Sabtu, 22 Oktober 2016

Mendobrak Narasi Utama melalui Citra : Analisis terhadap Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta

Mendobrak Narasi Utama melalui Citra : Analisis terhadap Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta
(oleh : Doni Ahmadi)



Pendahuluan

Awal 1966 pada saat orang-orang dituduh komunis dibantai oleh militer dan sekutunya, semangat kebebasan karena terlepas dari rezim Sukarno direfleksikan tidak saja melalui demonstrasi pelajar dan mahasisiwa yang didukung militer namun juga melalui praktek kebudayaan anti-komunis yang menjadi transisi politik ke rezim Soeharto. Tahun demi tahun berjalan dengan pemerintahan otoriterianisme represif dengan melenggangnya ideologi anti-komunis melalu produk-produk budaya, dari karya sastra hingga film (hal ini dijabarkan dalam buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965: bagaimana orde baru melegitimasi anti-komunisme melalu sastra dan film” karya Wijawa Herlambang).

Dalam hal ini citra dari komunisme dianggap sebagai setan, atheis dan musuh rakyat dan lainnya. Padahal komunisme sendiri adalah berdasarkan asas kerakyatan, yakni hak-hak kaum-kaum bawah yang diperjuangankan. Lalu dikaitkan pula dengan atheis dan tidak beragama, padahal ketika merujuk sejarah masa lalu, yakni di mana komunisme dan islamisme bersatu dalam panji Syarikat Islam (hal ini ditulis oleh Bonnie Triyana dalam makalahnya untuk diskusi Islam dan Marxisme di Indonesia di Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul “Palu Arit dan Bulan Sabit pada Suatu Masa”). Hal ini tentu menjadi kontradiktif ketika Komunisme dikatakan “Atheis” dan “Tidak Bertuhan”.

1998 ketika Soeharto turun tahta, saat Orde Baru lengser oleh Reformasi. Teks-teks baru yang disinyalir sebagai pembenaran pun sedikit demi sedikit bermunculan. Banyak teks-teks yang menjadi kontradiktif dari narasi dominan yang dibuat pemerintahan Orde Baru. Banyak sekali bentuk fiksi yang berbau muatan sejarah yang mencoba merekonstruksi sejarah. Diantaranya teks-teks tersebut salah satunya adalah kumpulan cerpen Bunga Tabur Terakhir karya dari GM Sudarta yang diterbitkan Galang Press tahun 2011. Meski lebih dikenal sebagai seorang pelukis ia juga kerap menulis teks sastra –cerpen, karya-karyanya juga dimuat dalam media massa namun kumpulian cerpen ini adalah kumpulan cerpen pertamanya.

Dalam analisis singkat ini, saya akan mencoba membedah salah satu cerpen dalam kumcer Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta.

Alasan Penelitian
Alasan saya menganalisis cerpen berjudul Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta adalah karena saya melihat cerita ini sebagai kontradiksi dari perspektif sejarah yang dibuat oleh Orde Baru. Dan mencoba menganalisis citra yang dibangun dalam tiap tokoh yang ada di dalam cerita.

Teori dan Metode
Citraan (Gambaran angan-angan) dalam sebuah karya sastra adalah untuk memberi gambaran yang jelas untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan juga penginderaan dan juga untuk menarik perhatian. Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya , sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji.

Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penagkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-daerah otak yang  berhubungan.

Djoko Pradopo beranggapan bahwa sebuah imaji yang berhasil mendorong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis dan segera kita dapat rasakan den dekat dengan hidup kita sendiri.

Dalam hal ini saya menggunakan citraan yang timbul oleh penglihatan (visual imagery). karena citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.

Metode Penelitian
Dalam pengkajian ini, dilakukan analisis citra terhadap cerpen berjudul Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta. Yang dalam cerita ini banyak sekali citra-citra yang dibawakan oleh penulis dari tokoh-tokohnya yang ada.

Pembahasan
Cerpen Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta ini bercerita tentang tokoh aku yang selalu diikuti sepasang mata yang memancarkan api kebencian, hingga frustasi sampai-sampai harus mengikuti bimbingan kyai pesantren. Usut-punya usut setelah peristiwa pembunuhan jendral tokoh Aku bersama sahabatnya Mulyono menjadi tukang kubur  di desanya yang dipimpin oleh Mas Parman yakni pimpinan gerakan pemuda yang mendapat tugas dari aparat sekaligus paman dari tokoh Aku. Tokoh Aku dan Mulyono bertugas untu mengubur berpuluh-puluh orang yang diturunkan dari truk setelah mereka ditembaki oleh aparat. Tokoh aku juga kerap mengikuti Mas Parman untuk menciduk warga yang nama-namanya telah ada di dalam daftar.

Suatu ketika tokoh Aku dan Mulyono pun mencium kecurigaan kepada Mas Parman, mereka berpikir dari mana Mas Parman mendapat daftar orang-orang yang harus diciduk dan dieksekusi. Tokoh Aku pun kerap mendengar kabar bahwa banyak korban yang konon tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Terlebih ketika mereka menciduk Mbak Sri yang suaminya menjadi buronan, padahal ia tengah hamil dan tidak tahu menahu di mana suamainya namun tetap diseret oleh Mas Parman. Kecurugaan tokoh Aku pun menguat karena ia mengingat bahwa Mbak Sri pernah menolak cinta Mas Parman. Hingga akhirnya tokoh Aku pun menghindar dari tugas dan bersembunyi namun dapat ditangkap oleh Mas Parman.

Suatu ketika tokoh Aku turut dipaksa ikut membunuh seorang dengan pistol, sebelum ia menambakan pistol itu sang korban bernama Marjo melihat mata tokoh Aku dan hal inilah yang selalu membayang-bayangi tokoh aku.

Di akhir cerita alurpun berjalan jauh menuju masa depan, tokoh Aku dan Mulyono kembali bernostalgia mereka juga bercerita kerap menemui hal-hal aneh. Tokoh Mulyono yang telah berprofesi sebagai dokter kerap menemui pasian yang perutnya robek dengan usus terburai yang membuatnya langsung pingsan dan perlu mendapat perawatan dokter jiwa.

Cerita diakhiri dengan pertemuan tokoh Aku dan Mulyono bertemu dengan Mas Parman yang tengah menjabat sebagai camat, tetapi dengan kondisi yang jauh berbeda. Mas Parman seperti didera penyakit aneh, tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan merah seperti habis disengat listrik. Namun ketika ingin dibwa kerumah sakit benjolan-benjolan itupun menghilang. Konon seketika muda Mas Parman sering menyetrum orang dengan listrik hingga korbannya memiliki luka yang sama hingga mati.

Dalam hal ini terdapat dua narasi yang dibangun. Pertama ada dalam tokoh Aku dan Mulyono. Mereka dideskripsikan sebagai tokoh yang tidak tahu menahu soal keadaan dan hanya mengikuti perintah atasannya atau yang lebih dikenal dengan masyarakat awam. Ada dalam narasi berikut:

“Tugas kami berikutnya adalah mengubur mereka, meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah tersedia. Suatu lubang untuk delapan jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat dan memang harus bungkam, kalu tidak ingin bernasib seperti mereka, meskipun kami tahu mayat-mayat ini adalah tetangga dan kerabat kami sendiri.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 14)

“kami tidak berani membantah, maskipun kami tahu bahwa mungkin Mbah Warso tidak lupa atau tidak tahu sandi kampung. Kami yang tidak tega dengan nasib Mbah Warso segera meninggalkannya di markas, sementara Mas Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan dan rintihan menyayat minta ampun.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 15)

Dan berikut, “Dari mana Mas Parman mendapat daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan penglima perang bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah orang-orang yang namanya terdaftar dan menyeret para lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada dirumah sebagai gantinya.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 17)

Dari narasi diatas tokoh Aku dan Mulyono digambarkan seperti kerbau yang sangat terikat dengan gembalanya tanpa bisa melakukan perlawanan. mereka tak berani melawan dan harus menuruti perintah atasannya karena konsekuensi yang harus diterimanya sangat mengerikan.

Jika tokoh Aku dan Mulyono digambarkan dengan lemah, tanpa perlawanan dan didominasi. Maka tokoh Mas Parman adalah tokoh yang digambarkan sebaliknya. Ia digambarkan sebagai tokoh yang amat propaganda dalam mempengaruhi tokoh Aku dan Mulyono.

“Suatu kali Mas Parman menasihati kami, “Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. bayangkan kalau mereka menang akan jadi apa kita? Kitapun akan disembelih seperti para jendral itu!”...” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 14)

“  ‘Kamu lihat, kamu lihat!’ kata Mas Parman berkepentingan, ‘mereka masih mau menentang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa!’ kemudia ia keluarkan secarik kertas dari sakunya, ‘dan inilah daftar orang-orang yang harus diciduk malam ini.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 17)

Selain sebagai propaganda iapun diceritakan sebagai tokoh yang kejam, bengis dan tidak mengenal ampun. Selain itu tokoh Mas Parman juga terlihat superior dan sangat mendominasi tokoh Aku dan Mulyono.

“Mas Parman sibuk menyiapkan alat pembangkit listrik yang kabelnya semrawut dengan ujung telanjan. Bayangan menyeramkan membuat kepalaku berkunang-kunang.

“Ketika para tawanan bergiliran dipanggil ke dalam, tak berapa lama terdengar bentakan keras Mas Parman, dan kemudian terdengar raungan tangis menyayat orang kesakitan. Perut ini terasa mual, dan Aku pun muntah-muntah.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 18-19)

Dari penjabaran diatas tentu saja tokoh Aku dan Mulyono sebagai citra dari masyarakat awam (common sense) yang cenderung netral. Tidak berpihak pada komunis atau anti-komunis. Namun harus ikut-ikutan membunuh karena perintah dari atasan mereka yakni Mas Parman. Pertanyaannya apakah penggambaran fiksi ini merupakan repserentasi dari suatu banyak pembunuhan masal yang terjadi di indonesia ini? apakah masyarakat yang sebagaian besar pelaku pembunuhan masal dicitrakan melalui tokoh Aku dan Mulyono? Yang tidak tahu menahu namun hanya menuruti perintah atasan dan takut dengan konsekuensinya.

Dan tentang penggambaran Mas Parman, apakah merupakan citra dari rezim Orde Baru? seperti penggambaran beliau di dalam cerita ini yang begitu propaganda dalam mengadu domba untuk saling membunuh, yang terus menyuarakan anti-komunis. Ini tentu saja menjadi kontradiksi dengan apa yang dilakukan pada masa Orde Baru, lihat film Penghianatan G30S/PKI yang dibuat pemerintah. Di mana PKI digambarkan sebagai penghianat negara dengan membunuh tujuh orang perwira militer, lalu ada pula adegan dengan memanfaatkan isu yang sangat sensitif yakni pelecehan kitab suci Al Quran sebagai media propaganda untuk memecah belah kaum islam dengan komunisme.

Dari keseluruhan cerita diatas, dalam kacamata pengarang. PKI adalah korban, korban dari rezim politik adu domba, dan kaum yang terus dipropagandakan akhirnya turut serta dalam pembantaian tersebut. Perihal pembunuhan masal 1965-1966 yang menghilangkan kurang lebih setengah juta jiwa itu masih merupakan tanda tanya besar dan merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah indonesia, yang masih sangat berkabut.

Padahal tragedi 1965 merupakan salah satu tragedi yang paling besar dalam sejarah kemanusiaan Indonesia, bahkan tercatat sebagai salah satu pembantaian massal terbesar pada abad ke-20. Sekalipun merupakan sebuah pembantaian massal terbesar abad ke-20, sangat mengherankan bahwa peristiwa pembunuhan mengerikan ini hampir punah dari ingatan kolektif orang Indonesia dan hampir tidak dipersoalkan masyarakat dunia.

Dalam hemat saya penulis berambisi untuk mendobrak narasi utama –ideologi anti-komunis. Dengan membawa persoalan kemanusiaan ini ketengah-tengah masyarakat melalui cerita ini dan cerita-cerita lain yang dimuat dalam kumcernya itu. Lalu dengan memetakan pembaca pada sudut pandang awam (citra masyarakat sekarang), yang melihat tokoh Mas Parman (citra pemerintahan represif Orde Baru) melawan para korban (citra kaum komunis). Dari sudut pandang ini, jika dikaitkan dengan kemanusiaan dan ketuhanan, pastilah kita melihat Mas Parman sebagai Iblis yang tidak berperikemanusiaan, tidak beradab dan lain-lain. Lalu, kaum komunis sebagai korban yang tidak berdaya hanya mampu pasrah pada nasib. 

Sebagai narasi tandingan menurut saya GM Sudarta cukup berhasil membangun kerangka cerita dengan citra-citra yang diletakan pada tokoh-tokohnya, meskipun diakhiri dengan suasana yang magis/klenik namus cerita ini adalah usaha kecil untuk suatu kesimpang-siuran.

Sebagai teks fiksi, hal-hal yang terjadi di dalam cerita pun patut dikritisi faktanya. Walaupun banyak pendapat tentang teks fiksi tetap berangkat dari realitas, saya pikir penulis/pengarang fiksipun tetap memberi jarak (ceritanya) dengan kenyataan. Dan kalau cerita ini benar-benar realias, jangan lagi sebut ini cerita fiksi, namun cerita ala jurnalisme sastrawi.



Daftar Pustaka
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri.
Sudarta, GM. 2011. Bunga Tabur Terakhir. Yogyakarta: Galang Press.
Triyana, Bonnie. dalam makalahnya untuk diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia” di
            Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul Palu Arit dan Bulan Sabit pada
            Suatu Masa
.
Pradopo, Djoko Rachmat. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGMpress.

Media Daring
Indoprogres.com/2014/09/tragedi-1965-dalam-karya-karya-umar-kayam-perspektif-antoniogramsci/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar