Kamis, 16 Juni 2016

Perihal Budaya Populer, Semacam Penghantar

Perihal Budaya Populer, Semacam Penghantar*


I

Kalau seni rakyat muncul dan bertahan karena kehendak rakyat (dengan tradisinya), seni kerakyatan karena kehendak bangsa (dengan ideologi kerakyatan), seni populer lahir dan bertahan karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.

Akhir-akhir ini, memang kajian tentang populer (entah dari aspek seni maupun budaya) memang menjadi perhatian yang serius. Barangkali karena hal berikut sedang jaya-jayanya –tengah berlalu dan kita alami sekarang. Kajian tentang budaya populer pun bukan main banyaknya, banyak sekali aspek-aspek yang mempengaruhi bagaimana ‘Populer’ itu terbentuk dan hadir ditengah-tengah kita.

Dalam hal ini, peranan yang paling krusial tentu saja ada pada media. Perkembangan media dalam bentuknya seperti kita alami sekarang telah menempatkan hubungan antara manusia dan media menjadi kompleks. Akibatnya, kita tidak lagi bicara fungsi media untuk mengungkapakan gagasan dan perasaan manusia namun juga media yang mengatur gagasan dan menata perasaan manusia. St Sunadi mengungkapakan bahwa kita mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media, entah mau atau tidak, suka atau tidak. Ditambah dengan pernyataan McLuhan bahwasanya kita ditempatkan dalam sebuah taman massif yang sudah kehilangan kohesi sosial dan ideologi.

Seorang pemikir Prancis juga menaruh perhatian dalam hal ini (red: Baudrillard), ia menyatakan bahwa media massa telah menyatukan manusia kemudian membiarkannya meledak ke dalam: batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi, kelas, cair luluh begitu saja. Yang tinggal hanya satu: massa dengan ketidakpastian ini muncul karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti luluh, batas-batas baru sangat bergantung pada bagaimana kelompok sosial dihadirkan dalam media. Hingga pada suatu kesimpulan yang dikemukanan oleh Ziqmunt Bauman: “Orang lain tidak berdiri sebagai sesama maupun orang asing melainkan orang yang tidak diundang. Mereka berada disatu tempat tetapi tidak kenal. Mereka satu rasa, namun abai akan sesama.”

Barangkali uraian-uraian perihal media yang saya kemukan di atas tentu sudah menjadi sedikit penghantar sebelum kita menaruh perhatian kita ke hal lain yang turut berpengaruh dalam kajian ini selain media. Hal inilah yang anak menjadi perhatian kedua, perihal siapa yang berperan dalam media? Dan apa yang membuat populer sedemikian terlihat lalim?

Oia sebelum pada paragraf awal saya telah memberikan wacana diatasnya, berikut – seni populer lahir dan bertahan karena kehendak media ( dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.


II

Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi.

Dalam hal ini perhatian awal saya, adalah perihal pengalaman populer yang terkait dengan konsumsi. Dengan kata lain, media menciptakan populer dengan mengonsumsi barang-barang komoditi. Dan tentu saja ini bagian dari kapitalis konsumsi. Populer yang akan ditekankan adalah populer yang lahir lewat cara orang-orang zaman sekarang mengonsumsi barang-barang.

Dengan kata lain, terjadilah penyeragaman rasa. Baik dalam barang-barang yang bersifat nyata maupun tidak nyata, barang fisik maupun ilmu. Contoh yang paling mencolok adalah konsumsi mie instan yang barangkali sudah menjadi makanan nasional, malahan internasional. Dalam hal ini masyarakat seperti sudah tergeneralisasi. Namun, hal ini (penyeragaman yang dimaksud) tidak hanya menyangkut indra perasa (lidah) namun juga indera-indera lainnya seperti pendengaran, penglihatan dan penciuman. Jadi ada penyeragaman pada level estetis maupun level pengalaman indrawi.

Dalam hal sastra tentu kita tahu bagaimana suatu karya menjadi kanon, dalam hal ini kasusnya adalah novel “Saman” karya Ayu Utami yang bukan main meledaknya pada awal tahun 2000an, namun hal itu tidak berlanjut dalam novel lanjutnya (red: Larung), apakah ada yang salah dari Larung sehingga tidak semeriah Saman? Entahlah. Mungkin  dalam masa sekarang kita mengenal tokoh sekaliber Aan Mansyur maupun Eka Kurniawan, yang rasa-rasanya karya-karya mereka sudah menjadi karya wajib pada era sekarang ini. Tentu saja hal ini turut memumculkan pertanyaan, apakah mereka dikanonkan? Siapakah yang berperan? Ataukah memang selera sastra kita yang sedemikian sama? Mungkin itu pertanyaan yang mungkin bisa dijawab dengan kajian yang lebih mendalam, ataupun bisa kita lihat gejala berikut di tahun-tahun mendatang.

Lalu dalam musik, sepertinya kitapun mengalaminya sendiri bagaimana musik pop hadir menjadi konsumsi massif, lalu berganti menjadi pop melayu dan seterusnya dan seterusnya. Selera dibuatnya meledak dalam satu titik, lalu berubah lagi, lalu berhenti lagi pada suatu titik lagi dan meledak lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam hal ini (saya secera sinisme memandang) massifikasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari kehendak kapital (baik nasional maupun global) agar beranak pinak sehingga kapital itu semakain membengkak. Dengan demikian masyarakat seakan sudah ‘Terkutuk’ untuk menjadi massal satu rasa.


III

Penekanan pada Gaya dengan mengorbankan Substansi

Dalam hal ini rasa-rasanya tidak adil juga jika kita menitikberatkan hanya kesalahan peran media serta kaum kapitalis. Pembahasan secara menyeluruh dan lebih lengkap mungkin telah diungkap oleh Baudrillard dalam karyanya (red: Masyarakat Konsumsi).

Dalam karyanya itu beliau menulis begini, “Sekarang adalah era  di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatanya namun karena gaya (hidup), demi subah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi  tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting, apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidak puasan. Kita menjadi teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekuarangan, seakan-akan makmur padahal miskin.”

Dari penjabaran diatas, tentu saja kita akhirnya sampai pada kesimpulan begini, peran dari media dan kaum-kaum kapital hanya sebatas menjadi pemantik saja, justru masyarakatlah (sebagai kaum konsumsi) yang menentukan bagaimana hal ini dapat terwujud.

Mengamini pendapat Baudrillard, D. Harvey juga mengatakan “Kita semakin sering mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannnya ‘manfaat’nya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan. Kita menonsumsi citra dan tanda itu karena kesemuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan.”

Harvey pun meneruskan, bahwa hal ini tampak nyata dalam budaya populer itu sendiri di aman permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat main-main dan senda gurau, dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi, substansi, dan makna. Sebagai akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integeritas, keseriusan, autentisitas, relisme, kedalaman intelektual dan narasi yang kuat condong diabaikan.  

Sepertinya ini sudah menjadi gejala umum, strategi penyeragaman ini memang bukan main gilanya. Dan bahkan sudah menembus sampai bagian-bagian terdalam. Manusia bukan main diperlihatan kebodohnya, mereka terus menerus di eksploitasi tanpa henti dengan kesadaran palsu akan citra, kebanggan, nilai estetis secara terus menerus.

Apakah hal ini sudah menjadi hukum alam dan tidak dapat terelakkan? Tentu saja ada, mereka yang sadar tentu tidak masuk kedalam lingkaran ini, mereka bahkan menolak, orang-orang itu lebih memilih tidak membaca koran atau tidak menonton televisi. Namun hal ini bukan menjadi jalan keluar, karena tema dan cara bicara masyarakat sehari-hari sudah ditentukan oleh media.

Lantas, apakah tidak ada alternatif lain? Tentu ini akan menjadi pertanyaan besar dalam kajian ini. Dan tentu sebagai pemantik jalannya diskusi kita sekarang ini.

Daftar Pustaka.

Domininc Striani. Popular Culture: Penghantar Menuju Teori Budaya Populer. (JEJAK. 2007)
Jean P. Baudrilliard. Masyarakat Konsumsi. (Kreasi Wacana. 2004)


* esai ini dibuat untuk acara "Sesorean sok Serius" dalam diskusi dengan tema 'Mengonsumsi Budaya Populer' pada 17 Juni 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar