Mendobrak Narasi Utama melalui
Citra : Analisis terhadap Orang-orang
Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta
(oleh : Doni Ahmadi)
Pendahuluan
Awal 1966 pada saat orang-orang dituduh komunis
dibantai oleh militer dan sekutunya, semangat kebebasan karena terlepas dari
rezim Sukarno direfleksikan tidak saja melalui demonstrasi pelajar dan
mahasisiwa yang didukung militer namun juga melalui praktek kebudayaan
anti-komunis yang menjadi transisi politik ke rezim Soeharto. Tahun demi tahun berjalan
dengan pemerintahan otoriterianisme represif dengan melenggangnya ideologi
anti-komunis melalu produk-produk budaya, dari karya sastra hingga film (hal
ini dijabarkan dalam buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965: bagaimana orde baru
melegitimasi anti-komunisme melalu sastra dan film” karya Wijawa Herlambang).
Dalam hal ini citra dari komunisme dianggap sebagai
setan, atheis dan musuh rakyat dan lainnya. Padahal komunisme sendiri adalah
berdasarkan asas kerakyatan, yakni hak-hak kaum-kaum bawah yang
diperjuangankan. Lalu dikaitkan pula dengan atheis dan tidak beragama, padahal
ketika merujuk sejarah masa lalu, yakni di mana komunisme dan islamisme bersatu
dalam panji Syarikat Islam (hal ini ditulis oleh Bonnie Triyana dalam
makalahnya untuk diskusi Islam dan
Marxisme di Indonesia di Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul
“Palu Arit dan Bulan Sabit pada Suatu Masa”). Hal ini tentu menjadi
kontradiktif ketika Komunisme dikatakan “Atheis” dan “Tidak Bertuhan”.
1998 ketika Soeharto turun tahta, saat Orde Baru
lengser oleh Reformasi. Teks-teks baru yang disinyalir sebagai pembenaran pun
sedikit demi sedikit bermunculan. Banyak teks-teks yang menjadi kontradiktif
dari narasi dominan yang dibuat pemerintahan Orde Baru. Banyak sekali bentuk
fiksi yang berbau muatan sejarah yang mencoba merekonstruksi sejarah.
Diantaranya teks-teks tersebut salah satunya adalah kumpulan cerpen Bunga Tabur Terakhir karya dari GM
Sudarta yang diterbitkan Galang Press tahun 2011. Meski lebih dikenal sebagai
seorang pelukis ia juga kerap menulis teks sastra –cerpen, karya-karyanya juga
dimuat dalam media massa namun kumpulian cerpen ini adalah kumpulan cerpen
pertamanya.
Dalam analisis singkat ini, saya akan mencoba
membedah salah satu cerpen dalam kumcer Orang-orang
Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta.
Alasan Penelitian
Alasan saya menganalisis cerpen berjudul Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur
karya GM Sudarta adalah karena saya melihat cerita ini sebagai kontradiksi dari
perspektif sejarah yang dibuat oleh Orde Baru. Dan mencoba menganalisis citra
yang dibangun dalam tiap tokoh yang ada di dalam cerita.
Teori dan Metode
Citraan (Gambaran angan-angan) dalam sebuah karya
sastra adalah untuk memberi gambaran yang jelas untuk menimbulkan suasana yang
khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan juga
penginderaan dan juga untuk menarik perhatian. Citraan ini ialah gambar-gambar
dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya , sedang setiap gambar pikiran
disebut citra atau imaji.
Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam
pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penagkapan kita
terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan
daerah-daerah otak yang berhubungan.
Djoko Pradopo beranggapan bahwa sebuah imaji yang
berhasil mendorong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan
situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat,
ekonomis dan segera kita dapat rasakan den dekat dengan hidup kita sendiri.
Dalam hal ini saya menggunakan citraan yang timbul
oleh penglihatan (visual imagery). karena
citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering
hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.
Metode Penelitian
Dalam pengkajian ini, dilakukan analisis citra
terhadap cerpen berjudul Orang-orang Mati
yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta. Yang dalam cerita ini banyak
sekali citra-citra yang dibawakan oleh penulis dari tokoh-tokohnya yang ada.
Pembahasan
Cerpen Orang-orang
Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur karya GM Sudarta ini bercerita tentang
tokoh aku yang selalu diikuti sepasang mata yang memancarkan api kebencian,
hingga frustasi sampai-sampai harus mengikuti bimbingan kyai pesantren.
Usut-punya usut setelah peristiwa pembunuhan jendral tokoh Aku bersama
sahabatnya Mulyono menjadi tukang kubur
di desanya yang dipimpin oleh Mas Parman yakni pimpinan gerakan pemuda
yang mendapat tugas dari aparat sekaligus paman dari tokoh Aku. Tokoh Aku dan
Mulyono bertugas untu mengubur berpuluh-puluh orang yang diturunkan dari truk
setelah mereka ditembaki oleh aparat. Tokoh aku juga kerap mengikuti Mas Parman
untuk menciduk warga yang nama-namanya telah ada di dalam daftar.
Suatu ketika tokoh Aku dan Mulyono pun mencium kecurigaan
kepada Mas Parman, mereka berpikir dari mana Mas Parman mendapat daftar
orang-orang yang harus diciduk dan dieksekusi. Tokoh Aku pun kerap mendengar
kabar bahwa banyak korban yang konon tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Terlebih ketika mereka menciduk Mbak Sri yang suaminya menjadi buronan, padahal
ia tengah hamil dan tidak tahu menahu di mana suamainya namun tetap diseret
oleh Mas Parman. Kecurugaan tokoh Aku pun menguat karena ia mengingat bahwa
Mbak Sri pernah menolak cinta Mas Parman. Hingga akhirnya tokoh Aku pun
menghindar dari tugas dan bersembunyi namun dapat ditangkap oleh Mas Parman.
Suatu ketika tokoh Aku turut dipaksa ikut membunuh
seorang dengan pistol, sebelum ia menambakan pistol itu sang korban bernama
Marjo melihat mata tokoh Aku dan hal inilah yang selalu membayang-bayangi tokoh
aku.
Di akhir cerita alurpun berjalan jauh menuju masa
depan, tokoh Aku dan Mulyono kembali bernostalgia mereka juga bercerita kerap
menemui hal-hal aneh. Tokoh Mulyono yang telah berprofesi sebagai dokter kerap
menemui pasian yang perutnya robek dengan usus terburai yang membuatnya
langsung pingsan dan perlu mendapat perawatan dokter jiwa.
Cerita diakhiri dengan pertemuan tokoh Aku dan
Mulyono bertemu dengan Mas Parman yang tengah menjabat sebagai camat, tetapi
dengan kondisi yang jauh berbeda. Mas Parman seperti didera penyakit aneh,
tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan merah seperti habis disengat listrik.
Namun ketika ingin dibwa kerumah sakit benjolan-benjolan itupun menghilang.
Konon seketika muda Mas Parman sering menyetrum orang dengan listrik hingga
korbannya memiliki luka yang sama hingga mati.
Dalam hal ini terdapat dua narasi yang dibangun.
Pertama ada dalam tokoh Aku dan Mulyono. Mereka dideskripsikan sebagai tokoh
yang tidak tahu menahu soal keadaan dan hanya mengikuti perintah atasannya atau
yang lebih dikenal dengan masyarakat awam. Ada dalam narasi berikut:
“Tugas kami berikutnya adalah
mengubur mereka, meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah
tersedia. Suatu lubang untuk delapan jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat
dan memang harus bungkam, kalu tidak ingin bernasib seperti mereka, meskipun
kami tahu mayat-mayat ini adalah tetangga dan kerabat kami sendiri.” (GM
Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm.
14)
“kami tidak berani membantah,
maskipun kami tahu bahwa mungkin Mbah Warso tidak lupa atau tidak tahu sandi
kampung. Kami yang tidak tega dengan nasib Mbah Warso segera meninggalkannya di
markas, sementara Mas Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan
dan rintihan menyayat minta ampun.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 15)
Dan berikut, “Dari mana Mas
Parman mendapat daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas
Parman bagaikan penglima perang bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor
pintu rumah orang-orang yang namanya terdaftar dan menyeret para lelakinya.
Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada dirumah sebagai
gantinya.” (GM Sudarta, Bunga Tabur
Terakhir , hlm. 17)
Dari narasi diatas tokoh Aku dan Mulyono digambarkan
seperti kerbau yang sangat terikat dengan gembalanya tanpa bisa melakukan
perlawanan. mereka tak berani melawan dan harus menuruti perintah atasannya
karena konsekuensi yang harus diterimanya sangat mengerikan.
Jika tokoh Aku dan Mulyono digambarkan dengan lemah,
tanpa perlawanan dan didominasi. Maka tokoh Mas Parman adalah tokoh yang
digambarkan sebaliknya. Ia digambarkan sebagai tokoh yang amat propaganda dalam
mempengaruhi tokoh Aku dan Mulyono.
“Suatu kali Mas Parman menasihati
kami, “Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. bayangkan
kalau mereka menang akan jadi apa kita? Kitapun akan disembelih seperti para
jendral itu!”...” (GM Sudarta, Bunga
Tabur Terakhir , hlm. 14)
“
‘Kamu lihat, kamu lihat!’ kata Mas Parman berkepentingan, ‘mereka masih
mau menentang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa!’ kemudia
ia keluarkan secarik kertas dari sakunya, ‘dan inilah daftar orang-orang yang
harus diciduk malam ini.” (GM Sudarta, Bunga
Tabur Terakhir , hlm. 17)
Selain sebagai propaganda iapun diceritakan sebagai
tokoh yang kejam, bengis dan tidak mengenal ampun. Selain itu tokoh Mas Parman
juga terlihat superior dan sangat mendominasi tokoh Aku dan Mulyono.
“Mas Parman sibuk menyiapkan alat
pembangkit listrik yang kabelnya semrawut dengan ujung telanjan. Bayangan
menyeramkan membuat kepalaku berkunang-kunang.
“Ketika para tawanan bergiliran
dipanggil ke dalam, tak berapa lama terdengar bentakan keras Mas Parman, dan
kemudian terdengar raungan tangis menyayat orang kesakitan. Perut ini terasa
mual, dan Aku pun muntah-muntah.” (GM Sudarta, Bunga Tabur Terakhir , hlm. 18-19)
Dari penjabaran diatas tentu saja tokoh Aku dan
Mulyono sebagai citra dari masyarakat awam (common sense) yang cenderung
netral. Tidak berpihak pada komunis atau anti-komunis. Namun harus ikut-ikutan
membunuh karena perintah dari atasan mereka yakni Mas Parman. Pertanyaannya
apakah penggambaran fiksi ini merupakan repserentasi dari suatu banyak
pembunuhan masal yang terjadi di indonesia ini? apakah masyarakat yang
sebagaian besar pelaku pembunuhan masal dicitrakan melalui tokoh Aku dan
Mulyono? Yang tidak tahu menahu namun hanya menuruti perintah atasan dan takut
dengan konsekuensinya.
Dan tentang penggambaran Mas Parman, apakah
merupakan citra dari rezim Orde Baru? seperti penggambaran beliau di dalam
cerita ini yang begitu propaganda dalam mengadu domba untuk saling membunuh,
yang terus menyuarakan anti-komunis. Ini tentu saja menjadi kontradiksi dengan
apa yang dilakukan pada masa Orde Baru, lihat film Penghianatan G30S/PKI yang dibuat pemerintah. Di mana PKI
digambarkan sebagai penghianat negara dengan membunuh tujuh orang perwira
militer, lalu ada pula adegan dengan memanfaatkan isu yang sangat sensitif
yakni pelecehan kitab suci Al Quran sebagai media propaganda untuk memecah
belah kaum islam dengan komunisme.
Dari keseluruhan cerita diatas, dalam kacamata
pengarang. PKI adalah korban, korban dari rezim politik adu domba, dan kaum
yang terus dipropagandakan akhirnya turut serta dalam pembantaian tersebut. Perihal
pembunuhan masal 1965-1966 yang menghilangkan kurang lebih setengah juta jiwa
itu masih merupakan tanda tanya besar dan merupakan tragedi kemanusiaan
terbesar dalam sejarah indonesia, yang masih sangat berkabut.
Padahal tragedi 1965 merupakan salah satu tragedi
yang paling besar dalam sejarah kemanusiaan Indonesia, bahkan tercatat sebagai
salah satu pembantaian massal terbesar pada abad ke-20. Sekalipun merupakan
sebuah pembantaian massal terbesar abad ke-20, sangat mengherankan bahwa
peristiwa pembunuhan mengerikan ini hampir punah dari ingatan kolektif orang
Indonesia dan hampir tidak dipersoalkan masyarakat dunia.
Dalam hemat saya penulis berambisi untuk mendobrak
narasi utama –ideologi anti-komunis. Dengan membawa persoalan kemanusiaan ini
ketengah-tengah masyarakat melalui cerita ini dan cerita-cerita lain yang
dimuat dalam kumcernya itu. Lalu dengan memetakan pembaca pada sudut pandang
awam (citra masyarakat sekarang), yang melihat tokoh Mas Parman (citra
pemerintahan represif Orde Baru) melawan para korban (citra kaum komunis). Dari
sudut pandang ini, jika dikaitkan dengan kemanusiaan dan ketuhanan, pastilah
kita melihat Mas Parman sebagai Iblis yang tidak berperikemanusiaan, tidak
beradab dan lain-lain. Lalu, kaum komunis sebagai korban yang tidak berdaya
hanya mampu pasrah pada nasib.
Sebagai narasi tandingan menurut saya GM Sudarta
cukup berhasil membangun kerangka cerita dengan citra-citra yang diletakan pada
tokoh-tokohnya, meskipun diakhiri dengan suasana yang magis/klenik namus cerita
ini adalah usaha kecil untuk suatu kesimpang-siuran.
Sebagai teks fiksi, hal-hal yang terjadi di dalam
cerita pun patut dikritisi faktanya. Walaupun banyak pendapat tentang teks
fiksi tetap berangkat dari realitas, saya pikir penulis/pengarang fiksipun
tetap memberi jarak (ceritanya) dengan kenyataan. Dan kalau cerita ini
benar-benar realias, jangan lagi sebut ini cerita fiksi, namun cerita ala
jurnalisme sastrawi.
Daftar Pustaka
Herlambang, Wijaya.
2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965.
Jakarta: Marjin Kiri.
Sudarta, GM. 2011. Bunga Tabur Terakhir. Yogyakarta: Galang
Press.
Triyana, Bonnie. dalam
makalahnya untuk diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia” di
Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul Palu Arit dan Bulan Sabit pada
Suatu Masa.
Serambi Salihara 11 Desember 2013 dengan judul Palu Arit dan Bulan Sabit pada
Suatu Masa.
Pradopo, Djoko Rachmat.
2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
UGMpress.
Media Daring
Indoprogres.com/2014/09/tragedi-1965-dalam-karya-karya-umar-kayam-perspektif-antoniogramsci/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar