Senin, 06 Juni 2016

Sukarno : Sosok Negarawan berdarah Seniman

Sukarno : Sosok Negarawan berdarah Seniman
(selamat ulang tahun, Bung!)


Bicara perihal Sukarno, mungkin kebanyakan orang sudah tak lagi asing mendengar nama beliau. Putra bangsa kelahiran Blitar 6 Juni 1901 memang sudah menjadi magnet bagi bangsa Indonesia. Siapa yang tak mengenal Sang Proklamator ulung sekaligus Presiden peertama Republik Indonesia? Ya, dialah Sukarno, manusia yang (sepertinya) tak hanya direstui oleh manusia, bumi pun sepertinya sudah merestui kehadirannya dari tanda-tanda kelahiranya.

Sejak bayi, ia lahir menjelang matahari merekah karena itu ia disebut pula Putra Sang Fajar. Koesno Sosrodiharjo adalah nama pemberian kedua orang tuanya sebelum menjadi Sukarno. Iapun dilahirkan tahun 1901 (Abad 19 disaat peradaban gelab masih menyelimuti bangsa kita) ia terbilang sebagai putra perintis abad. Kelahirannya pun diyakini oleh sang Ibunda –Ida Ayu Nyoman Rai –bakal menjadi penerang bagi bangsanya, ditambah letusan Gunung Kelud yang terjdi kala Sukarno lahir[1], makin menguatkan pertanda alam menyambut kehadirannya diatas jagad raya.

Sukarno berasal dari keluarga priyayi Ibunya kelahiran Bali yang berkasta Brahmana dangan kata lain Ibunda Sukarno adalah seorang bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibunya. Sedangkan Ayahnya berasal dari ningrat Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo yang masih keturunan sultan Kediri.[2]

Dalam bidang pendidikan Sukarno pun termasuk dalam kalangan atas masyarakat pada masa Hindia Belanda, ia mendapat pendidikan di ELS (Sekolah Dasar Belanda), HBS (Sekolah Menengah Belanda) dan HIS (yang kini menjadi ITB). Dari sinilah Sukarno memulai karier politiknya, menjadi salah satu para pemimpin pergerakan nasional hingga menjadi seorang Presiden Republik Indonesia. Begitulah keistimewaan Sukarno dimasanya, yang hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia mendapatkannya. Namun tulisan ini bukanlah untuk membahas karier beliau di dunia politik, rasa-rasanya itu sudah terlalu banyak dan tentu saja sudah jauh lebih lengkap tulisan perihal beliau.

Saya melihat ada sisi meenarik dalam diri Sukarno, yakni ia tidak hanya memiliki keistimewaan dibidang politik kenegaraan, ia pun memiliki keistimewaan lain dibidang seni.

Ada satu kisah perjalanan sejarah yang menarik dari sekian banyak kisah panjang sejarah tentang Sukarno kata Guruh Sukarno Putra (2006). Kisah yang dimaksud adalah gagasan kreatif yang tercipta (penciptaan kelompok teater) ketika Sukarno dalam masa interniran (masa pengasingan) di Ende 1934-1938 hingga menyambung ke Bengkulu 1938-1942. Gagasan kreatif itu pun turut berimplikasi dalam mengobarkan semangat perjuangan –nasionalisme, Melalui sebuah kelompok sandiwara (Teater) yang di Ende bernama Kelimutu, dan yang di Bengkulu bernama Monte Carlo.

Tidak hanya membuat kelompok Sandiwara (Teater) Sukarno pun turut menulis naskah sandiwara. Perlu diketahui, bahwa jumlah naskan yang ditulis oleh Bung karno semasa pengasingan di Ende (1934-1938) tercatat sebanyak dua belas judul (Cindy Adams, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Hlm 175). Kedua belas judul naskah yang tercatat antara lain: Dr. Sjaitan; Ero Dinamik; Rahasia Kilimoetoe; Tahoen 1945; Don Luis Pereira; Keotkoetbi; Toberro, dan Kummi Torro?. Kemudian semasa pengasingan di Bengkulu (1938-1942) Bung Karno juga menulis beberapa naskah, antara lain; Rainbow (Poetri Kentjana Boelan); Hantoe Goenoeng Boengkoek; Si Ketjil (Klein’duimpje), dan Chungking Djakarta[3].

Sayangnya dari sekian banyak naskah tersebut yang masih tersisa hanya ada empat buah naskah, yaitu: Dr. Sjaitan; Chungking Djakarta; Koetkoetbi, dan Rainbow (Poetri Kentjana Boelan). Bahkan teks naskah Dr. Sjaitan sudah tak lengkap –hanya ada dua babak saja –semestinya, lengkapnya terdiri dari enam babak.

Naskah sandiwara karya Sukarno berbentuk tulisan tangan beliau dengan kertas tulis ukuran folio yang masih disimpan oleh pihak Yayasan Bung Karno. Bahasa dan ejaan yang digunakan pada naskah tersebut sepenuhnya ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin melayu[4].

Drama (sandiwara) adalah karya sastra dialogis, karya tidak turun begitu saja dari langit. Drama hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering menjadi momentum penting dalam drama. Inti drama tak lepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak keliru. Detail atau tidak, dia dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif[5]. Itulah yang terdapat dari sebagian besar naskah sandiwara yang dibuat oleh Sukarno. Sebagai representatif dan interpretasi kehidupan.

Dalam naskah Rainbow , selain membawa pesan moral dalam membangun semangat patriotik –berjiwa ksatria, lebih banyak memberikan pengajaran arti pentingnya sebuah kesadaran sejarah sebagai entitas –bagian yang tak terpisahkan dalam kebudayaan masyarakatnya. Pesan moral Sukarno tentang arti pentingnya kesadaran sejarah diperjelas pada selembaran pamflet sebelum pementasan Rainbow. Bahkan dalam pamflet tersebut diterangkan tahun-tahun peristiwa sejarah Bengkulu (baca: pamflet Bung Karno tentang Rainbow)

Sepertinya Sukarno sangat sadar bahwa bangsa Indonesia perlu mempelajari sejarah agar memiliki masa depan. Melalui keistimewaan dibidang seni inilah ia mempresentasikan tentang Historia Vitae Magistra (sejarah adalah guru kehidupan) dalam naskah dramanya yang berjudul Rainbow (Poetri Kentjana Boelan).

Mungkin masih banyak penjabaran tentang keistimewaan Sukarno lainnya, sejarah mungkin lebih banyak mencatat tentang kegarangannya di dunia politik dan kenegaraannya, ideologi dan pemikiran-pemikiran, namun dalam hemat saya Sukarno bukanlah hanya tentang itu saja, ia juga seniman, seniman yang cermat membaca kehidupan disekitarnya. Bacaan itu ialah tafsir dan ditelurkan ke dalam karya sastra berupa naskah yang ia buat. Dengan kata lain Sukarno adalah sosok negarawan yang mengalir darah seorang seniman dalam dirinya.

Dialah Soekarno, sekelumit tulisan ini adalah persembahan pada hari senin, enam juni 2016 bertepatan pada hari kelahiran putra sang fajar ke 115nya. Sebagai wujud hormat kepada sosok pemimipin yang tak terlupakan : Sukarno.





[1] Roro Daras. Soekarno, the other stories. (Jakarta, pustaka media mulia 2009)
[2] Seri Buku Tempo. SUKARNO Paradoks Revolusi Indonesia. (Jakarta, KPG 2010)
[3] Agus Setiyanto. Bung Karno: Maestro Monte Carlo (Yogyakarta, Penerbit Ombak 2006)
[4] Ibid, hlm 3
[5] Suwardi Endraswara. Metode Pembelajaran Drama. (Yogyakarta, Caps 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar