Rabu, 14 Januari 2015

Dialog Tujuhbelas Agustus, Menjelang Siang

Dialog Tujuhbelas Agustus, Menjelang Siang


Tujuh belas agustus dini hari, langit seolah bersenandung riang disaat matahari belum tampak. Nampak Dodit seorang remaja belia berusia 19 tahun itu masih terlelap di atas kasur dan membaringkan kepalanya diatas bantal yang empuk. Ia terlampau lelap dengan mimpi-mimpi malamnya.

Disaat matahari sudah terlalu terik sang ibu mambangunkannya,
“Dit, sudah siang. Kamu ini tujuhbelasan malah tidur.” ucap sang Ibu
“Memangnya ada yang spesial Bu, sudah aku masih ngantuk.”
“Ini hari kemerdekaan nak, Kakekmu dulu berjuang untuk terwujudnya hari ini kamu malah tidur. Sudah cepat bangun, mandi, teman-teman kamu saja sudah pada bangun dan ikut lomba.”
“Kakek kan memang hidup di zaman perang bu, sudahlah aku kan sudah bukan anak-anak lagi biar anak-anak bocah saja yang ikutan lomba.”
“Kamu ini, sudah bangun atau nanti Ibu siram biar kamu tidak ngantuk lagi” lalu sang Ibu pun keluar dari kamar remaja itu.
“Iya, iya. Dasar kemerdekaan mengganggu orang tidur saja” gerutunya.

Setelah mandi Dodit pun keluar rumah, ia pergi kesebuah warkop membeli es teh manis.
“Kamu ndak ikut lomba Dit” tanya sang penjaga warkop.
“Lomba kan buat anak-anak bocah Mas Joko, gue kan udah gede.”
“Lah, emang lomba buat anak bocah saja Mas, kan ada juga yang buat orang dewasa kaya panjat pinang misalnya.”
“Mas Joko sendiri kenapa engga ikut lomba?”
“Saya mah kan sibuk jaga warung.”
“Saya juga sibuk mas, di hp saya bunyi melulu kan dari tadi.”
“Oalah, susah ya anak jaman sekarang, kerjaannya mencet-mencet hp melulu, bingung saya.”
“Lah, jangan bingung mas, udah mending bikinin saya mie rebus saya laper juga ini.”
“Yowislah.”

Doditpun tampak sibuk dengan telepon genggamnya, membuat status di media sosialnya, mengunduh foto dan lainya. Tiba-tiba ada Orang tua yang kira-kira berusia empatpuluh tahun datang dan duduk disebelah Dodit.
“Anak-anak sekarang pada sok nasionalis ya Mas Joko?” tanya Dodit.
“Mas, kopi hitamnya satu ya” seru Orang tua itu.
“Oh iya pak, lah, memngnya kenapa mas dodit.”
“Ini pada sok upload-upload foto-foto Soekarno, terus ngomongin kemerdekaan lah ngomongin Negara pada sok dah.”
“Ya mungkin itu cara mereka memaknai kemerdekaan Mas.”
“Kalo cuma nulis-nulis gitu doang emang termasuk memaknai kemerdekaan Mas?”
“Mungkin juga mas kalo dikampungku kan ada pawai-pawai gitu, ikut lomba-lomba, membuat lukian dikampung-kampung, kalau kata Pak Lurah sih itu contoh memaknai kemerdekaan Mas Dodit” jawab Mas Joko sembari mengaduk kopi pesanan orang tua yang duduk disebelah Dodit.
“Iki mas kopinya” seru Mas Joko.
“Iya, terimakasih” jawab Orang tua itu.
“Aku beli rokok dulu ya Mas.”
“Yoo.”

Dodit pun beranjak dari warkop menuju warung yang berada empat rumah disamping warkop, di warung ia bertemu dengan Johan.
“Dit, baru bangun lo, ikut lomba lah ayo ke lapangan” ajak Johan.
“Hh males, gue mau makan dulu di warkop” jawab Dodit sembari menyalakan rokoknya.
“Yaudah abis makan ya kedepan, rame kok.”
“Paling rame anak bocah.”
“Ah belum kedepan aja udah sok tau, lomba tujuhbelasan kan setahun sekali doang dit sayang ga ikut, ya sekedar memeriahkan kemerdekan aja.”
“Kita ini udeh merdeka bro, ngapain dirayain lagi.”
“Ya sekedar mengenang jasa pahlawan yang udah berjuang demi kemerdekaan aja apa salahnya Dit.”
“Lo sok kaya anak-anak jaman sekarang nih, sok nasionalis. Iya ntar gue udeh makan gue ke lapangan.”
“Nah gitu dong, yaudah gue duluan ya.”
“Iya” jawab Dodit ketus.

Doditpun kembali ke warkop untuk menyantap mie rebus pesanannya itu
“Itu Dit mi rebus mu” kata Mas joko.
“Oh, iya mas” Dodit pun mematikan rokoknya lalu menyantap mie rebus itu perlahan-lahan.
“Bener-bener ya mas, anak sekarang itu sama semua. Ga temen sekolah ga temen rumah pada sok nasionalis, tadi si Johan sok nasehatin gue dia bilang kita ikut lomba buat sekedar mengenang jasa pahlawan, masa mengenangnya dengan cara seneng-seneng kan ngga masuk akal” tanya Dodit sembari mengunyah mi rebusnya.
“Nama kamu siapa Mas?” tanya Orang tua yang tadi memesan kopi.
“Saya pak?” jawab Dodit yang tengah menelan mi rebusnya sembari bertanya.
“Iya kamu Mas” jawab orang tua itu sembari melirik ke arah Dodit.
“Saya Dodit pak, memang kenapa?”
“Oh tidak apa-apa, maaf saya tidak sengaja mendengar perbincangan Mas Dodit yang mengeluh tentang orang-orang yang sok nasionalis, memang menurut Mas Dodit orang yang tidak sok nasionalis itu bagaimana?”
“Hmm bagaimana ya Pak, ya yang engga ngomongin itu-itu tadi pas kemerdekaan aja Pak”
“Oh jadi orang yang benar-benar nasionalis itu orang yang selalu ngomongin Indonesia setiap saat gitu Mas? Disetiap ngobrol asik dia tiba-tiba bicara tentang Indonesia, pas kita lagi ngomongin perempuan tiba-tiba dia ngebahas sejarahnya gitu-gitu?”
“Ya, engga gitu juga sih Pak.”
“Habis bagaimana?” tanya Orang tua itu bingung.
“Hmm, oh iya, orang yang engga sok nasionalis itu orang yang tahu tentang Indonesia tapi dia diam-diam aja Pak.”
“Dia orang bisu atau orang yang nasionalis nak Dodit? Diam-diam terus begitu.”
“Nah tuhkan salah lagi gue” seru Dodit dengan nada pelan “Hmm gimana ya Pak, nah, mungkin orang-orang dulu tuh pak, di jaman kakek saya gitu yang ikut-ikut perang gitu, mereka pasti nasionalis tuh dia kan membela tanah air dan bangsanya tuh, iya mereka-mereka orang tuh.”
“Jadi hanya orang dulu saja yang pantas disebut nasionalis Mas Dodit? Orang orang yang hidup setelah kemerdekaan ga pantas disebut nasionalis?”
“Iya juga sih, aduh maaf nih pak kayanya saya salah ngomong nih, emang saya suka ngawur kalo baru bangun gini pak hehe” seru Dodit sembari tersenyum malu “Eh kamu Mas Joko jangan ketawa tanpa suara.”
“Siapa yang ketawa mas” jawab Mas Joko.
“Itu kamu senyum-senyum gitu.”
“Sudah-sudah jadi kalian yang ribut” kata orang tua itu menengahi Dodit dan Mas Joko “begini Mas Dodit, saya cerita sebentar ya, dulu kata Ayah saya pernah berkata begini. Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri, gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri.”
“Berarti kita harus tau sejarah bangsa kita ya pak? Tapi kenapa tiba-tiba Ayah bapak gitu Bak?” tanya Dodit memotong pembicaraan.
“Iya kamu dengar dulu, saya sangat menyukai musik, bermain musik, mambaca buku-buku sejarah musik dan lainya, Ayah saya seperti yang kamu alami ini, saya ngoceh terus tentang sejarah musik rock, blues mungkin dia juga pusing lalu berkatalah demikian. bedanya, Ayah saya bicara benar kalau kamu ngawur.”
“Nah, bener berarti ucapan saya Pak, kalau orang nasionalis itu orang-orang dulu seperti Ayah Bapak” seru Dodit.

         Lalu Orang tua itu hanya geleng-geleng kepala “Baiklah, nasionalis itu bukan semacam gelar Mas Dodit, tidak seperti orang yang ahli agama yang dipanggil ustad, seseorang yang mengerti sejarah pun tidak akan mengakui dirinya nasionalis gelarnya hanya sejarawan saja. Intinya jika kita memiliki rasa banga akan bangsa kita, hati kita bergetar ketika mendengar lagu Indonesia Raya maka saat itu kita menjadi seorang yang nasionalis. Tapi ini hanya menurut pandangan saya, beda orang beda pendapa mas.”
“oia mas ini aku bayar kopi hitamku” seru orang tua itu kepada Mas Joko.
“oh, iya iya saya jadi ngerti pak sekarang. Oia saya ada satu pertanyaan pak, kalau yang dikatakan mas joko tadi tentang memaknai kemerdekaan itu dengan ikut lomba, mewarnai kampung seperti itu apa benar mas?” tanya Dodit.

“Bung karno pernah berkata dalam pidatonya di dalam forum PBB pada tahun sembilanbelas enampuluh. Apakah sebabnya saya percaya, bahwa perjuangan kami akan berhasil tanpa kegiatan PBB? Saya yakin hal itu karena dua sebab. Pertama saya mengenal rakyat saya, saya mengetahui kehausan mereka tentang kemerdekaan nasional dan saya mengetahui tekadnya. Kedua saya yakin hal itu karena jalannya sejarah. Kita semua dimanapun didunia ini, hidup di zaman pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium. Inilah zaman bangkitnya bangsa-bangsa dan bergejolaknya nasionalisme. Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta terhadap sejarah. Mengingat adalah cara sayang untuk memaknai kemerdekaan, maknailah kemerdekaan mu sendiri, dan jangan lupa habiskan mi instanmu itu” seru Orang tua itu lalu pergi meninggalkan warkop.



D.A
Jakarta, 10, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar