Budaya Konsumsi
: Budaya Kesadaran Palsu
Oleh: Doni Ahmadi*
Sekarang adalah era di mana orang membeli barang
bukan karena nilai kemanfaatanya namun karena gaya (hidup), demi subah citra
yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang
kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti, dsb. Yang ditawarkan iklan
bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak
penting, apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh
konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada
barang itu, sehingga kita tidak perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita
menjadi tidak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi
tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan
ketidak puasan. Kita menjadi teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada
gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal
kekuarangan, seakan-akan makmur padahal miskin. (Jean P Baudrillard, dalam
Masyarakat Konsumsi)
Sebagai seorang pemikir, Baudrillard dikenal sebagai
teoritisi terkemuka tentang media dan masyarakat dalam era yang disebut juga
postmodern. Teorinya mengenai masyarakat postmodern berdasarkan asumsi utama
bahwa media, simulasi, dan apa yang ia sebut ‘cyberblitz’ telah mengkonstitusi
bidang pengalaman baru, tahapan sejarah dan tipe masyarakat yang baru.
Pada fase inilah Baudrillard bermain – di mana
masyarakat sebagai pelaku budaya mulai terjerumus dalam kesadaran palsu –yakni di
era globalisasi dengan kapitalismenya yang menggila. Dalam kumpulan esai yang
terangkum dalam Sosialisme Religius Muhidin berpendapat, ketika kapitalisme
menubuahkan bahwa gerak ekonomi diserahkan kepada (persaingan) pasar, maka
proses eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan alam, bukan pula
manusia. Pasarlah yang mngendalikan kebutuhan manusia lewat korporasi-korporasi
raksaksa. Mantra rekonsolisasi, penjajahan dan penindasan disenandungkan.
Dalam kasus ini manusia lah sebagai pelaku budaya
yang coba di eksploitasi. Terjerumus oleh iming-iming iklan yang tanpa henti
dimuat dalam televisi. Menghamba konsep ‘kekinian’ –gaya hidup yang ditawarkan
media kapitalis –dan tidak menolaknya sedikitpun. Yang nanti pada fase akhirnya
menyebabkan hal demikian.
“Kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala
materialisme, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme
fundamentalis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alinesasi (kesunyian,
keterasingan manusia dari Tuhan, sesama manusia dan lingkungan) dan sinisme.”
(Erich Fromm, dalam Sosialisme Religius)
Masyarakat sebagai pemegang jalannya kebudayaan pun
seakan terlena, hal-hal demikianlah yang membuat pasar semakin menggila. Dan
hal tersebutpun diamini oleh masyarakatnya dengan permintaan pasar yang tinggi
sehingga produksipun semakin gencar.
Contoh kecil dalam kasus ini adalah masyarakat
pengguna ponsel pintal dengan brand-brand terkenal, seperti Iphone, Samsung dan lain sebegainya.
Produk-produk tadi memang menawarkan hal-hal baru untuk penggunanya, dari
teknologi yang canggih, resolusi layar, fitur dan keamanan.
Lalu contoh lainnya adalah pengguna televisi flat
dengan inci yang lebih besar. Dari segi kualitas, bentuk dan fitur-fitur yang
ditawarkan memang televisi flat dengan inci yang besar memang lebih baik, tapi
dalam segi fungsi? Bukankah sama, untuk ditonton, baik siaran yang disajikan
oleh stasiun-stasiun televisi maupun CD atau film. Namun yang patut digaris
bawahi adalah penggunanya tersebut –masyarakat. Apakah ponsel pintar itu
berfungsi semestinya? Atau hanya kepentingan gaya hidup saja? Yakni sebagai
kebanggaan (Pride) bagi penggunanya.
Jika penggunaan ponsel pintar itu sama saja dengan
ponsel pintar lain, dengan harga yang jauh lebih murah apakah bukan suatu
tindak pemborosan (konsumerisme)? Perihal fungsi yang digunakan tidak begitu
berbeda dengan yang sebelumnya.
Yang menjadi garis besar adalah “Kesadaran Palsu”.
Hal itu dalam konsep Simula menurut Baudrilliard adalah tentang penciptaan
kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos”
yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor
penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat
manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan
melalui berbagai media dengan model-model yang ideal.
Hal-hal yang ditayangankan dengan ideal di dalam
iklan-iklan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami kesadaran palsu
tersebut. Dengan melihatnya secara terus menerus di televisi, masyarakatpun
mulai membayangkan hal-hal yang ditawarkan oleh barang tersebut. Selain itu
masyarakat banyakpun mulai mengagung-agungkan dan mulai menghamba terhadap
benda tersebut.
Dalam hal ini memang semua kembali kepada kontek
sosial masyarakat – di mana masyarakat itu tinggal. Masyarakat ibukota
(metrpolitan) tentu saja akan memikirkan hal tersebut, baik mereka dengan
kondisi sosial yang rendah. Lagi-lagi semua karena iklan yang terus menerus
dikunyah oleh masyarakat. Hal inilah yang mnyebabkan prestige, pride yang pada tulisan awal dijabarkan (Yang ditawarkan
iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya).
Semua bukan lagi tentang fungsi. Lebih ke eksistensialisme, personal si
pengguna barang teretentu.
Terlepas dari masalah individual sebagai pelaku, hal
ini justru mengacu pada hubungan sosial masyarakat dan logika sosial. Yakni
bagaimana sebagai individu seorang masyarakat lebih peka melihat kondisi
sosialnya yang ada. Jika hal tersebut membawa kerugian untuk dirinya, mengapa
harus dilakukan. Contohnya adalah saat seorang tengah memiliki ponsel pintar
biasa (dengan harga terjangkau), lalu teman-teman lainnya membeli ponsel pintar
yang lebih baru dengan alasan style,
kekinian, lagi jaman pdahal dari segi fungsi sudah sama. Tentu dia akan menolak
untuk membeli yang baru dengan alasan yang logis (karena dari segi fungsi sudah
sama). Ia akan berpikir bahwa hal itu adalah perilaku komsumtif (pemborosan).
Hal inilah yang menjadi penting.
Dalam sintesanya, Baudrilliard mengatakan,
satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini terletak pada perubahan dalam
hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerukan suatu logika sosial
yang membawa bersamanya pertukaran simbolik, bukan nilai tukar. Yakni fungsi
lebih diutamakan, bukan kebanggaan, tren, style,
kekinian ataupun modernitas.
Daftar Pustaka.
Jean
P. Baudrilliard. Masyarakat Konsumsi.
(Kreasi Wacana. 2004)
Muhidin
M. Dahlan (Peny). Sosialisme Religius :
Suatu Jalan Keempat? (Kreasi Wacana. 2000)
*mahasiswa sastra UNJ, bergiat di komunitas tembok dan redaktur buletin sastra Stomata. beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan (2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar