Pelurusan Sejarah dimulai dari Pendidikan
“Dan sejarah harus diketahui
betul oleh warganegaranya. Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri,
tanah airnya sendiri. Engkau gampang kesasar di tanah airmu sendiri”
(Anak Haram, Pramoedya Ananta Toer 1950. Cerita dari Blora)
(Anak Haram, Pramoedya Ananta Toer 1950. Cerita dari Blora)
Abdul Latief, salah seorang dari sepuluh
narapidana politik perkara G30S yang dibebaskan akhir maret 1999 mengatakan,
ingin meluruskan sejarah[1]
apa sebenarnya yang ingin diluruskan oleh mantan Komandan Brigade Infantri
Kodam V jaya itu?
Tampaknya pembeberan fakta sejarah itu
terutama berhubungan dengan Presiden kedua RI, Soeharto. Ia mencurigai bahwa
mantan komandanya semasa bergerilya di Yogyakarta itu terlibat kudeta berdarah
tahun 1965. Memang yang dikemukakan oleh Latief itu hanya melengkapi sekian
banyak versi tentang dalang G30S dan peristiwa pembantaian setelah itu.
Versi pertama terdapat dalam buku putih yang
dikeluarkan sekertariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah yang diajarkan
disekolah. Lalu ada Ben Anderson dan Ruth McVey mengemukan versi kedua dalam
buku yang dikenal Cornell paper,
sedang Antonie Dake dan John Hughes menyebut peristiwa itu sebagai scenario
Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagai perwira tinggi AD. Tampaknya memang
mustahil bila peristiwa sejarah yang berdarah itu dirancang oleh hanya pelaku
tunggal, dan pasti ada unsur internal dari dalam negeri dan eksternal (unsur
asing) menyebabkan pristiwa tersebut.
Memang yang dimaksud pelurusan sejarah itu
tidaklah lain, sejarah yang seragam masa Orde Baru akan menjadi beragam pada
zaman Reformasi. Setiap orang bebas mengemukan pandangan dari kacamata
masing-masing, meskipun tetap terikat pada kaidah-kaidah ilmu sejarah. Lalu
bagaimana dampaknya dalam pengajaran sejarah Nasional?
Sebagai seorang anak bangsa yang ingin tahu
betul sejarah bangsanya mungkin akan mencari kebenaran mengenai masa lampau,
sekaligus mencerdaskan diri bahkan menambah wawasan. Di Jepang ada buku sejarah[2]
yang menyebut tahun 660 SM sebagai tahun penciptaan negeri sakura oleh Dewi
Amaterasu. Ketika bukti arkeologi menunjukan bahwa itu tidak benar, kalangan Nasionalis
ekstrem pun ikut beraksi keras. Mereka mempertanyakan keabsahan bukti itu.
Lalu ada dari negeri kita sendiri, seorang
tokoh yang diasingkan dalam sejarah Revolusi, Ia adalah Tan Malaka. Tidak
sedikit orang yang mengenal sosoknya, bahkan dalam sebuah buku[3] tertulis
“Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang
Kesepian” memang terdapat faktor dalam pengasingannya di negerinya sendiri.
Pertama kerena ia seorang Komunis, titel itu rupanya yang membuat Tan Malaka
ditakuti oleh pengusaha Hindia-Belanda sampai pada pemerintahan rezim Orde Baru,
yang terburuk ia harus menerima hukuman eksekusi mati dari bangsa yang ia
perjuangkan itu di bawah kaki Gunung Wilis desa Selopanggung, Kediri Jawa
tengah[4].
Contoh di atas menunjukan bahwa demi
kepentingan tertentu, sejarah bisa direkayasa. Sangat penting memang bila
pengajaran sejarah dipadukan dengan pendidikan Moral, Geografi, dan Bahasa. Dan
yang terpenting adalah wawasan yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara
Baik Guru maupun para orang tua mengenai bangsa, jati diri dan masa lalunya.
Karena pengetahuan atas sejarah ini dapat membimbing anggota masyarakat agar
terhindar dari propaganda ideologis yang disampaikan para penguasa. Namun
demikian, kebenaran itu jelas tidak satu atau dengan kata lain hanya satu pihak
saja yang menganggap apa yang disampaikanya itu benar.
Kini kita masuk dalam Reformasi pendidikan
dan sistem pengajaran, ternyata sangat banyak masalah dalam dunia pendidikan
kita ini, termasuk sistem pengajaran disekolah. Para tokoh pendidikan kritis
seperti Paulo Freire, Michle Apple, Piere Bourdieu dan Ivan Illich
berpandangan. Pendidikan dilihat sebagai subordinasi kekuasaan elite, lalu
Freire menyatakan pendidikan merupakan alat penindasan untuk itu tujuan
pendidikan idealnya memanusiakan manusia.[5]
Apple meyakini sekolah melaui kurikulum merupakan alat hagemoni bagi kelompok
dominan.[6]
Beberapa pandangan dari para tokoh pendidikan
kritis tersebut harus kita akui terjadi dalam dinamika pendidikan di Indonesia.
Dan masalah yang benar-benar dialami adalah dalam ujian yang memakai pilihan
ganda.
Dalam sistem tersebut dari satu pertanyaan
hanya tersedia sebuah jawaban yang benar dan murid hanya tinggal menyilang atau
membulati jawaban yang dinilai benar. Tetapi seringkali muncul pertanyaan
bahkan jawaban yang membingungkan, terkadang pada kolom jawaban terdapat dua
jawaban yang benar dan yang terparah tidak ada sama-sekali jawaban. Sedang para
siswa tidak memiliki banyak waktu untuk mendiskusikan hal ini kepada gurunya,
tetapi hanya dipaksa menjawab sesuai kemauan para guru.
Bukankah jelas-jelas salah bila sejak dini
anak didik sudah dibiasakan untuk mengerjakan hal yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan akal sehat dan nuraninya. Untuk pelajaran Matematika ini
masih bisa diterapkan, tetapi untuk sejarah, hal ini sungguh tidak wajar dan
malah menambah bobrok pengetahuan akan sejarah yang sebenarnya. Mungkin ini
dapat teratasi dengan sistem esai, jawaban yang diterima pun akan beragam
karena seorang siswa pasti menjawab sesuai dengan pengetahuannya yang
diperoleh.
Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang
tak pernah usang karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan baru, sebuah
cara untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dari berbagai sudut
pandang, versi dan kacamata. Sejalan dengan itu pendidikan pun memiliki
vitalitas besar, memiliki buku ajar dengan berbagai macam versi yang mengandung
suatu peristiwa pun akan lebih mendongkrak para siswa agar berwawasan lebih.
dan yang terpenting dalam pelajaran sejarah sedikit banyaknya dapat menyumbang
kepada cara berpikir dan pencapaian masyarakat Indonesia yang kan lebih
bersifat Nasionalis, menghargai Bangsanya serta Tanah Air di masa sekarang
maupun mendatang.
Boim Dos Santos
Jakarta, 04.06.13
Jakarta, 04.06.13
[1] Asvi Warman, dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah, penerbit
buku kompas 2009
[2] Historie et Eeriture de I’historie 1984, P. Souyri Le Moyen Age
Japonas
[3] Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta Lp3S 1978
[4] Iwan Santosa, Misteri Kematian Tan Malaka Terungkap, Kompas
2007
[5] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta LP3S,
2008)
[6] Michael W. Apple, Educatian and Power (New York 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar