Sabtu, 22 Oktober 2016

Rumah Kertas by Carlos Maria Dominguez (review)

Membaca Rumah Kertas dan Sekelumit
Gejala Pengarang Amerika Latin
(oleh: Doni Ahmadi*)


Barangkali buku ini (Rumah Kertas) adalah pertemuan pertama saya dengan teks yang dimuat Carlos Maria Dominguez. Pengarang Amerika latin yang kesekian dalam pembacaan saya.

Sebetulnya cerita ini ugahari saja, namun entah mengapa, cerita ini membuat isi kepala saya terngiyang-ngiyang, mungkin betul juga, dalam cerita setebal 75 halaman ini, penulis mampu menyihir pembaca melalui peristiwa-peristiwa yang teramat aduhai (apalagi kepada para pembaca maupun pengoleksi buku). Cerita dalam Rumah Kertas ini betul-betul (barangkali) pernah dialami hingga terkesan amat dekat (terlebih bagi saya).

Berikut, beberapa nukilan narasi dalam rumah kertas ini yang mungkin anda pernah alami.

“.... Aku perhatikan banyak orang mencatat tanggal, bulan dan tahun mereka membaca sebuah buku; dan dengan itu sebenarnya tengah menyusun penanggalan rahasia! Yang lain menuliskan namanya di halaman depan sebelum meminjamkan bukunya, mencatat kepada siapa mereka meminjamkan dan membubuhi tanggal pinjamnya....”

“.... Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji payung, ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi jauh dan lama dirindu.”

“Pada akhirnya, ukuran perpustakaan itu ternyata memang penting. Kita pajang buku-buku ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan omong kosong dan basa-basi merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa. Aku bahkan kenal seorang profesor sastra klasik yang sengaja berlama-lama menyeduh kopi didapur agar tamunya bisa mengagumi buku-buku diraknya.....”

“Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. Kadang kita berharap menjumpai buku yang ingin kita baca tapi tidak kita punya...”

Bagi saya, hal-hal yang dituliskan diatas memang terasa begitu dekat, atau dengan kata lain pernah saya alami. Mungkin anda akan geleng-geleng dan tersenyum ketika anda sendiri pernah mengalaminya. Dan mungkin beginilah (respon spontan) ketika kita menemui sebuah fluktuasi sinkronitas yang universal dalam sebuah karya sastra.

Tak sampai disitu, Dominguez saya pikir paham betul bagaimana meletakan detail, yang menjadi teramat penting dalam sebuah novel. Pembaca yang tak teliti mungkin akan terkaget-kaget ketika membaca Rumah Kertas ini: selain peristiwa yang begitu cepat, barangkali kita akan menemui penanda-penanda (yang menjadi sebab) dalam tiap peristiwa yang akan menghantarkan kita pada apa yang dimaksudkan oleh pengarang (akibat).

Dominguez seperti mengajak pembacanya untuk bermain puzzle dalam prosa Rumah Kertas ini. Dan hal itupun sudah dimulai oleh beliau dari adegan pertama  –tentang sebuah buku misterius yang penuh debu dari bekas semen. Sampai adegan-adegan selanjutnya yang membawa pembaca untuk turut serta dalam penyelidikan tentang asal usul buku.

Dalam Rumah Kertas ini, barangkali Dominguez mencampur adukan beragam mahzab dan pemahaman tentang para pustakawan, pecandu buku maupun pengkoleksi buku. Dari (watak konsumerisme) tokoh yang ingin selalu ingin memenengkan pelelangan buku, tak peduli jumlah uang yang ia gunakan dan tak peduli bahwa buku tersebut merupakan kebutuhan dari seorang teman. (Watak realisme sosialisme) Tokoh yang menyerahkan seluruh koleksi bukunya menjadi milik pemerintah karena tak sanggup lagi merawat buku-buku koleksinya dan berpikir agar buku-bukunya kelak bermanfaat bagi orang banyak dan lain sebagainya. Meneurut saya segala macam bentuk, pemikiran, kesadaran barangkali ia masukkan dalam Rumah Kertas ini.

Namun, seperti kebanyakan para pengarang Amerika Latin lainnya (red: Gabriel Garcia Marquez, Jose Luis Borges, Roberto Bolano dll). Dominguez pun kerap meletakan metanarasi dan metafiksi dalam teksnya.

Marquez tentu jelas-jelas melakukan metafiksi dalam Seratus Tahun Kesunyian (kota Macondo yang merupakan narasi fiksi yang merupakan representasi dari Amerika latin masa silam) –terbitan Bentang Pustaka yang dialih bahasakan oleh Max Arifin. Lalu metanarasi dalam Para Pelacurku yang Sendu –terbitan Circa yang dialih bahasakan oleh An Ismanto.

Borges pun serupa dalam cerita pendeknya, ia bahkan melakukan keduanya dalam satu kumpulan cerita  (red: Simurgh, Yang Lain, Delia Elena San Marco, Parabel Cervantes dan Don Quixote, Burak dll) –terhimpun dalam kumpulan cerita Parabel Cervantes dan Don Quixote terbitan Gambang yang dialihbahasakan oleh Lutfi Mardiansyah. Dan Bolano yang juga menerapkan keduanya dalam cerita pendeknya yang berjudul Kartu Dansa  –terhimpun dalam kumpulan cerita Last Evening on Earth yang dialihbahasakan dari bahasa Spanyol oleh Chris Andrew.

Dalam hal ini fungsi (penggunaan metanarasi), ini bisa saja menjadi baik asalkan narasi yang dimasukkan bukan sekedar tempelan, artifisial ataupun hanya untuk gagah-gagahan (pamer keterbacaan dan sebagainya). Tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerita. Sebagai contoh lagu berjudul Delagadina dalam novel Para Pelacurku yang Sendu karya Garcia Marquez, jika judul lagu itu tidak diperdengarkan mungkin cerita akan berjalan berbeda atau penggalan puisi Isa karya Chairil Anwar dalam kalimat pembuka cerpen Solilokui Ungu karya Maroeli Simbolon yang mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.

Namun dalam Rumah Kertas ini, saya pikir Dominguez terlalu berlebihan meletakan metanarasi dan metafiksi. Berikut,

“... Siddharta membuat puluhan ribu anak muda menggandrungi kebatinan, Hemingway membuat mereka menggandrungi olahraga, Dumas memperumit hidup ribuan wanita....”

“.... sifat yang semakin terancam pupus oleh hilangnya masa mudanya, hilangnya kedua suaminya, dan hilangnya impian untuk mengarungi Sungai Macondo dengan kano, obsesi yang ia dapat setelah membaca Seratus Tahun Kesunyian...”

“Di tanganku ada Irish Fairy and Folk Tales yang menagjubkan dengan prolog William Butkler Yeats dan ilustrasi asli James Torrance....”

Dan juga terdapat nama-nama lain seperti Vargas Llosa, Borges, Marquez, Neruda, Conrad, Faulkner dan lain-lain.  disini yang menjadi rumit adalah, bagiama pembaca mengimajinasikan Sungai Macondo tanpa pernah membaca Seratus Tahun Kesunyian? Atau bagimana pembaca mengetahui bahwa Hemingway membuat pembacanya menggandrugi olahraga, sedang pembaca hanya membaca Orang Tua dan Laut saja (paling-paling hanya memancing, inipun jika hal tersebut sudah termasuk olahraga). Atau seberapakah pembaca peduli tentang “prolog“ yang dibuat William Butkler Yeats?

Entahlah, namedropping semacam ini barangkali begitu digemari oleh para penulis Amerika Latin dengan motif yang saya sendiri kurang memahami. Namun terlepas dari itu semua, estetika dan gaya dari pengarang-pengarang Amerika latin ini pun patut mendapat perhatiannya. Bahkan di Indonesia (sekarang) barangkali tengah digandrungi.

Namun ada pula sisi yang berbeda dalam Rumah Kertas kepunyaan Dominguez ini, yakni porsi dialog yang hampir terpenuhi dalam satu bab (red: bab 3). Porsi inilah yang tidak sepenuhnya terdapat dalam teks-teks Marquez, maupun Borges.

Sebagai penutup, barangkali saya akan mengutip kalimat awal saya. Menurut saya Rumah Kertas merupakan cerita yang begitu ugahari dari Dominguez (namun disisi lain, entah adanya kedekatan peritiwa atau yang saya sebutkan diatas). Saya pikir buku ini pun cukup kaya dalam menawarkan alternatif, baik sebagai pembaca, pengkoleksi, maupun hal-hal lainnya melalui beragam keunikan bahkan kegilaan dalam peristiwa-peristiwa yang barangkali akan anda (pembaca) ingat seumur hidup.



Pustaka
Carlos Maria Dominguez. Rumah Kertas. (Marjin Kiri. 2016)
Gabriel Garcia Marquez.  Para Pelacurku yang Sendu. (Circa. 2016)
__________.      Seratus Tahun Kesunyian. (Bentang. 2007)
Jorge Luis Borges. Parabel Cervantes dan Don Quixote. (Gambang. 2016)

Maman S Mahayana. Bermain dengan Cerpen. (GM. 2006)


*mahasiswa sastra UNJ, bergiat di komunitas tembok dan redaktur buletin sastra Stomata. beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan (2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar