Sabtu, 22 Oktober 2016

Telaah atas Skenario Menyusun Antena by Galeh Pramudianto

“Perihal Chaos, Absurd dan Bahasa” dalam kumpulan sajak Skenario Menyusun Antena karya Galeh Pramudianto

oleh: Doni Ahmadi



“........
Kamu tahu? Ada yang diam-diam meminjam tubuhmu dari pagi yang belum datang. Ia menikam hidungmu dari balik subuh dan fajar. Lehermu beku karena kehabisan oksigen. Daun telingamu mencoba berfotosintesis dari tubuh saya, tapi saya masih berlari sekuat tenaga menjauh dari 30 meter kini. Saya dan kamu tiada berteman, tapi aku berhasil meminjam tubuhmu. Kamu berlari menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu diambil saya. Dari 30 meter itu, kini berkurang hingga 3 meter disamping saya. Tubuh saya dilonccati tubuhmu yang ada pada diri saya. Kamu berhasil menangkap tubuh kamu dari tubuh saya yang ada pada tubuhmu.”
(skenario menyusun antena, Galeh)

Satu hal yang menggambarkan sepotong sajak diatas saya rasa adalah –chaos. Dan kata pertama setelah saya membaca antalogi tersebut pun sama yakni chaos, absurd. Chaos dan Absurd yang bagaimana? Mari tengok sajak-sajak itu dari dekat.

Sajak Skenario Menyusun Antena dalam kumpulan sajak SMA adalah puisi yang bernarasi dengan permainan imaji yang absurd dari sebuah frasa-frasa yang disusun menjadi puisi. Dalam sajak ini pembaca ditemukan kepada tokoh saya, kamu lalu aku. Pertanyaannya, Siapakah saya? Siapakah kamu? Dan siapakah aku? Perihal jarak dalam puisi itu tidaklah begitu jauh, mereka masing-masing begitu terlihat dekat dalam narasi sajak itu. Kalau begitu ini namanya permainan psikologi, jangan-jangan tiga tokoh itu adalah satu orang yang sama. Saya jadi teringat akan kumpulan cerpen “Malam Putih” karya Korrie (bukan maksud menyamakan puisi dengan cerpen, penulis hanya menganalisis berdasarkan teks narasi) itu dimuat tahun 1983 dan di dalamnya terdapat pula tokoh saya dan aku, namun bedanya ialah tokoh kedua itu adalah tunggal. Memang secara makna dalam kata saya maupun aku memang bermakna tunggal. Lalu bagaimana dengan ketiga tokoh di atas? Hanya penulisnya yang mengetahui tentunya.

Menafsir puisi tak semudah menafsir sebuah prosa, yang terihat lebih gamblang dan jelas. Dalam menafsir sebuah puisi membangun sebuah praduga bahwa pandangan keutuhan pribadi amat penting dalam karya sastra. Dengan melihat pentingnya pentingnya sebuah hubungan antara pribadi dan teks maka dengan kata lain penafsiran teks menjadi lebih intim.

Mungkin yang akan menjadi kendala adalah ketidakintiman (saya) penulis dengan penyair, kedua hanya bermodalkan teks puisi saja (tidak ada teks pendukung lain untuk mendekatan lagi penulis dengan penyair) jadi penafsiran ini murni berdasarkan teks semata.
Kita lihat puisi pertama dalam kumpulan ini (baca : toko serba ada),

“....
ada. bantal, guling, tisu, gorden dan sofa? empuk tidak? ada. kunci, kasur, tangga, lemari, pintu, mesin cuci, keramik dan stiker? warna apa? ada. koper, kamera, tripod, hanger, radio dan parabola? ada. raket, antena, kompor, panci dan spanduk? ada. genteng dan sendal? berapa langkah? ada. apa lagi kak? apa? puisi? apa? maaf sekali, untuk yang itu ternyata kami tidak menjual.” (toko serba ada, Galeh)

Pembaca dihadapkan pada sebuah kerangka-kerangka bahasa yang disebut dengan dialog. Dalam sajak ini dialog-dialog yang sederhana (dialog yang biasa kita dapatkan di sebuah pasar, warung dll) dipertontonkan oleh penyair, lalu diakhiri dengan penyelesaian yang jelas. Dalam toko serba ada, semua tersedia kecuali sebuah puisi. Di sini penyair cukup jelas, meletakan puisi sebagai sesuatu yang istimewa –sebuah hal yang langka.

Senada dengan puisi sebelumnya, dalam puisi Tinggal Bahasa, Di Toko Souvenir 1 dan 2. terdapat dialog-dialog sederhana di dalamnya namun terasa lebih chaos. Semua dikaburkan, begitu pula pembaca.

“...
 
Aku rindu pada billboard di buvelar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam dekapan kaleng soda. Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu, ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip. Kini hanya bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.” (Tinggal Bahasa, Galeh)

Bahasa hanya sebuah bahasa, seperti pada pengertiannya, ia bersifat arbitrer –tak ada unsur yang berhubungan dari bahasa dengan maknanya. Yakni bahasa hanyalah sebatas bahasa, contohnya apakah kata soda itu sudah menunjukan sebuah minuman yang berkarbonasi, tentu tidak. Ia dikonvensikan agar semua sepakat bahwa kata soda bermakna tersebut. Memang , semua khaotik dalam puisi di atas sepertinya hanyalah sebuah gambar berbentuk mozaik yang dibuat penyair untuk melukiskan apa yang menurutnya bahasa.

Dari percakapan saya dengan SMA karya Galeh, saya kembali teringat Afrizal. Pertama dari cara penyair memainkan diksi-diksinya.

“kotak-kotak kardus sibuk bebenah, dari malam hingga pagi tiba.
kamar mandi sibuk. Sudah lengkap. Kami mau pindah. Kasur sudah digulung.
tidak ada orang tidur dalam kasur yang digulung itu. Ember sepatu sikat gigi epat kantung sampah. aku percaya, gunting kuku tidak tertinggaldalam kantung sampah itu. Mobil mengangkut barang ditangkap polisi 50 ribu perak.” (pindah ke kota lain, Afrizal) 

Dari fragmen-fragmen puisi di atas, pemaca dibuat seolah sedang menonton sebuah adegan. Fragmen-fragmen puisi diatas bergeser dengan cepat seperti lintasan-lintasan kejadian pada sebuah mimpi. Begitulah Afrizal, yang pernah suatu kali berkata bahwa tatkala membuat puisi-puisinya, ia berpikir dengan gambar dan dengan demikian puisi-puisinya bisa dibaca dengan cara menontonnya. 

Lalu lihat puisi-puisi Galeh.

“Udara hari ini adem. Cuacanya bersahabat
Malam ini ada pertandingan sepak bola
O, tapi masih semut-semut pada layar itu:
Serpihan klip mengisahkan dirinya sendiri
Melunasi panggung perihal riwayat
Di tengah sungut dan sengit
Pertempuran tiada usai menyisakan
kenang dan kenyang
Ketuk mentah di ujung nanti
Fosil trotoar dan mural
Genteng bersayap angin
Berhala mekar berpori-pori
Berlayar mengeja waktu
Mengejar degup kerak
Berkarat lumpur di beranda
Risau menimbun pandang
Melambungkan bagaimana terka
Beberapa enyah kian genah

“Bagaimana kabar antena rumah kau?”
“Baik! Kau? sekarang aku bisa menonton.” (jampi antena kepada pemirsa, Galeh)

Jika kita melihatnya dari dekat, sajak ini memiliki nafas yang sama. Yakni menceritakan peristiwa yang dapat dilihat melalui indra penglihatan.

Tetapi Galeh bukanlah Afrizal, hanya saja puisi-puisinya yang bernafaskan seperti puisi-puisi yang dituliskan Afrizal. Dari kegemarannya menuliskan benda-benda, lalu narasi yang bercerita seolah-olah kita dapat menontonnya. Namun masih cukup jauh, untuk menyamakan kedua penyair tersebut. Kita tentu tahu perihal kematangan seorang Afrizal. Tetapi dengan usaha tersebut sepertinya Galeh memang patut untuk di apresiasi. Walau perjalanannya masih amat panjang sebagai penyair.

Saya teringat sebuah kritik yang ditulis Tia Setiadi, di mana ia membalik kalimat-kalimat provokatif yang ditulis oleh Octavio Paz menjadi begini. “membaca sebuah puisi adalah memandang dan menontonnya: memahami apa yang digambarnya. Puisi adalah musik, juga diatas segalanya, adalah gambar. Penyair adalah seorang yang menerjemahkan citraan-citraan plastis ke dalam kata-kata.
Saya rasa Galeh juga membaca kutipan itu, karena semuia terlihat jelas dalam puisi-puisinya (baca; Antena Puisi, Ode Bis Wisata, Galeri, Puisi Ini Di Baca, Jajan Rock,Rumah Sakit, Skenario Menyusun Antena, dll)

Di awal saya sudah menyinggung tentang chaos dan absurd dari puisi-puisi dalam kumpulan puisi Skenario Menyusun Antena ini. Dan secara garis besar dapat saya simpulkan puisi-puisi galeh adalah representatif dari sebuah Bahasa. bahasa yang chaos, bahasa yang absurd, dari wacana-wacana tersebut itulah mereka dapat dikatakan sebagai skenario. Skenario yang dibangun penyair dan dileburkan hingga terciptalah sebuah puisi.

Perjalanan Galeh tentu masih jauh, kumpulan sajak Skenaria Menyusun Antena adalah gebyar dalam perpuisian Indonesia di era sekarang. Selamat atas kelahiran Anak dari kebudayaan yang berbentuk kumpulan sajak ini.

“Kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakaan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Dunia referen –yang tinggal dalam memori kita atau pelabelan sosial (stereotipe), seperti seeokor ular yang terus mengintai dan siap menerkam setiap teks. Puisi adalah bintang yang tercekik dalam mulut botol. Orang membaca dan menulis puisi untuk memecahkan botol itu. Kadang binatangnya ikut mati” (Tulisan Afrizal dalam bagian belakang cover kumpulan sajak Dalam Rahim Ibuku Tak Ada anjing karya beliau)
Kutipan di atas adalah sebagai penutup, dan pesan pribadi saya kepada penyair. Selamat.





Rujukan Bacaan.
Dari Zaman Citra ke Metafiksi, bunga rampai telaah sastra DKJ. (KPG. 2010)
Korrie Layun Rampan. Malam Putih. (Balai Pustaka. 1983)
Tia Setiadi. Benda-benda, Bahasa, dan Kala: mencari simetri tersembunyi dalam Teman-temanku dari atap Bahsa karya Afrizal Malna. (dalam bunga rampai di atas)
Saifur Rahman. Kritik Sastra Indonesia Abad XXI. (Ombak. 2014)
Afrizal Malna. Dari Rahim Ibuku Tak Ada Anjing. (Bentang. 2002)
________. Teman-temanku dari atap Bahasa. (Lafadl Pustaka. 2008)

Galeh Pramudianto. Skenario Menyusun Antena. (Indiebookcorner. 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar