Senin, 06 Juni 2016

LEKRA : Penghantar, Setelah 50 Tahun.

LEKRA : Penghantar,  Setelah 50 Tahun*
(oleh : Doni Ahmadi)

“Lekra adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai dengan isi ini, Lekra selalu berlawanan, berlawanan dengan ketidakadilan, berlawanan dengan kepalsuan, berlawanan terhadap yang lama adalah syarat untuk membangun yang baru. Untuk memakai istilah manipolis, Lekra selalu menjebol dan membangun” (Harian Rakjat, 8 Maret 1962)

Lima tahun setelah revolusi agustus –17 Agustus 1950 – sejumlah seniman dan politikus membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia lahir dari keprihatinan terhadap Indonesia yang dianggap belum lepas dari Imperialis (Penjajah). Melalui konsep “Seni Untuk Rakyat” Lekra mengajak para pekerja kebudayaan mengabdikan diri untuk revolusi indonesia.

Penggagas dan pendiri lekra adalah A.S Dharta, M.S Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, Njoto dan D.N Aidit. Mereka beserta para seniman lainnya merumuskan mukadimah pertamanya yang menjadi tonggak terbentuknya Lekra.

Bunyi dari mukadimah tersebut ialah: “Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada 17 Agustus 1950 didirikan lembaga kebudayaan rakyat disingkat Lekra.”

Pembentukan Lekra itu didasari dari situasi politik Tanah Air kala itu. Setelah Kofrensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 Indonesia tidak bisa dikatakan merdeka seratus persen. Pembentukan Lekra dimaksudkan untuk membebaskan diri dari ketergantunga penjajah. Dengan kata lain Lekra dibentuk dengan tujuan mendukung revolusi dan kebudayaan nasional dengan prinsip “Seni Untuk Rakyat”.

Pada tahun 1959 kongres nasional pertama Lekra diadakan, dalam kongres ini Lekra berhasil merumuskan prinsip kerja berkesenian dan membangun organisasi lebih sistematik. Kongres itu diadakan di Taman Sriwedari di jalan Brigadir Jendral Slamet Riyadi, Kota Surakarta. Dan dalam kongres ini pula lah wacana “Politik Sebagai Panglima” mencuat.

Dalam Kongres itu Lekra merumuskan prinsip 1-5-1, yang menjadi pedoman gerakan kebudayaan dan arah kerja Lekra. Prinsip 1-5-1 ialah kerja kebudayaan yang bergariskan Politik sebagai Panglima dengan lima kombinasi: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Semua itu dipraktikan dengan metode turun ke bawah (Turba).

Metode turba ini kemudia dijabarkan dalam “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama. Para seniman harus turun dan melihat dengan mata dan kepala sendirinya tentang keadaan rakyat kala itu. Para seniman juga bahkan merasakan membatu pekerjaan, makan bersama dan tidur bersama warga yang dikunjunginya itu. Hal ini dilakukan untuk memperkuat isi mukadimah Lekra yang dibuatnya di kongres berbunyi : “Menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan di dalam perkembangan hari depan, untuk secara dalam mempelajari kebenaran yang hakiki kehidupan dan untuk bersikap setia terhadap kenyataan dan kebenaran”.

Dalam hemat para pemimpin Lekra, kreativitas bisa muncul dengan cara hidup bersama rakyat. Dan dengan metode inilah para seniman dirasa dapat merepresentasikan bagaimana kondisi rakyat saat itu yang nantinya akan termanifestasikan dalam karyanya.

Sejalan dengan dikeluarkannya konsep 1-5-1, Lekra merombak struktur organisasinya. Beberapa bulan setelah kongres, Lekra menyusun enam lembaga kreatif: Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Seni rupa Indonesia , Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Seni tari Indonesia, Lembaga Film Indonesia dan Lembaga Seni Drama Indonesia.


Lekra: Seni, Politik, dan Rakyat

“Ada kawan-kawan kita ahli sejarah yang banyak tahu tentang zaman dahulu, tapi hampir tidak tahu tenyang zaman sekarang. Ada kawan-kawan kita yang ahli ini-itu, yang banyak tahu tentang hukum alam, tetapi hampir tidak tahu tentang hukum masyarakat. Ada lagi kawan seniman yang pandai mencerita raja, tetapi tidak pandai mencerita kaum imperialis dan tuan tanah” (Njoto, Harian Rakjat, 7 Februari 1959)

Bagi Lekra, pekerjaan kebudayaan rakyat bukanlah seniman dan ilmuan yang mengisolasi diri dari rakyat dan tak acuh pada persoalan hidup mereka. Lekra bukan tempat bagi kaum seniman dan selebritas yang suka berkenes-kenes. Sebagai organisasi, Lekra adalah organisasi dari suatu gerakan kebudayaan. Lekra tak ingin kehidupan kebudayaan dikuasai oleh kaum priyayi kota dan desa, yang secara tidak sadar menjadi kepanjangan tangan kapitalisme asing dan sisa-sia feodalis pribumi.

Dalam delapan tahun pertama, Lekra sibuk memasyarakatkan diri. Mengembangkan sayap organisasi di seluruh tanah air, sambil mendakwahkan ideologi dan politiknya untuk mencapai amanat Revolusi Agustus 1945. Kegiatan itu diterjemahkan melalui berbagai penciptaan karya seni dan ilmu. Misalnya pembentukan grup paduan suara dan kroncong yang menampilkan lagu-lagu kemerdekaan dan lagu rakyat daerah. Lekra juga menggalakan seni pertunjukan rakyat seperti ludruk, ketoprak dan lenong.

Seniman-seniman Lekra juga turut mengkritik Sukarno. Lembaga tari menciptakan tari “Enam-Empat” yang melukiskan aksi kaum tani menuntut bagi hasil yang layak bagi tuan tanah. Lalu menggubah tari “Menjala Ikan” yang melukiskan ketidak berdayaan nelayan dan buruh menghadapi tengkulak dan tuan ikan.

Lalu lembaga Seni Rupa juga turut melukiskan membubungnya harga kebutuhan pokok, lalu ada pula seniman lain yang mengubah langgam kroncong, mereka mengkritik pala pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Di Lembaga Seni Drama juga para seniman Lekra banyak mengubah cerita dalam lakon, dari tradisional menjadi progresif revolusioner.

Di Yogya, jika orang mengatakan “melihat Lekra” itu berarti mereka sedang melihat pertunjukan gratis di panggung terbuka. Sedangkan di desa-desa jawa tengah orang mengatakan “melihat dalang Lekra” itu artinya mereka menyaksikan pagelaran wayang yang dalangnya runtut dan lakonnya berisi kritik tajam tapi kocak dengan memperkenalkan banyak gending baru.

Pada masanya, Lekra memang menjadi magnet bagi para seniman. Lekra menyedot perhatian para seniman muda, memberi pengaruh dan menguasai panggung kesenian. Lekra juga menawarkan kesempatan belajar bagi seniman muda. Terlebih seni rupa yang kala itu sedang naik daun. Terdapat beberapa nama seniman besar seperti Affandi, Hendra Gunawan dan Sudjojono yang sering menggelar pameran yang di usung oleh Lekra.

Dari aspek kesusastraan, sekian banyak karya sastra yang dihasilkan oleh seniman Lekra, puisi menjadi karya sastra yang paling banyak dihasilkan seniman lekra dan mendapat tempat. Dalam rapat-rapat akbar selalu ada pembacaan puisi. Lomba yang diadakan Harian Rakjat (salah satu media masa yang berhaluan kiri) juga lebih banyak menyoroti kategori puisi. Agaknya, puisi pada masa itu menjadi alat yang paling ampuh dalam menyampaikan gagasan dan Ideologi Lekra.

Padahal prosa tak kurang gemilang. Novel dan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer adalah rekaman sejarah yang kuat, baik struktur maupun alur cerita. Lalu ada pula Ira Iramanto atau Oey Hay Djoen dengan diksinya yang kuat sebagai pentolan dari prosais kenamaan Lekra.

Keith Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts (1986) menyebut Amrazan Ismail Hamid sebagai penyair paling menonjol di Lekra karena eksplorasi bentuk dan bahasa syair-syairnya. Puisi bebasnya berupa balada yang tak selalu patuh pada rima di tiap stanza, tapi memainkan bunyi kata pada satu pokok pikiran dalam kalimat –satu corak yang masih dipakai penyair hingga kini. Lalu adalagi Sutikno W.S, Agam Wispi, dan Putu Oka Sukanta yang masih menonjol dalam segi estetik puitika.

Para seniman kala itu pula tergiur dengan ideologi (relisme sosialis) yang mengusung kredo kerakyatan, semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan neokolonialisme. Selain berkarya atas nama seni kerakyatan para seniman juga rutin turun ke bawah (turba) bersama buruh dan tani.

Di Jawa tengah Lekra mengadakan gerakan pemberantasan buta huruf sebagai gabungan dari aktivitas kebudayaan dan penyadaran politik. Gerakan itu dipimpin Hesri Seriawan –Sekertaris Umum Lekra di Yogyakarta dan Jawa Tengah – ia menyusun diktat “Pemberantasan Buta Huruf” yang merupakan upaya penyadaran rakyat tentang kemiskinan dan sebab-musababnya dengan pendekatan kebudayaan seperti tembang, tari dan pendalangan.

Para seniman Lekra yang tersebar di seluruh nusantara pun sering sekali mengadakan pementasan dan pertunjukan. Dana yang mereka keluarkan didapat dari hasil kolektivitas anggotanya. Mereka berpikir seni adalah perjuangan, untuk menghidupi cabang atau ranting meraka biasa mengandalkan donatur dan iuran anggota. Tak jarang dari seniman Lekra tak dibayar.

Meskipun demikian, Lekra tidak begitu saja diterima dengan lapang, banyak kritikus yang mengkritik karena mereka (para seniman Lekra) tidak memisahkan antara dunia artistik dari dunia politik. Namun hal itu dibantah oleh Njoto. Ia menyebutkan Lekra menolak kritik yang menyebutkan banyak karya seniman Lekra gagal secara artistik karena menolak memisahkan politik dan seni, karena: Politik bagi Lekra adalah basis kebudayaan, maka berpolitik itu penting.


Lekra dan PKI

Lekra begitu sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dari segi ideologi dan prinsip kerakyatan mereka. Belum lagi hal itu seperti di aminkan dalam pidato Ketua Central Comite PKI –D.N Aidit - di Istana Negara pada 27 Agustus 1964 dalam pembukaan Konferensi Nasional Sastra dan Seni revolusioner. Pidato itu berbunyi : “Pendirian Lekra menunjukan dimulainya secara sadar PKI mengibarkan panji-panji seni untuk seni dan seni untuk revolusioner seperti gagasan Bung Karno.”

Pernyataan dari ketua PKI sekaligus salah satu pendiri Lekra itu terkesan sepihak. Anggota seniman Lekra beranggapan bahwa Aidit menggelar konferensi itu untuk menegaskan bahwa PKI didukung para seniman dan sekaligus untuk mengukur apakah para seniam Lekra berada di belakang PKI. Adanya konferensi ini juga Aidit tidak terang-terangan memakai Lekra untuk menyelenggarakannya, hal itu diyakini karena ia memeliki perseteruan diam-diam dengan Njoto –pendiri Lekra yang menjadi Wakil ketua CC PKI.

Di lekra, sosok Njoto amat disegani karena kemampuan orasi dan pengetahuan yang luas tentang kesenian. Ia juga menjadi konseptor dan penulis pidato Presiden Sukarno. Ketekatan Njoto dengan Sukarno inilah yang membuat Aidit cemas, ia beranggapan Presiden bersekutu dengannya lalu membawa gerbong seniman Lekra. Sebab, Njoto menolak tegas peleburan Lekra ke dalam PKI. Pertimbangan Nyoto Praktis saja, di Lekra bergabung juga seniman nonkomunis yang bukan anggota partai, seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy tatang Sotani dan lainnya. Menurut Njoto membuat Lekra menjadi organ resmi partai hanya akan mendorong seniman-seniman terkenal dan berpengaruh itu hengkang.

Dalam pandangan Aidit, PKI membutuhkan organisasi resmi seniman sebagai motor pendulang suara. Maklum saja, adanya Lekra di daerah-daerah kecamatan dan pelosok mampu membuat anggota partai bertambah. Jumlah anggota PKI dari delapan ribu anggota pada 1955 menjadi tiga juta sepuluh tahun kemudian, Itu baru representasi ideologi yang sama antara Lekra dan PKI, bagaimana jika Lekra tergabung dalam PKI, pikir Aidit.

Agak sulit mencari bukti bahwa Lekra adalah organ resmi PKI. Joebaar Ajoeb, Sekertaris Umum Lekra yang kedua, menyatakan dalam “Mocopat Kbudayaan” yang ditulisnya, bahwa organisasi ini bersifat terbuka, anggotanya bisa siapa saja, bukan hanya seniman yang aktif di partai, bahkan yang tidak mendukung komunismepun boleh. Kewajiban anggotanya hanya satu, yakni aktif di salah satu lembaga seni Lekra. Sementara PKI memiliki Kongres, Lekra juga menggelar Kongres dan punya anggaran dasar sendiri dengan menegaskan tak ada kaitan formal dengan PKI.

Popularitas Lekra yang luas itu membuat Aidit tertarik melegalkannya di bawah partai. Kerena itu Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner dibuat oleh PKI, dan Aidit pun merumuskan “sastra dan seni revolusioner harus mengakui dan menaati pimpinan partai”. Inilah yang menjadi pembeda PKI dan Lekra.  

Waktu itu telepon kantor Harian Rakjat di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Jakarta Pusat, meraung-raung pada suatu Sabtu malam, sekitar awal 1965. D.N Aidit, Ketua CC PKI, mencari orang yang bertanggung jawab atas seleksi puisi di HR Minggu, lembar kebudayaan yang berbeda isi, bahkan logonya, dengan Harian Rakjat edisi reguler. Telepon itu disambut Amarzan –anggota Lekra- redaktur yang memang ditugasi menyeleksi kiriman puisi.

"Apakah sajak-sajak saya sudah diterima?" terdengar Aidit di seberang telepon.
"Sudah."
"Jadi, dimuat dalam edisi besok?"
Setelah berpikir sejenak, Amarzan menjawab, "Tidak."
"Maksudnya?"
"Ya, tidak dimuat"
"Mengapa tidak dimuat?"
"Menurut saya, belum layak dimuat." Hening. Lalu brak! Telepon dibanting.

Amarzan, ketika itu 24 tahun, baru dua tahun menjadi redaktur. Ia paham, menolak puisi Aidit bisa menjadi perkara besar. Sejam kemudian, telepon kantor kembali berdering, masih mencari Amarzan. Kali ini dari Njoto, Wakil Ketua II CC PKI sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. Dengan nada kalem, Njoto bertanya apakah benar Amarzan menolak memuat sajak-sajak kiriman Aidit. Amarzan membenarkan.

"Bung yakin akan pendapat Bung?" Njoto bertanya.
"Yakin."
"Tak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan?"
"Tidak."
"Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung."

Meskipun begitu ceritanya tapi tidak sedikit yang mengganggap Lekra sama dengan PKI. Hingga pada akhirnya, saat salah satu pendirinya –D.N Aidit - gagal untuk mem-PKI-kan Lekra. Lekra justru di PKI kan oleh di zaman Soeharto. Seniman Lekra disamakan dengan aktivis dan para petinggi PKI, sebagai dalih yang dipakai Soeharto untuk menumpas Komunis hingga akar-akarnya.


Kronik singkat Lembaga Kebudayaan Rakyat  1950-1965

17 Agustus 1950 Lekra berdiri.
6 Oktober 1951 di kongres kebudayaan di Bandung. Lekra mencetuskan konsepsi Kebudayaan Rakyat. Isinya: perjuangan kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkah dari perjuangan rakyat, yaitu kelas buruh dan tani.
28 Oktober 1957 Kongres nasional pertama di Solo. Lekra memperkuat struktur organisasi. Pandangan baru dalam konferensi disahkan menjadi perubahan mukadimah Lekra.
28 Januari 1959 Rapat Pleno I. Menyusun kepengurusan Sekertariat pemimpin pusat den menyerahkan tugas yang paling mendesak: mendirikan lembaga-lembaga kreatif.
31 Agustus 1960 Rapat pleno II. Menegaskan kembali kebulatan tekad untuk melaksanakan mukadimah.
Juli 1961 Sidang Pleno Pimpinan Pusat menyapakati “Politik Sebagai Panglima” sebagai asas kerja kreatif bersama dengan lima tuntutan lain yang kemudian menjadi prinsip 1-5-1
25 Februari 1962 Konfrensi Nasional II memunculkan resolusi yang mendukung amanat Presiden bertajuk “tavip” yang meneruskan pemboikotan total film-film imperialis dan perlawanan terhadap Amarika di Asia Tenggara.
Sepanjang 1964 Pimpinan Pusat PKI berusaha mem-PKI-kan Lekra. Namun upaya itu ditolak mentah-mentah anggota Lekra, salah satunya Njoto.
2 September 1964 PKI menggelak koferensi sastra dan seni revolusioner. Langkah ini diambil setelah gagal menggaet Lekra menjadi underbouw PKI
1 Oktober 1965 Setelah peristiwa G30S, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan. Lekra yang dinggap sebagai underbouw PKI terkena imbasnya. Pelaku kebudayaan Lekra (seniman dari berbagai lembaga) ditangkap, disiksa, serta dijebloskan dipenjara.
30 November 1965 Pemerintah melarang peredaran karya-karya Lekra dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1381 tahun 1965. Mereka dilarang menulis dan berkarya.


Daftar Pustaka.
Seri Buku Tempo. AIDIT Dua Wajah Dipa Nusantara. (KPG. 2014)
Seri Buku Tempo. LEKRA dan geger 1965. (KPG. 2014)
Seri Buku Tempo. NJOTO Peniup Saksofon di Tengah Prahara. (KPG. 2014)
Supartono Alexander. Lekra vs Manikebu. (STF Driyakarya. 2000)


*Makalah ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" jilid 2 dalam diskusi perihal LEKRA & Manifes Kebudayaan. Akhir Desember 2015.


Jakarta, Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar