LEKRA : Penghantar, Setelah 50 Tahun*
(oleh : Doni Ahmadi)
(oleh : Doni Ahmadi)
“Lekra
adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai
dengan isi ini, Lekra selalu berlawanan, berlawanan dengan ketidakadilan,
berlawanan dengan kepalsuan, berlawanan terhadap yang lama adalah syarat untuk
membangun yang baru. Untuk memakai istilah manipolis, Lekra selalu menjebol dan
membangun” (Harian Rakjat, 8 Maret 1962)
Lima
tahun setelah revolusi agustus –17 Agustus 1950 – sejumlah seniman dan
politikus membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia lahir dari keprihatinan
terhadap Indonesia yang dianggap belum lepas dari Imperialis (Penjajah).
Melalui konsep “Seni Untuk Rakyat” Lekra mengajak para pekerja kebudayaan
mengabdikan diri untuk revolusi indonesia.
Penggagas
dan pendiri lekra adalah A.S Dharta, M.S Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno,
Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, Njoto dan D.N Aidit. Mereka beserta para seniman
lainnya merumuskan mukadimah pertamanya yang menjadi tonggak terbentuknya Lekra.
Bunyi
dari mukadimah tersebut ialah: “Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan,
dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh
rakyat, maka pada 17 Agustus 1950 didirikan lembaga kebudayaan rakyat disingkat
Lekra.”
Pembentukan
Lekra itu didasari dari situasi politik Tanah Air kala itu. Setelah Kofrensi
Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 Indonesia tidak bisa dikatakan
merdeka seratus persen. Pembentukan Lekra dimaksudkan untuk membebaskan diri
dari ketergantunga penjajah. Dengan kata lain Lekra dibentuk dengan tujuan
mendukung revolusi dan kebudayaan nasional dengan prinsip “Seni Untuk Rakyat”.
Pada
tahun 1959 kongres nasional pertama Lekra diadakan, dalam kongres ini Lekra
berhasil merumuskan prinsip kerja berkesenian dan membangun organisasi lebih
sistematik. Kongres itu diadakan di Taman Sriwedari di jalan Brigadir Jendral
Slamet Riyadi, Kota Surakarta. Dan dalam kongres ini pula lah wacana “Politik
Sebagai Panglima” mencuat.
Dalam
Kongres itu Lekra merumuskan prinsip 1-5-1, yang menjadi pedoman gerakan
kebudayaan dan arah kerja Lekra. Prinsip 1-5-1 ialah kerja kebudayaan yang
bergariskan Politik sebagai Panglima dengan lima kombinasi: meluas dan
meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian
revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa serta realisme sosial
dan romantik revolusioner. Semua itu dipraktikan dengan metode turun ke bawah
(Turba).
Metode
turba ini kemudia dijabarkan dalam “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama,
dan tidur bersama. Para seniman harus turun dan melihat dengan mata dan kepala
sendirinya tentang keadaan rakyat kala itu. Para seniman juga bahkan merasakan
membatu pekerjaan, makan bersama dan tidur bersama warga yang dikunjunginya
itu. Hal ini dilakukan untuk memperkuat isi mukadimah Lekra yang dibuatnya di
kongres berbunyi : “Menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan di dalam
perkembangan hari depan, untuk secara dalam mempelajari kebenaran yang hakiki
kehidupan dan untuk bersikap setia terhadap kenyataan dan kebenaran”.
Dalam
hemat para pemimpin Lekra, kreativitas bisa muncul dengan cara hidup bersama
rakyat. Dan dengan metode inilah para seniman dirasa dapat merepresentasikan
bagaimana kondisi rakyat saat itu yang nantinya akan termanifestasikan dalam
karyanya.
Sejalan
dengan dikeluarkannya konsep 1-5-1, Lekra merombak struktur organisasinya.
Beberapa bulan setelah kongres, Lekra menyusun enam lembaga kreatif: Lembaga
Sastra Indonesia, Lembaga Seni rupa Indonesia , Lembaga Musik Indonesia, Lembaga
Seni tari Indonesia, Lembaga Film Indonesia dan Lembaga Seni Drama Indonesia.
Lekra: Seni, Politik, dan Rakyat
“Ada
kawan-kawan kita ahli sejarah yang banyak tahu tentang zaman dahulu, tapi
hampir tidak tahu tenyang zaman sekarang. Ada kawan-kawan kita yang ahli
ini-itu, yang banyak tahu tentang hukum alam, tetapi hampir tidak tahu tentang
hukum masyarakat. Ada lagi kawan seniman yang pandai mencerita raja, tetapi
tidak pandai mencerita kaum imperialis dan tuan tanah” (Njoto, Harian Rakjat, 7
Februari 1959)
Bagi
Lekra, pekerjaan kebudayaan rakyat bukanlah seniman dan ilmuan yang mengisolasi
diri dari rakyat dan tak acuh pada persoalan hidup mereka. Lekra bukan tempat
bagi kaum seniman dan selebritas yang suka berkenes-kenes. Sebagai organisasi,
Lekra adalah organisasi dari suatu gerakan kebudayaan. Lekra tak ingin
kehidupan kebudayaan dikuasai oleh kaum priyayi kota dan desa, yang secara
tidak sadar menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan sisa-sia feodalis
pribumi.
Dalam
delapan tahun pertama, Lekra sibuk memasyarakatkan diri. Mengembangkan sayap
organisasi di seluruh tanah air, sambil mendakwahkan ideologi dan politiknya
untuk mencapai amanat Revolusi Agustus 1945. Kegiatan itu diterjemahkan melalui
berbagai penciptaan karya seni dan ilmu. Misalnya pembentukan grup paduan suara
dan kroncong yang menampilkan lagu-lagu kemerdekaan dan lagu rakyat daerah.
Lekra juga menggalakan seni pertunjukan rakyat seperti ludruk, ketoprak dan
lenong.
Seniman-seniman
Lekra juga turut mengkritik Sukarno. Lembaga tari menciptakan tari “Enam-Empat”
yang melukiskan aksi kaum tani menuntut bagi hasil yang layak bagi tuan tanah.
Lalu menggubah tari “Menjala Ikan” yang melukiskan ketidak berdayaan nelayan
dan buruh menghadapi tengkulak dan tuan ikan.
Lalu
lembaga Seni Rupa juga turut melukiskan membubungnya harga kebutuhan pokok,
lalu ada pula seniman lain yang mengubah langgam kroncong, mereka mengkritik
pala pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Di Lembaga Seni Drama juga para
seniman Lekra banyak mengubah cerita dalam lakon, dari tradisional menjadi
progresif revolusioner.
Di
Yogya, jika orang mengatakan “melihat Lekra” itu berarti mereka sedang melihat
pertunjukan gratis di panggung terbuka. Sedangkan di desa-desa jawa tengah
orang mengatakan “melihat dalang Lekra” itu artinya mereka menyaksikan
pagelaran wayang yang dalangnya runtut dan
lakonnya berisi kritik tajam tapi kocak dengan memperkenalkan banyak gending
baru.
Pada
masanya, Lekra memang menjadi magnet bagi para seniman. Lekra menyedot
perhatian para seniman muda, memberi pengaruh dan menguasai panggung kesenian.
Lekra juga menawarkan kesempatan belajar bagi seniman muda. Terlebih seni rupa
yang kala itu sedang naik daun. Terdapat beberapa nama seniman besar seperti
Affandi, Hendra Gunawan dan Sudjojono yang sering menggelar pameran yang di
usung oleh Lekra.
Dari
aspek kesusastraan, sekian banyak karya sastra yang dihasilkan oleh seniman
Lekra, puisi menjadi karya sastra yang paling banyak dihasilkan seniman lekra
dan mendapat tempat. Dalam rapat-rapat akbar selalu ada pembacaan puisi. Lomba
yang diadakan Harian Rakjat (salah satu media masa yang berhaluan kiri) juga
lebih banyak menyoroti kategori puisi. Agaknya, puisi pada masa itu menjadi
alat yang paling ampuh dalam menyampaikan gagasan dan Ideologi Lekra.
Padahal
prosa tak kurang gemilang. Novel dan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer adalah
rekaman sejarah yang kuat, baik struktur maupun alur cerita. Lalu ada pula Ira
Iramanto atau Oey Hay Djoen dengan diksinya yang kuat sebagai pentolan dari
prosais kenamaan Lekra.
Keith
Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts
(1986) menyebut Amrazan Ismail Hamid sebagai penyair paling menonjol di Lekra
karena eksplorasi bentuk dan bahasa syair-syairnya. Puisi bebasnya berupa
balada yang tak selalu patuh pada rima di tiap stanza, tapi memainkan bunyi
kata pada satu pokok pikiran dalam kalimat –satu corak yang masih dipakai penyair
hingga kini. Lalu adalagi Sutikno W.S, Agam Wispi, dan Putu Oka Sukanta yang
masih menonjol dalam segi estetik puitika.
Para
seniman kala itu pula tergiur dengan ideologi (relisme sosialis) yang mengusung
kredo kerakyatan, semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan neokolonialisme.
Selain berkarya atas nama seni kerakyatan para seniman juga rutin turun ke
bawah (turba) bersama buruh dan tani.
Di
Jawa tengah Lekra mengadakan gerakan pemberantasan buta huruf sebagai gabungan
dari aktivitas kebudayaan dan penyadaran politik. Gerakan itu dipimpin Hesri
Seriawan –Sekertaris Umum Lekra di Yogyakarta dan Jawa Tengah – ia menyusun
diktat “Pemberantasan Buta Huruf” yang merupakan upaya penyadaran rakyat
tentang kemiskinan dan sebab-musababnya dengan pendekatan kebudayaan seperti
tembang, tari dan pendalangan.
Para
seniman Lekra yang tersebar di seluruh nusantara pun sering sekali mengadakan
pementasan dan pertunjukan. Dana yang mereka keluarkan didapat dari hasil
kolektivitas anggotanya. Mereka berpikir seni adalah perjuangan, untuk
menghidupi cabang atau ranting meraka biasa mengandalkan donatur dan iuran
anggota. Tak jarang dari seniman Lekra tak dibayar.
Meskipun
demikian, Lekra tidak begitu saja diterima dengan lapang, banyak kritikus yang
mengkritik karena mereka (para seniman Lekra) tidak memisahkan antara dunia
artistik dari dunia politik. Namun hal itu dibantah oleh Njoto. Ia menyebutkan
Lekra menolak kritik yang menyebutkan banyak karya seniman Lekra gagal secara
artistik karena menolak memisahkan politik dan seni, karena: Politik bagi Lekra
adalah basis kebudayaan, maka berpolitik itu penting.
Lekra dan PKI
Lekra
begitu sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dari segi
ideologi dan prinsip kerakyatan mereka. Belum lagi hal itu seperti di aminkan
dalam pidato Ketua Central Comite PKI –D.N Aidit - di Istana Negara pada 27
Agustus 1964 dalam pembukaan Konferensi Nasional Sastra dan Seni revolusioner.
Pidato itu berbunyi : “Pendirian Lekra menunjukan dimulainya secara sadar PKI
mengibarkan panji-panji seni untuk seni dan seni untuk revolusioner seperti
gagasan Bung Karno.”
Pernyataan
dari ketua PKI sekaligus salah satu pendiri Lekra itu terkesan sepihak. Anggota
seniman Lekra beranggapan bahwa Aidit menggelar konferensi itu untuk menegaskan
bahwa PKI didukung para seniman dan sekaligus untuk mengukur apakah para seniam
Lekra berada di belakang PKI. Adanya konferensi ini juga Aidit tidak
terang-terangan memakai Lekra untuk menyelenggarakannya, hal itu diyakini
karena ia memeliki perseteruan diam-diam dengan Njoto –pendiri Lekra yang
menjadi Wakil ketua CC PKI.
Di
lekra, sosok Njoto amat disegani karena kemampuan orasi dan pengetahuan yang
luas tentang kesenian. Ia juga menjadi konseptor dan penulis pidato Presiden
Sukarno. Ketekatan Njoto dengan Sukarno inilah yang membuat Aidit cemas, ia
beranggapan Presiden bersekutu dengannya lalu membawa gerbong seniman Lekra.
Sebab, Njoto menolak tegas peleburan Lekra ke dalam PKI. Pertimbangan Nyoto
Praktis saja, di Lekra bergabung juga seniman nonkomunis yang bukan anggota
partai, seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy tatang Sotani dan lainnya. Menurut Njoto
membuat Lekra menjadi organ resmi partai hanya akan mendorong seniman-seniman
terkenal dan berpengaruh itu hengkang.
Dalam
pandangan Aidit, PKI membutuhkan organisasi resmi seniman sebagai motor
pendulang suara. Maklum saja, adanya Lekra di daerah-daerah kecamatan dan
pelosok mampu membuat anggota partai bertambah. Jumlah anggota PKI dari delapan
ribu anggota pada 1955 menjadi tiga juta sepuluh tahun kemudian, Itu baru
representasi ideologi yang sama antara Lekra dan PKI, bagaimana jika Lekra
tergabung dalam PKI, pikir Aidit.
Agak
sulit mencari bukti bahwa Lekra adalah organ resmi PKI. Joebaar Ajoeb,
Sekertaris Umum Lekra yang kedua, menyatakan dalam “Mocopat Kbudayaan” yang
ditulisnya, bahwa organisasi ini bersifat terbuka, anggotanya bisa siapa saja,
bukan hanya seniman yang aktif di partai, bahkan yang tidak mendukung
komunismepun boleh. Kewajiban anggotanya hanya satu, yakni aktif di salah satu
lembaga seni Lekra. Sementara PKI memiliki Kongres, Lekra juga menggelar
Kongres dan punya anggaran dasar sendiri dengan menegaskan tak ada kaitan
formal dengan PKI.
Popularitas
Lekra yang luas itu membuat Aidit tertarik melegalkannya di bawah partai.
Kerena itu Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner dibuat oleh PKI,
dan Aidit pun merumuskan “sastra dan seni revolusioner harus mengakui dan
menaati pimpinan partai”. Inilah yang menjadi pembeda PKI dan Lekra.
Waktu
itu telepon kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta
Pusat, meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. D.N Aidit,
Ketua CC PKI, mencari orang yang bertanggung jawab atas seleksi puisi di HR
Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan Harian
Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan –anggota Lekra- redaktur
yang memang ditugasi menyeleksi kiriman puisi.
"Apakah
sajak-sajak saya sudah diterima?" terdengar Aidit di seberang telepon.
"Sudah."
"Jadi,
dimuat dalam edisi besok?"
Setelah berpikir
sejenak, Amarzan menjawab, "Tidak."
"Maksudnya?"
"Ya, tidak
dimuat"
"Mengapa
tidak dimuat?"
"Menurut
saya, belum layak dimuat." Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.
Amarzan,
ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi
Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali
berdering, masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI
sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya
apakah benar Amarzan menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan
membenarkan.
"Bung yakin
akan pendapat Bung?" Njoto bertanya.
"Yakin."
"Tak ada
hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?"
"Tidak."
"Baik. Kalau
begitu, saya mendukung keputusan Bung."
Meskipun
begitu ceritanya tapi tidak sedikit yang mengganggap Lekra sama dengan PKI.
Hingga pada akhirnya, saat salah satu pendirinya –D.N Aidit - gagal untuk
mem-PKI-kan Lekra. Lekra justru di PKI kan oleh di zaman Soeharto. Seniman
Lekra disamakan dengan aktivis dan para petinggi PKI, sebagai dalih yang
dipakai Soeharto untuk menumpas Komunis hingga akar-akarnya.
Kronik singkat Lembaga Kebudayaan Rakyat 1950-1965
17 Agustus 1950
Lekra berdiri.
6 Oktober 1951
di kongres kebudayaan di Bandung. Lekra mencetuskan konsepsi Kebudayaan Rakyat.
Isinya: perjuangan kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkah
dari perjuangan rakyat, yaitu kelas buruh dan tani.
28 Oktober 1957
Kongres nasional pertama di Solo. Lekra memperkuat struktur organisasi. Pandangan
baru dalam konferensi disahkan menjadi perubahan mukadimah Lekra.
28 Januari 1959
Rapat Pleno I. Menyusun kepengurusan Sekertariat pemimpin pusat den menyerahkan
tugas yang paling mendesak: mendirikan lembaga-lembaga kreatif.
31 Agustus 1960
Rapat pleno II. Menegaskan kembali kebulatan tekad untuk melaksanakan
mukadimah.
Juli 1961
Sidang Pleno Pimpinan Pusat menyapakati “Politik Sebagai Panglima” sebagai asas
kerja kreatif bersama dengan lima tuntutan lain yang kemudian menjadi prinsip
1-5-1
25 Februari 1962
Konfrensi Nasional II memunculkan resolusi yang mendukung amanat Presiden
bertajuk “tavip” yang meneruskan pemboikotan total film-film imperialis dan
perlawanan terhadap Amarika di Asia Tenggara.
Sepanjang 1964
Pimpinan Pusat PKI berusaha mem-PKI-kan Lekra. Namun upaya itu ditolak
mentah-mentah anggota Lekra, salah satunya Njoto.
2 September 1964
PKI menggelak koferensi sastra dan seni revolusioner. Langkah ini diambil
setelah gagal menggaet Lekra menjadi underbouw PKI
1 Oktober 1965
Setelah peristiwa G30S, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan
dibubarkan. Lekra yang dinggap sebagai underbouw PKI terkena imbasnya. Pelaku
kebudayaan Lekra (seniman dari berbagai lembaga) ditangkap, disiksa, serta
dijebloskan dipenjara.
30 November 1965
Pemerintah melarang peredaran karya-karya Lekra dengan surat keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1381 tahun 1965. Mereka dilarang menulis dan
berkarya.
Daftar Pustaka.
Seri Buku Tempo. AIDIT Dua Wajah Dipa Nusantara. (KPG.
2014)
Seri Buku Tempo. LEKRA dan geger 1965. (KPG. 2014)
Seri Buku Tempo. NJOTO Peniup Saksofon di Tengah Prahara. (KPG.
2014)
Supartono Alexander. Lekra vs Manikebu. (STF Driyakarya.
2000)
*Makalah ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" jilid 2 dalam diskusi perihal LEKRA & Manifes Kebudayaan. Akhir Desember 2015.
Jakarta,
Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar