah masih bisa selamat, maafkan ayah yang selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan ayah nak sehingga sering kali mengabaikanmu, kau adalah anak ayah satu satunya dan hadiah dari ibumu yang amat ayah cinta yang telah lebih dahulu meninggalkan kita, kini kau harus menerima kenyataan nak ,ayah berjanji setelah ini ayah akan selalu berada di sisimu dan selalu mendukung apa yang kau inginkan” begitulah kata kata ayah yang sama sekali aku tidak mengerti memang setelah kepergian ibu 7 tahun lalu ayah tidak pernah sedikitpun memberi waktunya sedikitpun untukku ia hanya bisa menyuruhku saja menuruti segala perintahnya. Tapi aku masih tidak mengerti kata katanya yang menyatakan aku harus menerima kenyataan ini padahal aku masih baik baik saja, ketika beberapa saat ku ingin ke kamar mandi untuk membuang air kecil aku mencoba bangun lalu ayah membantuku dan mengambilkan sebuah alat bantu yang biasa digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik untuk menuntunya berjalan, apa yang sedang ayah lakukan Tanya dalam hatiku lalu aku membuka alat bantu pernafasanku yang menghalangi bibirku untuk berbicara.
   “untuk apa tongkat itu ayah ?” tanyaku
   “kini alat ini akan selalu menemanimu nak,menuntun setiap langkahmu kemanapun yang kau kehendaki” jawabnya sambil mengeluarkan tetesan tetesan air dari matanya.
   “apa yang sebenarnnya terjadi ayah ?” tanyaku binggung dengan jawaban ayah tadi
   “kakimu terhimpit kerangka mobilmu nak dan didalam kakimu terjadi pembengkakan yang telah membunuh syaraf syarafmu sehingga tidak berfungsi lagi, sebelum pembengkakan itu menyebar luas tim medis segera mengamputasi kaki kirimu” tambahnya dengan isak tangis yang lebih dalam dan dengan mimik wajah yang mencoba tegar.
barulah aku tahu apa yang ayah maksud  ternyata aku bukanlah manusia yang sempurna lagi ,dan betapa hancurnya leburnya persaanku saat mengetahui itu, airmataku pun tidak mampu lagi kutahan, aku merasa hidupku sudah amat tidak berarti lagi, aku pun berteriak sekencang kencangnya
    “kenapa kau tidak langsung mencabut nyawaku Tuhan ? mengapa kau memberi cobaan yang tak dapat hamba terima !” berulang kali aku mengulangkan kata kata itu, lalu ayah mencoba menenagkanku dengan kata katanya.
    “bersabarlah nak , ayah yakin kau adalah anak yang kuat kau masih bisa melanjutkan mimpimu untuk menjadi musisi, kini kau tidak perlu lagi kuliah ayah akan memasukanmu ke tempat les musik yang selalu kau idam idamkan sejak dulu” seru ayah untuk meredam amarahku
    “tetapi aku sudah tidak sempunya ayah ! aku sekarang ini cacat !” jawabku dengan isak tangis yang amat mendalam kurasakan.
    “bukankan kau pernah melihat pertunjukan seorang musisi yang memainkan gitar tanpa kedua tanganya dan kau sangat mengaguminya karna keterbatasanya ia tetap kuat dan tidak menyerah , kau masih beruntung nak, kedua tanganmu masih utuh dan mimpimu tentu masih bisa kau raih, kini ayah akan selalu menyertaimu nak” mendengar kata kata ayah yang tadi itu aku kembali mengangis dan langsung ku peluk ayah
    “maafkan uka Ayah, uka terlalu terlarut dalam penderitaan ini dan tidak mau lagi berusaha , tetapi uka janji uka akan menjadi anak yang dapat ayah banggakan nanti walau fisik uka sudah tidak seperti dulu lagi”
    “itu baru anak ayah ,pasti ibumu sedang tersenyum diatas sana karna melihat anaknya yang gigih sepertimu”
Ayah langsung memeluku lagi dengan penuh air matanya yang membasahi kausku lalu kubalas pelukanya itu pula.
    Beberapa hari kemudian aku diizinkan pulang oleh dokter dan dapat beristirahat kembali ke rumah lagi , sesampai dirumah aku langsung menuju kamarku dengan bantuan pak jono ,setibanya di kamar kuliahat terdapat gitar baru , mungkin ini adalah hadiah dari ayah agar aku tidak terlarut dalam kesedihanku lagi , lalu ayah datang ke kamarku dan memberikanku sebuah jadwal yang tidak kuketahui itu apa lalu berkata.
   “ini adalah jadwal les mu nak, ayah sudah mendaftarkanmu itu dimulai dua pekan lagi, kini kau tidak perlu lagi kuliah teruskanlah impianmu yang sempat tertunda karena ego ayah, semoga kau dapat menjadi apa yang kau inginkan kelak” katanya dan langsung membiarkanku sendiri berfikir diruangan yang selalu kusinggahi untuk melawati malam malamku.
    Kata kata yang tidak dapat kulupakan hingga sekarang ,dan menjadi motivasi terbesarku untuk lebih baik kedepanya , kini kenangan pahit itu hanyalah sebuah cerita masa lalu, dan tempat ini adalah tempat yang merubah total hidupku , kubeli setangkai mawar dari penjual mawar yang masih berjualan disini , lalu kulemparkan mawar itu ke tengah jalan gedung kesenian ini sebagai tanda terima kasihku karna dari tempat yang amat kelam ini, aku dapat merubah hidupku seperti ini, menjadi seseorang yang lebih kuat dan tidak mudah menyerah, kupanggil taksi untuk mengantarku kembali ketempat bernaungku dan bersiap untuk mengikuti test musikku esok yang telah kupersiapkan matang matang untuk masa depanku.


Jakarta 07 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar