Rabu, 14 Januari 2015

Dipertigaan, Menuju Kampung Wijs

Dipertigaan, Menuju Kampung Wijs


Malam ini itu begitu remang, tak ada cahaya yang membiaskan cahaya bulan, awan pun berarak dengan lembut malam itu. Malam disudut kota Vrij memang biasa seperti itu, para pekerja yang pulang larut pun tenggelam dalam langkahnya menuju tempat tinggalnya, mereka tidak berbicara seperti di siang hari, seperti dipasar perbelanjaan, di kedai-kedai kopi, di pusat perbelanjaan. Mereka berbicara seolah berbisik dengan nada yang pelan. 

Di sisi selatan kota Vrij terdapat dua jalan –Lifj dan Ritjh untuk sampai pada kampung Wijs, namun dari kedua jalan itu yang paling disuakai masyarakat adalah jalan Ritjh, karena jalan itu masih terdapat lampu-lampu jalan yang masih cukup terang untuk menuntun jalan para pekerja yang pulang begitu larut. Jalan Ritjh juga masih cukup luas karena terdapat satu satu jalur mobil tidak seperti jalan Lifj yang hanya bisa dilewati oleh tiga sampai empat orang saja jika berbaris, belum lagi banyaknya tempat sampah yang membuat jalan menjadi teramat sempit dan berbau kurang sedap, lampu jalan pada jalan Lifj juga teramat remang, banyak lampu-lampu jalan yang mati pada jalan ini. 

Aku adalah salah seorang dari pekerja malam yang kerap melewati jalan Ritjh, jalan yang kupikir cukup terang untuk para pekerja malam yang. Selain itu teman-teman pekerja malam yang kutemui pun serupa denganku mereka lebih suka pulang melalui jalan Ritjh, selain alasan yang kukemukan diatas banyak sekali cerita yang beredar entah itu fiksi atau sungguhan. Dari percakapan para pekerja malam sebelum pulang tak sedikit yang berbicara mengenai jalan Lifj yang katanya seram, angker, berbau busuk dan lainnya. Aku tidak begitu memperdulikan hal itu karena dari awal aku memang sudah pulang melalui jalan Ritjh, lagipula pernah aku sesekali melewati jalan Lifj namun itu pada waktu siang hari dan sepertinya biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, hanya sebuah gang menuju kampung yang terdapat banyak tempat sampah dan mungkin beberapa kardus untuk tempat tidur para gelandangan. 

Waktu sudah menunjukan jam setengah sebelas malam, saatnya kami para pekerja untuk pulang. Dipertigaan sebelum kedua jalan itu –Ritjh dan Lifj aku pernah sekali melihat seorang lelaki paruhbaya yang kira-kira berusia tigapuluh tahun melewati jalan Lifj, ia membawa sebuah kantung plastik pada tangan kanannya, langkahnya tegap dan biasa. Para pekerja yang juga melihatnya mulai saling berbisik satu sama lain, aku tak mendengar semua bisikan yang aku dengan hanya sebagian dari mereka berkata “tak ada orang sadar yang pulang lewat jalan itu, pasti ia sedang mabuk hehe”, “mungkin dia seorang pemburu hantu yang ingin mencari hantu dijalan itu haha”, “jalan itu adalah tempat berkumpulnya penjahat mungkin dia salahsatunya”.

Akupun berjalan lebih cepat seolang mengabaikan omongan-omongan usil mereka hinggga sampai pada rumahku dan memastikan untuk istirahat.
Keesokan harinya aku kembali melihat orang yang sama dipertigaan jalan, lelaki paruhbaya yang melewati jalan Lifj itu. Suasananya pun masih sama seperti sebelumnya dimana para pekerja malam yang berjalan bersamaku kembali membicarakan orang itu, dari hal-hal yang aneh, berbau mistis dan lainnya. Kejadian itu berlangsung lama, hingga aku harus memakai headset untuk tidak mendengar bisikan para pekerja malam itu mengenai orang yang melewati jalan Lifj itu. 

***

Hari ini aku mendapat tugas lembur dari bosku karena salah satu pekerja ditempatku ini berhalangan untuk dating. Sudah pukul satu pagi dan aku berkemas untuk pulang, jalan begitu sepi dan hening hanya aku yang ditemani oleh banyangan diriku saja. Tak terasa langkahku sudah menuntunku sampai pertigaan jalan itu, aku berhenti sejenak dan berpikir apakah aku harus melewati jalan Lifj itu? tanyaku namun kuhapus pikiranku itu dan kembali melewati jalan yang biasa kulewati yakni jalan Ritjh. Diujung batas pertemuan antara jalan Ritjh dan Lifj sebelum sampai pada kampungku kulihat seorang lelaki yang sedang bersandar pada tiang listrik sembari menghisap sigaretnya, ya orang itu adalah lelaki yang biasa kulihat melewati jalan Lifj. Sebenarnya ingin sekali aku menanyainya namun sepertinya harus kuurungkan niatku itu karena aku terlalu lelah dengan lemburku, akupun melewatinya seolah tak ada siapapun yang berdiri ditiang listrik itu.

“Hey Bung” akupun menoleh, dan ternyata orang itu memanggilku. Akupun membalas tanyanya dengan bertanya padanya. “Iya, kenapa tuan?” “Oh tidak ada apa-apa, hanya memastikan saja apakah yang barusan kulihat berjalan itu manusia,  bukan hantu” balasnya akupun diam tidak membalas jawabannya lalu kuambil ponselku dan headsetku dari saku untuk mendengarkan lagu dan mengabaikannya, karena kupikir dia memang seperti apa yang orang-orang katakan, ia pemabuk. Akupun telah sampai pada pintu rumahku, ketika kurogoh saku celanaku ternyata kunciku tak ada didalamnya lalu kuperiksa isi tas dan lainnya pun sama, tidak ada kunci rumahku. Mungkin itu terjatuh ditengah jalan atau mungkin tertinggal dikantorku pikirku. Aku tinggal sendirian di rumahku, itu terjadi sejak Ayah dimutasikan dan ia mendapat bekerja di kota, Ibu dan Adikku pun memutuskan untuk pindah lalu ikut dengan Ayahku.

Tidak ada pilihan lain aku harus kembali jalan kearah tempat kerjaku dan melewati jalan yang sama, mungkin kunciku terjatuh ketika aku berjalan pulang tadi. Di jalan sekembalinya aku menuju kantorku kulihat lelaki paruhbaya itu masih bersandar pada tiang listrik itu, masih dengan sigaretnya, aku ingin bertanya padanya apakah ia melihat kunci rumahku yang mungkin terjatuh namun kembali kuurungkan niatku karena alasan yang jelas, yakni ia seorang pemabuk dan mana mungkin seorang pemabuk sepertinya bisa dipercaya. Akupun melewainya tanpa menyapanya dan kembali orang itu memanggilku.

“Hey Bung!” ia memanggil aku berkali namun aku abaikan dan berjalan terus lalu orang itu berkata “Apakah kau mencari ini?” akupun menoleh dan melihatnya sedang menunjukan sesuatu, akupun menghampirinya dan ternyata benar yang ia tunjukan itu adalah kunci rumahku.

“Terimaksih Tuan, inilah yang saya cari” sebenarnya setelah mengambil kunci itu aku ingin langsung pulang tetapi kupikir tidaklah sopan hingga akhirnya sampailah aku pada obrolan singkat dengannya. Nama orang itu adalah Vivere Pericoloso, umurnya 32 tahun. 

“Tuan Vivere, aku ingin bertanya kepada anda mengapa anda lebih memilih melewati jalan Lifj padahal kan tuan tahu sendiri jalan itu gelap banyak terdapat gelandangan, yang kata orang-orang banyak itu tempat itu angker bahkan tempat berkumpulnya para penjahat”
“Begini Bung Marwijk, atas dasar kata orang-orang banyak kah anda bertanya demikian padaku?”

“Ya seperti yang saya katakan barusan Tuan, saya mendengar dari obrolan-obrolan pekerja lain lagipula ketika orang-orang banyak memilih jalan Ritjh mengapa anda memilih jalan Lifj yang secara notabene itu jalan yang cukup gelap dan mungkin tidak bersahabat dengan para pekerja malam.”
“Kalau saya pikir anda tidak akan bertanya demikian ketika Anda sudah melewati jalan itu, toh anda hanya mendengar dari kata orang saja kan Bung?”
“Ya, memang saya tidak pernah melewati jalan itu dan hanya mendengar dari kata oranglain saja.”

“Hehe, begini Bung, atau saya panggin anda Tuan saja ya, saya tidak akan menceritakan apa saja yang ada dijalan itu, dan mengapa saya lebih memilih jalan itu. Awalnya saya melewati jalan yang sama dengan tuan, banyak yang melarang untuk melewati jalan itu namun ada beberapa hal yang membuat saya berpikir mengapa memang dengan jalan itu, apakah ada yang salah dari melewati jalan itu? Hingga sampailah saya pada sekarang.”

“Sampai tuan akhirnya memilih akan selalu melewati jalan itu? Dan mengabaikan kata orang-banyak.”

“Kata-kata orang lain pada akhirnya hanya menjadi angin lalu Tuan, yang merasakan anda sendiri bukan orang lain itu. setiap hari kita akan selalu ditemui pada sebuah pilihan, contohnya disaat Tuan memilih tidak menjadi perokok itu adalah pilihan, disaat saya memilih menghabiskan beberapa batang sigaret saya diluar rumah juga pilihan, namun memang kita sepertinya tak sadar bahwa kita telah memillih suatu hal.” Akupun terdiam hening mendengar kata-katanya, apakah benar orang ini seperti yang orang lain bicarakan? Apakah pemabuk, pemburu hantu, penjahat akan berbicara seperti ini, saya tenggelam dalam pikiran saya untuk beberapa saat hingga orang itu berkata lagi.

“Maaf jika membuat tuan bingung, saya tidak bermaksud menghasut anda biar saya cerita sedikit, jalan itu” sembari ia menujuk jalan Lifj “terdapat banyak gelandangan, pengemis, kumpulan orang-orang dengan ekonomi kebawah tidak seperti orang-orang yang terdapat jalan Ritjh, kau tahu aku selalu membawa kantung plastik disetiap aku melewati jalan itu bukan, isinya adalah makanan dan beberapa cemilan, aku tinggal sendiri dikampung ini dan merekalah keluargaku orang-orang terasing yang dijauhi kebanyakan orang, merekalah yang menemaniku tiap aku sepulang kerja. Aku bisa merasakan kepedihan mereka dijalan itu, tentang kehidupan dan lainnya”

“Jadi itukah alasan anda selalu melewati jalan itu”

“Tuhan menciptakan hati dan perasaan, dan lewat jalan itu saya rasa saya bisa memfungsikan ciptaan Tuhan itu dengan baik, lagipula manusia diciptakan sebagai mahluk sosial bukan? Sudah pukul tiga dinihari tuan, bukankah esok tuan kembali bekerja”

“Oh iya tuan, tidak terasa sudah begitu pagi.”

“Rumah saya tidak jauh dari rumah Tuan, hanya berbeda lima rumah disamping Tuan, mampirlah jika ada waktu, saya ingin istirahat terimakasih sudah menemani pagi saya Tuan”

“Apakah tuan kenal dengan saya?” lalu orang itupun berjalan pergi tanpa membalas jawabku.


Selasa Petang 30 Desember 2014

D.A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar