Rabu, 03 Juni 2015

Artikel ilmiah

MENONTON KEMBALI LENONG BETAWI, SEBUAH GEJOLAK KEBUDAAYAAN DALAM MASYARAKAT MODERN

Doni Ahmadi

Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka, Jakata Timur, DKI Jakarta
Telepon (021) 4893726




ABSTRAK

Lenong betawi yang eksistensinya kian pudar dalam masyarakat Modern dikaji dengan tujuan meredukasi kesadaran budaya dengan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara. Untuk mencapai sebuah pelestarian budaya, membutuhkan pengenalan lebih jauh perihal budaya agar tidak pudar seiiring dengan modernitas.

Kata kunci: Lenong Betawi, Pelestarian Budaya, Modernitas.











PENDAHULUAN

Umumnya jarang disadari kalau drama itu sungguh penting, jarang para pengajar sastra maupun pegiat sastra yang mengedepankan drama dibanding genre sastra lain. Yang terjadi sejauh ini para pengajar dan pegiat sastra justru sibuk dengan memahami fiksi dan puisi padahal sesungguhnya drama itu seni yang kompleks.

Di era modern ini Banyak yang berasumsi drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini hampir semua drama yang dipentaskan untuk ditonton, drama tanpa penonton jelas sulit ditafsirkan, apakah menarik atau tidak. Karena yang dapat memberikan apresiasi adalah penonton. 

Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh, dikatakan serius artinya drama butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbangan. Yang digarap adalah akting agar memukau penonton. Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa dalam drama adalah “a representation of an action” action adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Dalam drama itu terjadi “a play” artinya permainan atau lakon.

Dalam hal ini saya menitik beratkan pada seni pertunjukan (drama) yang lebih tradisional yaitu Lenong Betawi. Lenong betawi termasuk kedalam drama komedi tradisional yang ada di Indonesia. Dr Suwardi Endraswara seorang pengajar di UNY menyatakan dalam bukunya . Melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagi suatu pembukaan tabir rahasia mengenaiuntuk apa manusia menentang/melawan dan untuk apa pula mempertahankan atau membela sesuatu.

Lenong Betawi atau yang bisa kita sebut teater tradisional ini memang memiliki fungsi khusus di dalam daerah. Sedyawati (1981) pernah mempertanyakan hadirnya teater tradisi, teater yang belakang sering disebut tradisi lisan tersebut biasanya membawakan kisah-kisah lokal. Biarpun kisahnya lokal namun bisa jadi memiliki nilai global. Teater tradisional tetap sebagi drama atau sandiwara yang masih patut dilestarikan. Teater Tradisional tetap menawarkan nilai-nilai baru yang mungkin lebih spektakuler. garapan teater tradisional tidak hanya menyangkut moral tetapi juga banyak upaya bagaimana menyedot penonton agar lebih betah.

Berdasarkan hal tersebut, masalah yang diamati dalam penelitian ini adalah apakah Lenong  Betawi sebagai sebuah seni pertunjukan Teater Tradisional dapat terus hadir, dikenal dan dinikmati oleh masyarakat di era modern ini.
Penelitian ini bertujuan mendapat deskripsi yang lengkap terhadap seni pertunjukan Teater tradisional yaitu Lenong Betawi sekaligus bertujuan untuk kembali memperkenalkan apa itu Lenong betawi.


PERIHAL SENI PERTUNJUKAN LENONG

Pengertian Sandiwara Lenong
Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta.  Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan

Lenong Betawi
dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Lenong Betawi adalah kesenian berupa sandiwara yang asli dari Jakarta.   Lenong sudah dikenal sejak tahun 1920-an, pertunjukan Lenong diiringi musik gambang kromong. Pertunjukan Lenong biasanya diawali dengan menampilkan lagu-lagu khas Betawi, seperti kicir-kicir, Cente Manis, Surilang,

Keramat Karem dan Balo-balo.
Lakon yang ditampilkan dalam pertunjukan Lenong Betawi umumnya berkisar tentang kehidupan sehari-hari, misalnya kisah rumah tangga, percintaan dua insan, tuan tanah, jagoan-jagoan dan sebagainya. Tentunya kisah-kisah tersebut sudah dibumbui unsure bodoran alias lawakan, sehingga pertunjukan pun terlihat lucu, semarak dan seru. Bahasa yang digunakan pada pertunjukan Lenong adalah bahasa Betawi Kasar atau Betawi Ora. Para pemainnya dirias dan menggunakan kostum sesuai dengan perannya masing-masing.

Sejarah Sandiwara Lenong
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Sandiwara Lenong
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung dengan alat penerang obor. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, Tile, Nori, dan Anen.

Perkembangan Sandiwara Lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-setting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Lakon-lakon cerita Lenong Denes yang masyhur misal, Si Pitung, Nyai Dasimah, Si Jampang  Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam yang diadaptasi menjadi cerita lokal.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes, terutama karena sindiran-sindiran, kritikan-kritikan, parodi-parodi, dan humor melodramatik yang sering muncul dalam lenong preman sangat digemari masyarakat.
Gambang Kromong adalah satu kesenian masyarakat Betawi (kini Jakarta). Alat musik ini terdiri dari alat musik tehyan, kongahyan, dan sukong. Dan alat lainnya, gendang, kecrek dan gong. Kesenian ini, sebenarnya perpaduan antara kesenian etnis Tionghoa dan Betawi.
Dalam masyarakat Betawi, gambang kromong biasanya menjadi pengiring acara-acara pernikahan, sunatan, dan lainnya. Kesenian ini juga menjadi musik pembuka pementasan lenong Betawi. Kesenian musik Betawi lainnya yang terkenal, yakni Tanjidor dan topeng Betawi sebagai seni teaternya.

Dulunya, lenong Betawi diperdengarkan untuk masyarakat strata sosial dari kalangan raja dan bangsawan. Dari lingkungan itulah, akhirnya ada ungkapan yang terlontar dari kalangan sosial jelata; kayak raja lenong. Sindiran ini ditunjukkan kepada orang yang bergaya feodal.

  
RUMUSAN MASALAH

Pelestarian budaya adalah suatu hal yang krusial dalam membudayakan budaya, Melestarikan sebuah pementasan Tradisional Betawi berupa Lenong salah satunya adalah hal yang harus dilakukan guna menjaga budaya multikultur Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana ada seorang narasumber yang akan diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa buku yang merujuk kepada penelitian tersebut.


KERANGKA TEORI

Tradisi pementasan Lenong  merupakan tradisi yang telah menjadi kultur di tanah Betawi, yang memang sudah seharusnya menjadi identitas budaya betawi. Namun seiringnya dengan modernitas yang ada dan perkembangan zaman, warna budaya yakni tradisi pementasan lenong sudah menjadi hal yang sepertinya mendapatkan pemakluman jika sudah sedikit terlupakan oleh modernitas. 

Masyarakat modern, terutama masyarakat yang sudah berada pada era teknologi canggih seperti pada masyarakat di negara maju yang jelas paradigmanya berbeda bahkan bertentangan dengan masyarakat tradisional. Meskipun demikian, masyarakat modern telah memilki cara pandang yang berbeda baik mengenai hakikat masa lampau dan tradisi bahwa secara keseluruhan kehidupannya ditentukan oleh masalah-masalah keilmuan. Selama manusia terdiri atas dua dimensi yang berbeda—jasmani dan rohani dimana apabila kedua dimensi tersebut ditampilkan secara proporsional maka sastra tetap berperanan dan relevan. Disinilah tampak peranan dimensi-dimensi kehidupan yang lain, dalam hubungan ini masalah-masalah yang berkaitan dengan kerohanian terutama sastra dan sebuah panggung kebudayaan. Dengan menonton sebuah pementasan tradisional masyarakat dapat menegerti apakah yang dimaksudkan dari pementasan itu seperti yang kita ketahui Drama (sandiwara) adalah karya sastra dialogis, karya tidak turun begitu saja dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama tak lepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detail atau tidak, dia dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif. Pada keseluruhannya karya sastra benar-benar bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Kemajuan dalam bidang teknologi tidak perlu diartikan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan tradisi maupun karya seni harus dihapuskan, namun sebaliknya kemajuan dalam bidang fisik maupun bidang jasmaniah harus diimbangi dengan kemajuan dalam bidang rohaniah. Dengan kalimat lain, kemajuan kebudayaan sebagai sistem makro mensyaratkan kemajuan aspek-aspek sebagai sistem mikro khususnya dalam kehidupan sehari-hari.  Karya seni jelas merupakan kebutuhan sehari-hari meskipun bukan dalam pengertian kebutuhan praktis.

Kebudayaan indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi geografis misalnya dengan membandingkan antara desa dengan kota dan kemajuan teknologi yang berhasil dicapai maka dengan membandingkan antara tradisi llisan dengan tulisan pada dasarnya didominasi oleh kebudayaan tradisional. Karya-karya warisan budaya dalam tradisi lisan sendiri merupakan khazanah tradisional. Hanya sebagian kecil hasil-hasil karya yang menggunakan bahasa Indonesia merupakan warisan nasional sebagai khazanah kebudayaan kontemporer. Kebudayaan ini tampak dominan karena penyebarannya yang hampir merata sebagai dampak teknologi dan politik kebudayaan nasional. Dalam hubungan ini, diperlukan tanggapan masyarakat pendukungnya dimana suatu kesadaran yang pada gilirannya berubah menjadi tanggung jawab untuk melestarikan sekaligus mengembangkannya. Jelasnya, banyak masyarakat yang memiliki dan menyimpan warisan masa lampau tetapi, tidak semuanya berhasil untuk memeliharanya.

Sebagai tradisi kultur, Lenong merupakan sebuah karya sastra dalam bentuk pertunjukan yang mana dapat menjadi ciri darimana Lenong itu berpijak. Bicara menenai darimana kebudayaan itu berasal berarti membahas sebuah Lokalitas, yaitu tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga.
Adapun faktor penyebab terlupakannya tradisi pementasan Lenong adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan budaya sendiri seiring dengan berjalannya modernisasi yang menonjolkan teknologi. 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis teks dan teknik wawancara, yang mana ada seorang pakar/narasumber yang akan diwawancarai perihal Lenong Betawi dan beberapa buku yang merujuk kepada penelitian tersebut. Teknik wawancara dipilih karena akan memberikan data yang valid, bersifat objektif, dapat dipertanggungjawabkan sekaligus menambahkan informasi yang kurang yang terdapat di dalam teks. Data penelitian ini saya dapatkan dari warga asli Betawi, yaitu Bapak Syaifudin Amri, seorang sutradara Lenong yang sudah menggiati seni tradisional ini sejak lama. 

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan hasil wawancara akan dilampirkan. Kemudian data tersebut akan diidentifikasi untuk memperoleh simpulan yang relevan dengan tujuan penilitian. Sebagai penunjang analisis, penelitian ini dilengkapi dengan studi pustaka.


PEMBAHASAN

Dari hasil observasi dan wawancara yang telah penulis lakukan. Penulis memberikan empat soal pertanyaan perihal Lenong dan narasumber menjawabnya satu per satu. Sebenarnya tardapat dua narasumber namun narasumber pertama yang penulis temui dibilangan setu babakan tidak dapat menjawab pertanyaan apa yang penulis berikan pada akhirnya penulis menemui narasumber lain yang diketahu sebagai pakar/ahli dalam dunia seni pertunjukan lenong. Demikianlah hasil wawancara saya dengan bapak Syaiful Amri: 

1. Bisakah Bapak ceritakan sedikit sejarah tentang Lenong?
2. Menurut Bapak apakah yang membedakan lenong dengan teater?
3. Mengapa dalam lenong sekarang terdapat unsur Religiusitas?
4. Bagaimanakan pertunjukan lenong di era modern ini adakah perubahan-perubahan yang terjadi, bentuk lenong yang dulu dengan lenong sekarang (kontemporer)?
Hingga sampailah saya dengan jawaban ini.

1. Lenong itu awalmulanya berasal dari orang-orang pasar (sekitar tahun 20an) dimana orang-orang itu tidak memiliki hiburan, seprti tv, radio dan lainnya. Maksud dari orang-orang pasar itu ialah masyarakat yang pada tiap pagi menjajakan dagangannya berkeliling menuju kampung cina, kampung arab, dan lainnya hingga larut malam berkumpullah mereka dipasar. Karena tidak ada hiburan inilah mereka akhirnya saling berkumpul dan menceritakan pengalamannya disaat berdagang, mereka menceritakan bagaimana mereka berdagang lalu para pembeli dengan gaya masing-masing, hal itu mereka lakukan hampir setiap malam, hingga mereka berpikir bagimana kalau ketika bercerita dikasih unsur musik. Tetapi saat itu alat musik belum ada lalu yang ada hanya ember, panci, penggorengan yang bunyinya nang-neng-nong nang-neng-nong maka disebutlah jadi lenong. Diperkembangannya sekitar tahun 1930 lenong terbagi menjadi dua yaitu lenong “Denes” dan lenong “Preman”, kalau lenong preman biasanya berkisah tentang para jawara setempat misalnya Pitung, Jampang, Ronda dan lain sebagainya. Sedang dalam lenong denes biasanya menceritakan tentang cerita kerajaan atau cerita 1001 malam yang menjadi cirri khas lenong denes ini adalah selalu ditampilkan tokoh jin. Yang membedakan diantara kedua jenis lenong itu adalah dari segi cerita dan bahasa, bahasa yang digunakan dalam lenong preman adalah bahasa sehari-hari semisal kata Lo-Gue sedang dalam lenong denes menggunakan bahasa melayu tinggi semisal kata hambaku karena unsur latar pementasan ini adalah kerajaan. Dalam kedua lenong itu terdapat sebuah pakem, yakni musik gambang kromong jika bukan musik gambang kromong sudah bisa dipastikan itu bukanlah pementasan lenong.

2. Perbedaan antara lenong dengan teater sebenarnya tidak ada karena keduanya adalah sama-sama jenis pertunjukan, mungkin yang membedakan adalah teater lebih modern dan lenong masih tradisional. Selain itu yang menjadi pembeda adalah jika teater itu sudah terkonsep dalam artian para pemainnya sudah menghafal teks lalu tidak ada interaksi dengan penonton, sedang dalam lenong yang menjadi kekuatan adalah kekuatan improvisasi dan adanya interaksi dengan penonton inilah yang menjadi pembeda antara lenong dengan teater.

3. Mengapa lenong dikatakan selalu ada unsur Religius, sebenarnya balik lagi kepada asal muasal lenong yang dimulai dari orang-orang pasar yang saya sebutkan, orang-orang ini termasuk orang-orang betawi pinggir, nah setelah orang-orang betawi tengah mulai mengikuti munculan unsur-unsur religiusitas dalam lenong, sehingga dalam lenong sekarang muncullah tokoh-tokoh ustad, kiai dan sebagainya.

4. Sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan dari lenong yang ada terdahulu dan yang ada dimasa sekarang (kontemporer), lenong masih dengan powernya yaitu improvisasi dari para pemainnya dan kekuatan interaksi dari para pemain kepada penonton. Yang berubah mungkin dari segi cerita, seiring dengan era modern yang berkembang cerita lenong juga berubah mengikuti perkambangan zaman.

Berdasarkan wawancara diatas terdapat perbedaan antara teks dan pelaku kebudayaan itu sendiri, namun terdapat satu titik temu dimana dalam pendahuluan sudah dijelaskan tentang bagaimana seni pentunjukan adalah sebuah bentuk kesenian yang komplek, lalu dalam seni tradisional terdapat pembeda dari seni-seni pertunjukan modern. Dari analisis yang singkat ini semoga kita dapat memaknai pentingnya sebuah kebudaan dan mencoba kembali mengenalinya dari berbagai sudut pandang. Karena pada akhirnya kebenaran adalah suatu yang subjektif, maka itu penulis memberikan dua sudut pandang dari sebuah pementasan Lenong menurut teks dan menurut ahli/narasumber.  


PENUTUP

Menyaksikan sebuah pertunjukan budaya di era modern ini memanglah sudah menjadi hal yang sangat klasik atau bisa dibilang menjadi sebuah minoritas pada dinamika masyarakat modern sekarang ini. Masyarakat modern sekarang ini memang lebih suka menonton film, menyaksikan konser musik, atau menonton pertandingan sepak bola di stadion dan lainnya. Gejala sosial inilah yang membuat sebuah pertunjukan budaya seperti sebuah hal yang sangat mahal seperti halnya mendengarkan musik dari sebuah piringan hitam yang sudah sangat sulit ditemui pada zaman ini. Sebuah pertunjukan budaya ini lah asal muasal sebermulanya hiburan yang beredar dalam sebuah masyarakat, sebuah hal yang sangat ditunggu-tunggu pada masanya di mana sebuah pertunjukan menjadi sebuah pusat perhatian masyarakat tradisional. Masyarakat yang dibesarkan oleh kebudayaan.

Perihal kebudayaan terdapat banyak sekali definisi mengenai kebudayaan, defini yang paling tua sekaligus paling luas berasal dari E.B Tylor yang dikemukakan dalam bukunya Primitive Culture (1871). Menurut Tylor, kebudayaan ialah keseluruhan aktivitas manusia , termasuk pengetahuan, kepercayaan,seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain, yang juga senada dengan Tylor sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat diberikan oleh Marvin Harris –Seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar termasuk pikiran dan tingkah laku .

Menurut Koentjaraningrat (1974) kata kebudayaan berasal dari buddhaya (sansekerta) sebagai bentuk jamak dari  buddhi yang berarti akal. Disamping kebudayaan, terdapat istilah lain yang berkaitan yaitu peradaban (dari akar kata adab bahasa arab). Dalam tradisi barat, peradaban berarti warga negara. Jadi, secara etimologis kebudayaan dan peradaban adalah sinonim, keduanya berarti keseluruhan hidup masyarakat manusia.  Meskipun demikian, dalam perkembangan selanjutnya pada umumnya peradaban diartikan sebagai bentuk-bentuk kebudayaan yang paling tinggi, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, sistem ketata negaraan dan sebagainya .

Dari pengertian diatas kebudayaan memang akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu, akan selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi selaras dengan modernitas. Namun ketika budaya yang dahulu menjadi sebuah pusat perhatian, ciri dari sebuah peradababan tertentu yang menjadi sebuah symbol atauu tanda untuk menunjukan identitas masyarakat.  Sepertinya memang sangat miris ditengah berlangsungnya modernitas, kebudayaan masa lalu memang sudah tergerus zaman, mereka dilupakan, tidak mendapat tempat di era modern sekarang ini –Era dimana teknologi menentukan hierarki sebuah masyarakatnya. Maka dari itu, menyaksikan sebuah pementasan budaya sudah seharusnya menjadi sebuah nostalgia, sebuah relaksasi akan kejenuhan era modern di mana zaman yang sudah melupakan kebudayaan sebagai ciri dan menggantikannya dengan teknologi. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan yang terdapat pada suatu daerah tertentu akan menjadi sebuah identitas, sebuah ciri yang membedakan budaya dimana suatu tempat berasal dan tentu menjadi sebuah identitas bangsa dengan budaya yang beragam. 


DAFTAR PUSTAKA

Djoko Damono, Sapardi. Sosiologi Sastra – Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta, 1979)
Endraswara, Suwardi. Metode Pembelajaran Drama (Yogyakarta, Caps 2011)
Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)

S. Mahayana, Maman. Lokalitas Dalam Sastra Indonesia (Jakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar