Minggu, 09 Juni 2013

Pelurusan Sejarah dimulai dari Pendidikan

Pelurusan Sejarah dimulai dari Pendidikan

“Dan sejarah harus diketahui betul oleh warganegaranya. Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri. Engkau gampang kesasar di tanah airmu sendiri”
(Anak Haram, Pramoedya Ananta Toer 1950. Cerita dari Blora)

  Abdul Latief, salah seorang dari sepuluh narapidana politik perkara G30S yang dibebaskan akhir maret 1999 mengatakan, ingin meluruskan sejarah[1] apa sebenarnya yang ingin diluruskan oleh mantan Komandan Brigade Infantri Kodam V jaya itu?

  Tampaknya pembeberan fakta sejarah itu terutama berhubungan dengan Presiden kedua RI, Soeharto. Ia mencurigai bahwa mantan komandanya semasa bergerilya di Yogyakarta itu terlibat kudeta berdarah tahun 1965. Memang yang dikemukakan oleh Latief itu hanya melengkapi sekian banyak versi tentang dalang G30S dan peristiwa pembantaian setelah itu.

  Versi pertama terdapat dalam buku putih yang dikeluarkan sekertariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah yang diajarkan disekolah. Lalu ada Ben Anderson dan Ruth McVey mengemukan versi kedua dalam buku yang dikenal Cornell paper, sedang Antonie Dake dan John Hughes menyebut peristiwa itu sebagai scenario Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagai perwira tinggi AD. Tampaknya memang mustahil bila peristiwa sejarah yang berdarah itu dirancang oleh hanya pelaku tunggal, dan pasti ada unsur internal dari dalam negeri dan eksternal (unsur asing) menyebabkan pristiwa tersebut.

  Memang yang dimaksud pelurusan sejarah itu tidaklah lain, sejarah yang seragam masa Orde Baru akan menjadi beragam pada zaman Reformasi. Setiap orang bebas mengemukan pandangan dari kacamata masing-masing, meskipun tetap terikat pada kaidah-kaidah ilmu sejarah. Lalu bagaimana dampaknya dalam pengajaran sejarah Nasional?

  Sebagai seorang anak bangsa yang ingin tahu betul sejarah bangsanya mungkin akan mencari kebenaran mengenai masa lampau, sekaligus mencerdaskan diri bahkan menambah wawasan. Di Jepang ada buku sejarah[2] yang menyebut tahun 660 SM sebagai tahun penciptaan negeri sakura oleh Dewi Amaterasu. Ketika bukti arkeologi menunjukan bahwa itu tidak benar, kalangan Nasionalis ekstrem pun ikut beraksi keras. Mereka mempertanyakan keabsahan bukti itu.

  Lalu ada dari negeri kita sendiri, seorang tokoh yang diasingkan dalam sejarah Revolusi, Ia adalah Tan Malaka. Tidak sedikit orang yang mengenal sosoknya, bahkan dalam sebuah buku[3] tertulis “Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian” memang terdapat faktor dalam pengasingannya di negerinya sendiri. Pertama kerena ia seorang Komunis, titel itu rupanya yang membuat Tan Malaka ditakuti oleh pengusaha Hindia-Belanda sampai pada pemerintahan rezim Orde Baru, yang terburuk ia harus menerima hukuman eksekusi mati dari bangsa yang ia perjuangkan itu di bawah kaki Gunung Wilis desa Selopanggung, Kediri Jawa tengah[4].

  Contoh di atas menunjukan bahwa demi kepentingan tertentu, sejarah bisa direkayasa. Sangat penting memang bila pengajaran sejarah dipadukan dengan pendidikan Moral, Geografi, dan Bahasa. Dan yang terpenting adalah wawasan yang harus dimiliki oleh setiap warga Negara Baik Guru maupun para orang tua mengenai bangsa, jati diri dan masa lalunya. Karena pengetahuan atas sejarah ini dapat membimbing anggota masyarakat agar terhindar dari propaganda ideologis yang disampaikan para penguasa. Namun demikian, kebenaran itu jelas tidak satu atau dengan kata lain hanya satu pihak saja yang menganggap apa yang disampaikanya itu benar.

  Kini kita masuk dalam Reformasi pendidikan dan sistem pengajaran, ternyata sangat banyak masalah dalam dunia pendidikan kita ini, termasuk sistem pengajaran disekolah. Para tokoh pendidikan kritis seperti Paulo Freire, Michle Apple, Piere Bourdieu dan Ivan Illich berpandangan. Pendidikan dilihat sebagai subordinasi kekuasaan elite, lalu Freire menyatakan pendidikan merupakan alat penindasan untuk itu tujuan pendidikan idealnya memanusiakan manusia.[5] Apple meyakini sekolah melaui kurikulum merupakan alat hagemoni bagi kelompok dominan.[6]

  Beberapa pandangan dari para tokoh pendidikan kritis tersebut harus kita akui terjadi dalam dinamika pendidikan di Indonesia. Dan masalah yang benar-benar dialami adalah dalam ujian yang memakai pilihan ganda.

  Dalam sistem tersebut dari satu pertanyaan hanya tersedia sebuah jawaban yang benar dan murid hanya tinggal menyilang atau membulati jawaban yang dinilai benar. Tetapi seringkali muncul pertanyaan bahkan jawaban yang membingungkan, terkadang pada kolom jawaban terdapat dua jawaban yang benar dan yang terparah tidak ada sama-sekali jawaban. Sedang para siswa tidak memiliki banyak waktu untuk mendiskusikan hal ini kepada gurunya, tetapi hanya dipaksa menjawab sesuai kemauan para guru.

  Bukankah jelas-jelas salah bila sejak dini anak didik sudah dibiasakan untuk mengerjakan hal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan akal sehat dan nuraninya. Untuk pelajaran Matematika ini masih bisa diterapkan, tetapi untuk sejarah, hal ini sungguh tidak wajar dan malah menambah bobrok pengetahuan akan sejarah yang sebenarnya. Mungkin ini dapat teratasi dengan sistem esai, jawaban yang diterima pun akan beragam karena seorang siswa pasti menjawab sesuai dengan pengetahuannya yang diperoleh.

  Sejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan baru, sebuah cara untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dari berbagai sudut pandang, versi dan kacamata. Sejalan dengan itu pendidikan pun memiliki vitalitas besar, memiliki buku ajar dengan berbagai macam versi yang mengandung suatu peristiwa pun akan lebih mendongkrak para siswa agar berwawasan lebih. dan yang terpenting dalam pelajaran sejarah sedikit banyaknya dapat menyumbang kepada cara berpikir dan pencapaian masyarakat Indonesia yang kan lebih bersifat Nasionalis, menghargai Bangsanya serta Tanah Air di masa sekarang maupun mendatang.


Boim Dos Santos
Jakarta, 04.06.13




[1] Asvi Warman, dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah, penerbit buku kompas 2009
[2] Historie et Eeriture de I’historie 1984, P. Souyri Le Moyen Age Japonas
[3] Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta Lp3S 1978
[4] Iwan Santosa, Misteri Kematian Tan Malaka Terungkap, Kompas 2007
[5] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta LP3S, 2008)
[6] Michael W. Apple, Educatian and Power (New York 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar